Sulit dipercaya, bahwa didunia ini ada 2 umat yang
memiliki latar belakang etnis, kultur dan keyakinan agama, dapat hidup
berdampingan di dalam melaksanakan ritusnya masing-masing dan perbedaan bagi
mereka adalah sesuatu yang wajar dan logis dan dirasakan sebagai sebuah hikmah
dari Tuhan Yang Maha Esa karena perbedaan akan membuat mereka menjadi saling
mengenal dan kemudian menghormati keyakinan satu sama lain. Disana ada sebuah
sanggar kekeramatan yang diusung oleh kedua umat tertentu sesuai persepsi dan
versi keyakinan agama masing-masing. Dalam hal tertentu, mereka dapat
mengerjakannya bersama-sama dan dilain hal hanya boleh dikerjakan umat yang
bersang-kutan. Tradisi dan kepercayaan untuk mensyukuri sebuah mata air yang
ada di sanggar itu atau dikenal dengan istilah Kemaliq, dipercaya sebagai
anugerah Tuhan Yang Maha Esa menjadi sebuah sumber kehidupan, memantik semangat
untuk menyusun sebuah kepranataan, rasa tanggung jawab dan pengorbanan tanpa
pamrih sebagai ungkapan rasa syukur dalam bentuk sebuah upacara. Dan amatlah
lazim bila untuk memantapkan rasa kesungguhan umat, cita-cita berkorban
tersebut diusung melalui dukungan susunan myitologi atau legenda
Dalam melestarikan sebuah mata air yang diakui dan
diyakini oleh kedua umat sebagai sebuah kawasan sakral dan magis, sesuai dengan
tradisi kultur dan keyakinan masing-masing umat. Maka ada sebuah upacara
“Perang Topat” yang disung oleh umat Sasak yang kegia-tannya berlangsung dalam
waktu dan tempat bersamaan dengan Upacara Odalan atau Pujawali yang dilakukan
oleh Umat Hindu dan kedua umat dapat dengan hidmat melaksanakan upacaranya
masing-masing.
Nama Pura/Kemaliq Lingsar ini mulai muncul ketika orang
Bali pertama kali datang ke Lombok. Rombongan orang Bali tersebut berasal dari
Karangasem yang jumlahnya ± 80 orang. Kedatangan mereka mendarat di
pantai Barat dekat Gunung Pengsong, Lombok Barat. Dari Gunung Pengsong
rombongan Raja tersebut melanjutkan perjalanan ke Perampuan, lalu ke Pagutan
kemudian ke Pagesangan. Rombongan ini dipimpin oleh tiga orang, yaitu :
Dari Pagesangan, rombongan berjalan kaki tetapi
belum menemukan tanda. Sesampai rombongan di daerah Punikan, seluruh anggota
rombongan merasa haus dan lapar sehingga beristirahat untuk makan minum.
Setelah selesai makan tiba-tiba ada suara seperti letusan dan bergemuruh.
Kemudian mereka mencari asal suara tersebut yang ternyata adalah sebuah mata
air yang baru meletus, lalu ada wahqyu mengatakan kalau sudah menguasai Lombok
maka buatlah Pura disini. Kemudian luapan air itu diberi namaAi’ Mual yang
artinya air yang mengalir. Selanjutnya nama Ai” Mual berubah
menjadi Lingsar. Lingsar berasal dari kata Ling, yang artinya wahyu
atau sabda dan Sar,yang artinya syah atau jelas. Jadi Lingsar artinya
wahyu yang jelas. Sedangkan sumber mata airnya terletak tidak jauh dari daerah
tersebut, dan diberi nama Ai’ Mual ( Air Timbul) yang letaknya di
sebelah timur Lingsar.
Pura
/ Kemaliq Lingsar diduga pembangunannya dilakukan pada tahun 1759, yaitu tahun
berakhirnya kekuasaan Mataram yang pada waktu itu berpusat di Cakranegara.
Pembangunan Pura Lingsar oleh Raja Ketut Karangasem
Singosari dimaksudkan untuk menyatukan secara batiniah Masyarakat Sasak
dengan Masyarakat Bali. Pura Lingsar dibangun berdampingan dengan Kemaliq
Lingsar yang merupakan tempat pemujaan Masyarakat Sasak. Jauh sebelumnya
di lokasi ini Masyarakat Sasak telah melakukan pemujaan terhadap sumber mata
air yang mereka sebut Kemaliq. Kemaliq berasal dari
katamaliq dalam bahasa Sasak yang artinya keramat atau suci. Sumber mata
air yang ada di Kemaliq ini oleh Masyarakat Sasak dikeramatkan atau disucikan
karena tempat tersebut mereka yakini sebagai tempat hilangnya
(moksa) seorang penyiar Agama Islam Wetu Telu yang bernama Raden Mas
Sumilir dari Kerajaan Medayin.
Keberadaan ajaran Islam Wetu Telu di daerah Lingsar ini
berasal dari Jawa melalui Bayan, atas instruksi Sunan Pengging dari Jawa Tengah
pada permulaan abad XVI. Islam Waktu Telu ini adalah sinkritisme Hindu – Islam.
Sumber ajarannya berasal dari ajaran Sunan Kalijaga. Sinkritisme ini dalam
kepercayaan mistik merupakan kombinasi dari Hindu (Adwaita) dengan Islam
(Sufisme), dengan ajaran pantheisme. Sehingga animisme masih berlaku terus dan
mistik dari segi agama bisa diterima secara sukarela oleh semua penduduk Lombok
yang masih paham animisme. Ajaran inilah yang kemudian dinamakanWetu
Telu. Menurut ajaran Hindu, orang yang beragama lain tidak boleh dipaksa
menerima ajaran agama Hindu. Tetapi yang dipaksa oleh raja Bali adalah
ajaran bahwa semua orang harus berterima kasih kepada Tuhan dengan agama,
kepercayaan dan caranya masing-masing. Dengan adanya kepercayaan ini maka
pembangunan yang dilakukan oleh Anak Agung Anglurah Gede Karang Asem pada tahun
1759 di Lingsar diperuntukan bagi dua jenis golongan masyarakat, yaitu :
Bagian bangunan bagi masyarakat Hindu dinamakan Gaduh,
yang artinya Pura. Bagian bangunan bagi masyarakat penganut Wetu Telu dinamakan
Kemaliq, yang artinya keramat. Gaduh dan Kemaliq ini boleh dipakai kapan saja
menurut keperluan agamanya masing-masing, tetapi hanya sekali setahun harus
diadakan upacara bersama, yaitu Perang Topat.
Perang
Topat adalah suatu kegiatan upacara dalam bentuk perang-perangan dan topat atau
ketupat sebagai senjata yang dipakai dengan cara saling lempar dengan sesama
teman.
Perang Topat diadakan sebelum menanam padi tetapi setelah
datangnya musim hujan. Maksud dari acara ini adalah untuk mengembalikan hasil
tanah (berupa topat) kepada asal (Lingsar). Hasilnya tersebut akan menjadi
rabuk (bubus lowong) untuk bibit padi yang akan ditanam. Yang utama menghadiri
upacara tersebut adalah anggota Subak Kecamatan Lingsar dan Narmada. Perang
Topat merupakan ungkapan sukacita atau terima kasih kepada Sang Pencipta. Tiap
tahun sebelum Perang Topat, ada beberapa orang dari Subak ini yang naik ke
Gunung Rinjani dengan membawa benda-benda yang terbuat dari emas berbentuk
udang, gurami, nyale, dan kura-kura. Benda-benda ini nantinya akan dibuang ke
Danau Segara Anak dengan maksud untuk memohon kemakmuran.
B. DESKRIPSI BANGUNAN
Kompleks Pura dan Kemaliq Lingsar merupakan kompleks
taman yang besar dengan bangunan pura di dalamnya. Bangunan Pura sendiri tidak
begitu besar tetapi mempunyai beberapa keistimewaan. Pura ini terdiri atas tiga
kompleks, yaitu :
1.
Kompleks Pura Lingsar (Pura Gaduh);
2.
Kompleks Kemaliq;
3.
Kompleks Pesiraman;
4.
Kompleks Pura Lingsar (Pura Gaduh) terletak di bagian atas sebelah utara
menghadap ke barat dan merupakan tempat ibadah umat Hindu.
5.
Sedangkan kompleks Kemaliq dan kompleks Pesiraman terletak di bagian
bawah di sebelah selatan, juga menghadap ke barat tetapi letaknya sedikit ke
utara mengarah kiblat.
Bangunan Pura Lingsar ( Pura Gaduh) dan Kemaliq
dihubungkan dengan dua buah Kori Agung. Di halaman luar ( Bencingah) Pura
Lingsar dan Kemaliq terdapat tiga buah bangunan Bale. Dua buah Bale Jajar di
halaman barat pura dan sebuah Bale Bundar. Kedua bangunan Bale Jajar ini
merupakan tempat kegiatan kesenian dan beristirahat bagi umat yang
bersembahyang, berbentuk segi empat panjang, bertiang enam (Sekenem). Atapnya
berbentuk limasan dan terbuat dari seng, lantai dari batu bata dengan
ketinggian 0,66 m dari permukaan tanah, panjang 10,71 m dan lebar 5,25 m.
Bangunan Bale Bundar terletak di halaman Jaba
Pisan (halaman luar Kemaliq) yang merupakan tempat kegiatan rapat dan
beristirahat bagi umat yang bersembahyang. Bentuknya segi empat panjang, dan
bertiang enam (Sekenem). Atapnya berbentuk limasan dan terbuat dari seng,
lantainya dari batu bata dengan tinggi lantai dari permukaan tanah 0,60 m,
panjang 6 m, dan lebar 6 m.
Di samping bangunan-bangunan tersebut diatas, di sebelah
selatan Pura/Kemaliq terdapat pancuran Siwak (sembilan buah pancuran), yaitu
bangunan yang merupakan tempat mandi kaum laki-laki dengan panjang 21,50 m dan
lebar 3,50 m di sebelah barat, dan tempat mandi kaum perempuan yang letaknya
di sebelah barat dengan panjang 18,50 m dan lebar 4,20 m. Kemudian pada
pancuran yang berada disebelah barat pemandian kaum wanita ada pancuran yang
dinamakan Pancuran Loji, pancurannya sebanyak 2 buah. Pada bagian paling
selatan kompleks taman terdapat Kolam Ageng berukuran keliling 6.230 m2.
Sedangkan perigi kolam terbuat dari pasangan batu kali yang direkat dengan
portland semen (PC).
Di sebelah utara halaman luar (bencingah) terdapat Kolam
Kembar. Halaman tempat Kolam Kembar ini dikelilingi oleh tembok yang bahannya
dari batako. Pada sisi sebelah selatan dan sisi sebelah utara terdapat candi
bentar dari batu bata. Candi Bentar yang ada di sebelah selatan merupakan pintu
masuk ke halaman Bencingah, sedangkan Candi Bentar yang ada di sebelah utara
merupakan pintu masuk ke halaman parkir (Jabaan).
Di halaman parkir ini terdapat bangunan gedung baru yang
dimanfaatkan sebagai tempat pagelaran. Di sebelah utara, paling ujung utara
halaman Jabaan terdapat dua buah gapura yang merupakan bangunan lama dengan
bentuk seperti pilar tinggi dari batu bata.
Berdasarkan
fungsinya, bangunan-bangunan yang terdapat di Pura/Taman lingsar ini dapat kita
kelompokan menjadi 3 kelompok bangunan, yaitu :
1.
Kompleks Pura Lingsar (Pura Gaduh)
Pura ini dikelilingi oleh tembok dari batu bata dengan
tinggi 3,51 m, tebal 85 cm, dan diberi pintu utama di sebelah barat
bagian tengah. Tembok batu bata ini disebut pula Kori Agung. Bagian dalam
halaman pura (jeroan pura)terdapat bangunan-bangunan suci, diantaranya adalah :
a. Bale Banten. Fungsinya sebagai tempat
sarana upacara, terletak di sebelah barat,bentuknya empat persegi panjang,
bertiang enam (Sekenem), atapnya berbentuk limasan terbuat dari
genteng, berlantai batu bata dengan tinggi 60 cm dari tanah.
b.
Penyungsungan Betara Gunung Agung. Fungsinya sebagai pemujaan Betara
Gunung Agung, terbuat dari batu bata dan batu padas tanpa atap. Badan
(Pelinggih) dari bangunan ini penuh dengan hiasan bunga padma dan relief
punakawan yang ada dalam cerita pewayangan.
c.
Penyungsungan Betara Alit Sakti di Bukit. Bangunan ini untuk sebelah barat
dipuja sebagai tempat Betari Ibunya Betara Alit Sakti (Anak Agung Ayu
Rai/Berebah) yang mengarah ke bukit, sedangkan sebelah timurnya dipuja sebagai
tempat Batara Alit Sakti (Betara di Bukit). Bentuknya empat persegi panjang
bertingkat dua dengan enam buah tiang (Sekenem), atapnya berbentuk limasan dan
terbuat dari ijuk, dan lantainya terbuat dari batu bata.
d.
Penyungsungan Betara Ngerurah. Fungsinya adalah tempat
pemujaan/bersemayamnya Ratu Ngurah. Terbuat dari batu bata dan tanpa atap.
e.
Penyungsungan Betara Gunung Rinjani, Fungsinya sebagai tempat pemujaan
Betara Gunung Rinjani. Bentuknya menyerupai empat persegi panjang bertingkat,
dasarnya dari batu bata dengan tinggi 6 meter dari tanah dan berhiaskan bunga
padma dan relief wayang, beratap ijuk.
f. Bale
Banten. Fungsinya sebagai tempat sarana upacara. Terletak di sebelah
timur, bentuknya empat persegi panjang bertiang enam (Sekenem), atapnya
berbentuk limasan dari genteng, berlantai batu bata dengan tinggi 60 cm dari
tanah.
g. Bale Pararianan. Fungsinya sebagai
tempat peristirahatan sebelum/sesudah sembahyang. Terletak di sebelah barat dan
timur, berfungsi sebagai tempat peristirahatan dan tempat untuk mempersiapkan
sesajen yang akan dipersembahkan. Bentuknya empat persegi panjang, bertiang
enam (Sekenem), atapnya berbentuk limasan dari genteng, dan lantainya terbuat
dari batu bata dengan tinggi 50 cm dari tanah.
h. Bale Pawedaan, berfungsi sebagai tempat
pendeta memimpin upacara. Bentuknya empat persegi panjang, bertiang enam
(Sekenem) dan ditunjang oleh empat buah pilar dari batu bata yang diplester
semen dan kapur serta dibatasi masing-masing oleh empat buah tiang kayu.
Atapnya terbuat dari genteng, sedangkan atap serambinya dari seng. Lantainya
terbuat dari batu bata.
2.
Kompleks Kemaliq
Kompleks ini dikelilingi oleh tembok dari batu bata yang
sekarang keadaannya sudah dipugar. Tembok aslinya terbuat dari tanah dan
sekarang sudah tidak ada lagi. Di sisi sebelah Barat diberi pintu utama yang disebut
Kori Agung (Pemedal). Di sisi sebelah selatan terdapat dua buah pintu untuk
menuju ke Kompleks Pesiraman. Bangunan-bangunan yang ada dalam Kompleks Kemaliq
ini adalah :
a.
Penyungsungan Betara Gde Lingsar (Betara Lingsir), bentuknya
menyerupai segi empat dengan dinding keliling dari batu bata setinggi 1,50 m.
Terdapat sebuah pintu masuk di sebelah selatannya. Bangunan ini dibuat dengan
atap dari seng. Disini tampak banyak batu-batu yang dibungkus kain putih yang
disebut petaulan atau pratina/pratima. Konon orang-orang yang
datang bersembahyang/berziarah untuk memohon sesuatu, jika terkabul mereka akan
datang kembali dengan membawa batu yang diletakkan dalam bangunan ini.
Jumlahnya dua buah dan menempel pada tembok keliling di sebelah timur, bagi
umat Hindu. Sedangkan bagi umat Sasak berkeyakinan bahwa Petaulan adalah
sebagai sarana “Tali Penghubung” yang secara hakekat berarti tempat menghubungi
Al-Malik Allah SWT atau tempat bermunajat atau berdoa kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
b.
Arca Garuda Wisnu, yang disebut Batara Wisnu atau Batara Gangga.
c.
Bale Sekepat, jumlahnya dua buah dengan masing-masing tiangnya
berjumlah empat buah bangunan ini terletak di sebelah barat dan timur. Bale
sekepat yang terletak di timur dengan atap genteng, berlantai batu bata
setinggi 30 cm dari tanah. Bale Sekepat yang berada barat digunakan sebagai
tempat Pawedaan dalam prosesi upacara dan tempat Pedande memimpin upacara,
sedangkan Bale Sekepat yang berada di sebelah timur digunakan sebagai tempat
Banten untuk mempersiapkan sarana upacara lainnya.
d.
Bangunan Baru, yang berfungsi sebagai tempat peristirahatan bagi
umat (Hindu dan Sasak) yang bersembahyang.
3.
Kompleks Pesiraman
Kompleks Pesiraman ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu
Pesiraman Laki-laki (Permandian untuk kaum laki-laki) dan Pesiraman Perempuan
(Permandian untuk kaum wanita). Sewaktu Kerajaan Karangasem-Lombok masih
berkuasa, raja dan keluarganya mandi di kompleks pesiraman ini sebelum
melakukan persembahyangan. Kompleks ini dikelilingi oleh tembok dengan tinggi 2
meter yang terbuat dari batu bata dan di bagian sebelah baratnya terdapat
sebuah pintu masuk. Di dalam Kompleks Pesiraman ini terdapat beberapa bangunan,
yaitu :
a.
Bangunan Betara Bagus Belian, jumlahnya lima buah di tempat
Pesiraman Laki-laki dan empat buah di tempat Pesiraman Wanita. Kedua kelompok
bangunan ini letaknya agak di bawah, berbentuk empat persegi panjang dengan
dinding dan lantai dari batu bata. Pada bagian selatan bangunan ini terdapat
tangga naik untuk menuju halaman pura.
b.
Pancuran, bangunan pancuran ada 2 buah yaitu disebelah timur dan
barat yang masing-masing bangunan tersebut dilengkapi dengan sembilan
buah pancuran, yang sebelah timur untuk laki-laki dan sebelah barat untuk
perempuan. Kedua pancuran tersebut dimanfaatkan oleh setiap orang yang ingin
membersihkan diri sebelum melakukan persembahyangan.
c.
Pancuran Loji, fungsinya
adalah pada tempo dulu digunakan sebagai tempat pemandian Anak Agung dan
istri/permaisuri.
Demikian sekilas tentang Pura dan Kemaliq Lingsar, sebuah
peninggalan sejarah purbakala yang harus dilestarikan.(Sumber :
Dinas Pariwisata Seni Dan Budaya Lombok Barat)
Taman Lingsar
Dibangun
pada tahun 1714 dan dibangun kembali pada tahun 1878 untuk melambangkan
keselarasan dan kesatuan antara Hindu Bali dan Muslim Sasak penduduk daerah,
terutama mereka yang mematuhi unik Lombok Wektu Telu sekolah Islam. Candi ini
dibangun pada daerah dataran tinggi, di belakang bagian kompleks. Pada musim peziarah dilakukan pertempuran
tiruan antara Hindu dan Islam, kedua belah pihak melemparkan kue beras
satu sama lain
Lokasinya
Sekitar 7 kilometer sebelah barat Narmada. sekitar 15 km dari pusat Kota
Mataram, Nusa Tenggara Barat itu dibangun pada masa jayanya kerajaan Karangasem
Sasak sekitar tahun 1759. Pura ini dibangun oleh Anak Agung Ngurah yang
memerintah Lombok bagian barat saat itu.
Di
kawasan pura itu terdapat empat bangunan pokok, yaitu Pura Gaduh, Kemaliq,
Pesiraman dan pesimpangan Bhatara Bagus Balian, serta Lingsar Wulon. Ketiga
bangunan Gaduh, Kemaliq dan Bhatara Bagus Balian hanya dibatasi dengan tembok
besar. Saat pujawali berlangsung, upacara dilaksanakan secara serentak.
Pujawali adalah upacara pemujaan kelahiran Ida Bhatara yang dilakukan umat Hindu
di pura itu.
Ketiga
bangunan Gaduh, Kemaliq dan Bhatara Bagus Balian hanya dibatasi dengan tembok
besar. Saat pujawali berlangsung, upacara dilaksanakan secara serentak.
Pujawali adalah upacara pemujaan kelahiran Ida Bhatara yang dilakukan umat
Hindu di pura itu.
Selain digunakan umat
Hindu untuk beribadah, Suku Sasak yang menganut Islam juga menggunakan Kemaliq
yang berada di dalam area pura sebagai tempat ibadah juga. Bahkan secara rutin
diadakan doa bersama dari berbagai pemeluk agama yang ada di Lombok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar