BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara hakiki manusia mempunyai sifat ingin tahu, sifat manusia ini muncul oleh rasa kagum, rasa ragu-ragu, atau belum paham terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di kehidupannya. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, manusia juga ingin tahu mengenai bagaimana timbulnya gejala-gejala masalah dalam masyarakat. Keinginan ini berwujud sebagai suatu hasrat untuk mengetahui kaidah-kaidah yang secara sadar atau tidak sadar telah mengatur perilaku mereka. Bahkan secara tidak sadar dalam berperilaku sehari-hari telah menggunakan pola tertentu, baik karena proses imitasi maupun karena pendidikan yang diperolehnya. Pola yang diikuti pada hakikatnya adalah struktur dari kaidah-kaidah untuk hidup dan merupakan patokan untuk berperilaku sehingga manusia dapat hidup secara wajar dan pantas.
Hubungan yang dilakukan manusia telah melahirkan interaksi sosial di dalam masyarakat, interaksi sosial ini bermula dari suatu perbuatanjika perbuatan itu baik maka bisa saja akan dijadikan sebagai sebuah kebiasaan, namun jika buruk maka hal tersebut akan dianggap sebagai sebuah penyimpangan.
Tata kelakuan mencerminkan sifat-sifat dari kelompok manusia. Tata cara kelakuan dan bekal integritasnya dengan pola-pola kelakuan masyarakat, dapat jadi mempunyai kekuatan mengikat sehingga menjadi Adat Istiadat. Adat istiadat punya kekuatan mengikat yang kuat dan mengatur tata kehidupan masa kini dan masa yang mendatang, disamping harus pula mengatur hak dan kewajiban bagi anggota dari masyarakat dan bagi pelanggarnya yang diperkuat dengan sanksi-sanksi. Hal tersebut tercakup dalam Hukum Adat yang berisi perintah, larangan dan hal yang dibolehkan.
Dalam menerapkan Hukum Adat terdapat banyak sekali permasalahan yang muncul di masyarakat misalnya saja kasus kehamilan di luar nikah, pembakaran desa atau kampung, penghianatan, penggunaan sihir untuk menyakiti anggota masyarakat yang lain, membawa kabur seseorang, zina, pembunuhan ataupun pencurian di dalam lingkungan masyarakat akan menjadi penghalang penerapan Hukum Adat secara utuh dimasyarakat. Masalah-masalah seperti diatas selanjutnya akan dibahas secara mengkhusus dalam Hukum Delik Adat. Setiap hal yang mengganggu keseimbangan masyarakat akan menjadi goncangan bagi manusia dalam mentaati adanya aturan di dalam Hukum Adat pada masyarakat.
Hukum adat delik yang akan memegang peranan penting dalam penyelesaian perselisihan adat yang terjadi dalam masyarakat. Goncangan dan perselisihan tidak hanya terjadi apabila peraturan-peraturan hukum dalam suatu masyarakat di langgar, melainkan juga bisa terjadi jika norma-norma kesusilaan, keagamaan dan kesopanan dalam masyarakat dilanggar.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah:
1. Apa saja macam-macam Delik Adat?
2. Bagaimana cara-cara penyelesaian perselisihan adat?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk:
1. Mengetahui macam-macam Delik Adat yang terjadi di masyarakat, dan
2. Mengetahui cara-cara menyelesaikan perselisihan adat yang terjadi dalam masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Delik Adat
Ter Haar mengartikan delik adat sebagai segala gangguan dari keseimbangan, tiap-tiap gangguan pada barang-barang material dan inmateriil milik hidup seseorang atau suatu persatuan orang-orang yang menyebabkan timbulnya suatu reaksi adat, dengan reaksi adat ini diharapkan dapat memulihkan keseimbangan masayarakat lagi (kembali). Jenis serta besarnya reaksi ditentukan oleh hukum adat yang bersangkutan yang lazimnya wujud reaksi itu dapat berupa suatu pembayaran delik dalam bentuk uang atau barang.
Ter Haar memperjelas bahwa untuk dapat dikatakan sebagai delik maka perbuatan yang dilakukan itu harus mengakibatkan kegoncangan keseimbangan di dalam masyarakat. Dimana kegoncangan ini tidak hanya terjadi pada pelanggaran peraturan-peraturan hukum masyarakat namun juga pelanggaran terhadap norma-norma kesusilaan, keagamaan maupun norma kesopanan dalam masyarakat.
Van Vollen Hoven mengartikan delik adat adalah segala perbuatan yang tak diperbolehkan/dilarang. (http://muhajirinsyukurmaruapey.blogspot.co.id/2013/03/sejarahpengertian-dan-istilah-hukum-delik-adat.html. 12 Maret 2016)
Jadi dari kedua pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu delik adat merupakan suatu tindakan yang melanggar perasaan keadilan dan pelanggaran terhadap kepatutan yang ada dan hidup di dalam masyarakat, sehingga menyebabkan terganggunya ketenteraman serta keseimbangan masyarakat yang bersangkutan, dan untuk memulihkan kembali ketenteraman dan keseimbangan masyarakat terjadilah reaksi-reaksi adat yang merupakan tindakan-tindakan yang bermaksud untuk bisa mengembalikan ketenteraman magis yang di ganggu dan memadukan/menetralisasi suatu keadaan sial yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran adat. Dalam Hindu misalnya dengan melakukan upacara pecaruan adat atau ritual sejenisnya apabila terjadi hal-hal yang melanggar adat seperti hamil diluar nikah atau sebagainya.
B. Macam-macam Delik Adat
Beberapa macam delik adat di lapangan Hukum Adat yaitu:
1. Penghianatan, merupakan golongan delik yang paling berat, segala pelanggaran yang mengganggu keseimbangan anatara dunia lahir dan dunia gaib serta segala pelanggaran yang memperkosa dasar susunan masyarakat.
2. Pembakaran Kampung, pembakaran yang memusnahkan seluruh kampung juga dianggap delik adat karena membahayakan keselamatan seluruh masyarakat. Dia yang melakukan pembakaran kampung dianggap mengeluarkan diri mereka dari persekutuan masyarakat, dan berdasarkan hukum adat mereka yang melakukan hal tersebut dapat dibunuh atau dibuang seumur hidup dari masyarakat adat.
3. Delik terhadap Diri Pribadi kepala Adat, di Indonesia segala perbuatan yang tak sopan terhadap kepala adat dianggap melanggar hukum adat, terkecuali bila yang diperintahkan oleh kepala adat adalah hal yang tidak benar. Dalam kasus ini akan diberikan sanksi sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang dilakukan. Tapi umumnya mereka yang melanggar harus meminta maaf dengan melakukan upacara tertentu yang ditentukan oleh adat.
4. Sihir atau Tenung, delik ini tidak tertuang dalam KUHP namun ada dalam sistem hukum adat, orang yang menggunakan ahli sihir untuk mengganggu kehidupan orang lain dapat dikenai hukuman berupa dibunuh.
5. Pengganggu Kekuatan Batin Masyarakat, misalnya melahirkan di sawah/ladang, melahirkan anak kembar “Buncing” (manak salah), dan orang yang mencemari tempat suci seperti Pura, Gereja, mata air dan sebagainya. Biasanya jika hal ini terjadi, maka akan dilakukan pembersihan masyarakat agar kesucian batin dalam masyarakat dapat pulih, upacaranya tergantung masing-masing adat.
6. Incest/ Hubungan Kelamin Sesama Jenis ataupun Hubungan Kelamin dengan Orang-orang yang Dilarang Menurut Adat, misalnya melakukan hubungan intim dengan anak kandung atau saudara kandung maka hukuman adatnya biasanya selalu dipidana mati, dan juga dilakukan dilakukan pembersihan seperti di Bali misalnya akan dilakukan maprayascita.
7. Hamil diluar/tanpa Nikah, dalam masyarakat Bugis misalnya jika terdapat wanita yang hamil diluar nikah akan melarikan diri agar tidak dibunuh oleh kerabatnya. Biasanya ia akan lari ke kediaman kepala kampung, dan kepala kampung akan berusaha menikahkan si hamil dengan pasangannya.
8. Melarikan Gadis, misalnya pada suka Dayak, perbuatan melarikan anak gadis orang adalah perbuatan mencemarkan kesucian masyarakat dan melanggar kehormatan keluarga si gadis sehingga hukumannya biasanya wajib dikenakan pembayaran denda kepada pihak gadis dengan menyerahkan binatang kepada kepala adat.
9. Zina, dikalangan Dayak jika istri melakukan zina maka si suami diizinkan untuk membunuh si istri dan partnernya, di beberapa daerah lainnya juga mengizinkan hal tersebut.
10. Pembunuhan, merupakan perbuatan yang memperkosa nyawa orang lain. Hukum kriminal barat yang didasarkan liberalisme menganggap pembunuhan sebagai delik yang seberat-beratnya sehingga diancam pidana yang seberat-beratnya bagi pelaku pembunuhan.
11. Perbuatan Melukai, perbuatan ini tidak langsung memperkosa kepentingan masyarakat seluruhnya, melainkan hanya orang yang dilukai serta kerabatnya. Di Aceh denda untuk perbuatan ini disebut “hutang darah” sehingga jika oarang yang dilukai sampai meninggal maka pelaku yang melukai pun harus membayar denda dengan nyawanya.
12. Pencurian, menurut hukum adat tradisional pada umumnya pelaku pencurian di hukum dengan membayar kembali barang yang dicuri serta membayarkan denda kepada orang yang kecurian.
C. Cara-cara Penyelesaian Perselisihan Adat
Desa adat adalah tumpuan harapan dan sumber budaya bangsa, dalam adat terdapat gambaran kehidupan yang aman dan tenteram lahir bhatin. Konflik-konflik adat terjadi karena adanya benturan-benturan atas apa yang telah disepakati bersama. Konflik-konflik yang sifatnya non-kriminal penyelesaiannya dapat dilakukan tanpa melalui proses peradilan, sehingga bukan pidana yang dikenakan melainkan dengan rapat desa untuk menjatuhkan sanksi adat kepada pelaku.
Sementara untuk konflik-konflik adat yang sifatnya kriminal pun biasanya penyelesaiannya diserahkan melalui rapat desa yang dipimpin oleh kepala adat. Jadi tidak ditempuh proses peradilan formal. Penyelesaian ini berlaku untuk kasus yang terkait penghinaan, beberapa delik atas pelanggaran kesusilaan, dan pencurian benda –benda suci yang sifatnya tidak terlalu besar namun untuk kasus pelanggaran parah penyelesaiannya tetap diselesaikan melalui proses peradilan formal. (Hadikusuma, Hilman. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandar Lampung. CV Mandar Maju)
Apa yang dilakukan oleh kepala adat selaku hakim perdamaian dalam menangani yang terjadi dalam masyarakat paling tidak untuk menghindari proses peradilan formal yang ia gantikan dengan sistem kelembagaan yang berorientasi pada masyarakat.
Penjatuhan sanksi oleh kepala adat kepada pelaku pelanggaran hukum adat mulanya tidak menutup kemungkinan bagi pelaku pelanggaran untuk tidak melalui proses peradilan. Namun kini telah terjadi pergeseran pandangan terhadap hal tersebut oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui putusan MA no. 1644K/ Pid/1988 tertanggal 15 mei 1991 tidak dapat menerima tuntutan jaksa penuntut umum atas diri terdakwa yang melakukan delik adat, karena terdakwa sebelumnya telah dijatuhi sanksi adat oleh kepala adat dan sanksi tersebut telah dilaksanakan oleh terdakwa.
Dari putusan Mahkamah Agung tersebut terlihat bahwa Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai Badan Peradilan Tertinggi di Indonesia sampai saat ini masih menghormati putusan kepala adat yang memberikan sanksi terhadap pelaku pelanggar norma adat.
Mengingat hukum pidana dengan sanksi pidana dipandang sebagai ultimatum remidium (obat terakhir) maka penerapan sanksi adat sebagai alternatif dirasakan sebagai kebutuhan dalam rangka sistem peradilan pidana. Dengan demikian sifat dari sanksi yang diterima tidaklah bersifat pembalasan atas apa yang telah dilakukan oleh pelaku pelanggar adat melainkan sebagai sarana pengembalian keseimbangan kosmis yang terganggu sehingga dapat dipertahankan.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Delik adat merupakan suatu tindakan yang melanggar perasaan keadilan dan pelanggaran terhadap kepatutan yang ada dan hidup di dalam masyarakat, sehingga menyebabkan terganggunya ketenteraman serta keseimbangan masyarakat yang bersangkutan, dan untuk memulihkan kembali ketenteraman dan keseimbangan masyarakat terjadilah reaksi-reaksi adat.
Macam-macam delik adat di lapangan Hukum Adat yaitu: Penghianatan, Pembakaran Kampung, Delik terhadap Diri Pribadi kepala Adat, Sihir atau Tenung, Pengganggu Kekuatan Batin Masyarakat, Incest/ Hubungan Kelamin Sesama Jenis ataupun Hubungan Kelamin dengan Orang-orang yang Dilarang Menurut Adat, Hamil diluar/tanpa Nikah, Melarikan Gadis, Zina, Pembunuhan, Perbuatan Melukai, dan Pencurian.
Konflik-konflik yang sifatnya non-kriminal penyelesaiannya dapat dilakukan tanpa melalui proses peradilan, sehingga bukan pidana yang dikenakan melainkan dengan rapat desa untuk menjatuhkan sanksi adat kepada pelaku. Sementara untuk konflik-konflik adat yang sifatnya kriminal pun biasanya penyelesaiannya diserahkan melalui rapat desa yang dipimpin oleh kepala adat. Jadi tidak ditempuh proses peradilan formal.
B. Saran
Dengan mengetahui delik hukum adat hendaknya kita sebagai anggota adat dalam sebuah masyarakat senantiasa mematuhi hukum dan kesepakatan yang telah kita buat bersama, jangan sampai apa yang kita sepakati kita buat hanya untuk kita langgar. Hal yang demikian tidak akan menciptakan kerukunan dan ketentraman dalam hidup bermasyarakat jika hukum yang kita sepakati kita buat untuk dilanggar.
DAFTAR PUSTAKA
Hadikusuma, Hilman. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandar Lampung. CV Mandar Maju.
http://muhajirinsyukurmaruapey.blogspot.co.id/2013/03/sejarahpengertian-dan-istilah-hukum-delik-adat.html
http://www.hukum-adat-indonesia/landasan/hukum.blogspot.ac.id//.html
Lestawi, Nengah. 1999. Hukum Adat. Jakarta. Penerbit: Paramita Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar