Minggu, 15 Mei 2016


TEORI REPRESENTASI REPRESIF adalah singkatan dari Representasi Filosofis yang artinya; Secara Etimologi adalah kata imbuhan Re; sekali lagi; kembali: reformasi; belakang; ke arah belakang: regresi. Kemudian Presentasi: pemberian (tt hadiah); pengucapan pidato (pd penerimaan suatu jabatan); perkenalan (tt seseorang kpd seseorang, biasanya kedudukannya lebih tinggi); penyajian atau pertunjukan (tt sandiwara, film, dsb) kpd orang-orang yg diundang; mem•pre•sen•ta•si•kan v menyajikan; mengemukakan (dl diskusi dsb). Sedangkan Filosofis adalah berdasarkan filsafat. Sedangkan secara terminologi yaitu mengemukakan kembali tentang konsepsi etika, estetika dan logika berdasarkan filsafat. Usut diusut, ditengah keriuhan sekaligus kericuhan dunia global, ternyata mengusung semangat mengacak tiga sendi kehidupan bangsa, yaitu; (1) Etika, (2) Estetika dan (3) Logika. Sekalipun ketiga sendi tersebut telah bersemi selama berabad-abad secara indigenous, pelan tapi pasti mengalami gerusan nilai yang diusung oleh dunia luar -global-. Lebih jauh, kreasi global ini menyulap mentalitas aktivis, menghilangkan identitas diri sebagai bagian dari bangsa yang memiliki tiga sendi diatas. Menanggalkannya dalam tempo yang tak terbatas. Aktivis bukan lagi menjadi subyek bebas berkarya dan bergerak, melainkan dipasung oleh sekian kepentingan, dikepung oleh arogansi kekuasaan. Bahkan dihadapan kekuasaan, aktivis tertunduk sambil memegang kemaluannya sebagai simbol kepatuhan. Aktivis bukan lagi sebagai generasi manusia, yang kalau dirunut, aktivis adalah generasi pasca kenabian, melainkan sebagai manusia yang tunduk oleh kuasa sebagai imbalan atas proyek tertentu. ---- Kami ter-atas-namakan REPRESIF, yang dibentuk oleh pada tahun 2011 pasca Pelatihan Kader Dasar 2011 di Pondok Darul 'Ilmy Pandaan, Kab. Pasuruan. yang arti singkatnya yaitu kumpulan orang-orang yang belum merdeka atau tertekan oleh bentuk kekuasaan dominan yang memperjuangkan keseimbangan, agar suatu system stabil. Daftar Representatif Budaya Takbenda Warisan Manusia Daftar Representatif Budaya Takbenda Warisan Manusia (bahasa Inggris: Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity) adalah program UNESCO yang bertujuan menjamin visibilitas yang lebih baik bagi warisan budaya takbenda dan kesadaran akan nilai pentingnya.[1] Melalui sebuah ikhtisar berbagai kekayaan lisan dan takbenda umat manusia di seluruh dunia, program ini bertujuan menarik perhatian tentang pentingnya melindungi warisan takbenda yang telah diidentifikasi UNESCO sebagai komponen penting dan suatu kumpulan keragaman budaya dan ekspresi kreatif.[2][3] Karya agung yang telah diumumkan Program ini dimulai tahun 2008, setelah berlakunya Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Takbenda.[4] Sebelumnya, sebuah proyek yang disebut Karya Agung Budaya Lisan dan Takbenda Warisan Manusia telah aktif dalam mengenali nilai-nilai takbenda seperti tradisi, adat istiadat, dan ruang budaya, beserta tokoh-tokoh setempat yang melestarikan bentuk-bentuk ekspresi budaya tersebut.[2] Identifikasi Karya Agung juga melibatkan komitmen dari negara-negara untuk mempromosikan dan melindungi kekayaan-kekayaan budaya miliknya, sementara UNESCO membiayai rencana-rencana konservasi.[2] Seluruhnya sudah ada tiga kali pengumuman Karya Agung Budaya Lisan dan Takbenda Warisan Manusia. Pengumuman pertama dilakukan pada tahun 2001, dan dilakukan dua tahun sekali hingga tahun 2005, dengan total 90 bentuk-bentuk warisan takbenda dari seluruh dunia.[3] Kesembilan puluh Karya Agung yang telah diumumkan sebelumnya dimasukkan ke dalam Daftar Representatif Budaya Takbenda Warisan Manusia sebagai entri-entri pertama yang disebutmata budaya.[1][5] Mata budaya selanjutnya akan ditambahkan setelah diselesaikannya penilaian nominasi yang diajukan negara-negara anggota UNESCO. Setiap negara anggota UNESCO berhak mengajukan satu berkas pencalonan, selain pencalonan yang dilakukan atas nama multinasional. Sebuah dewan pakar mengenai warisan tak benda dan sebuah dewan bernama Komite Antarpemerintah untuk Perlindungan Warisan Budaya Takbenda memeriksa setiap nominasi sebelum secara resmi memasukkannya ke dalam Daftar Karya Agung.[6] Pada 30 September 2009 ditambahkan lagi 76 mata budaya selama berlangsungnya sidang keempat Komite.[7] Teori Representasi REPRESENTASI : APA YANG KITA "LIHAT" KETIKA KITA MENCARI PADA Sebuah "GAMBAR"? Ahli perilaku (behavioris) mencoba untuk mengamati dan mengukur dunia nyata secara langsung. Fenomenologis secara eksklusif tertarik pada pengalaman mawas diri seseorang. Ahli semiotika dan retorika mencoba untuk memahami hubungan antara dunia internal kita dan dunia luar, dan hubungan yang diperlukan, mereka percaya, karena dunia luar selalu dimediasi oleh indera kita dan pikiran kita. Sementara ahli retorika telah menyelidiki bagaimana manusia membuat dan memanipulasi simbol dalam rangka untuk mempengaruhi manusia lain, ahli semiotik telah lebih tertarik pada bagaimana manusia (dan hewan lainnya) menerjemahkan setiap jenis tanda, termasuk simbol, yang diciptakan oleh orang lain, serta tanda-tanda alami yang mungkin dihasilkan dari tanaman, hewan, atau bahan anorganik. Kedua ahli retorika dan ahli semiotika prihatin dengan bagaimana tanda-tanda "mediasi" antara dunia eksternal dan "dunia" internal kami, atau bagaimana sebuah tanda "berarti" atau "mengambil tempat" sesuatu dari dunia nyata dalam pikiran seseorang. Apa yang bersangkutan dengan para ahli disebut representasi. Bab ini menjelaskan kekuatan dan kelemahan dari empat jenis teori tentang bagaimana merepresentasikan gambar. Konsep representasi telah dianggap sebagai hubungan dengan dua, tiga, dan empat bagian. Dua bagian model yang dikaitkan dengan Saussure (di antara banyak lainnya), yang mendefinisikan tanda linguistik sebagai "entitas dua sisi psikologis" yang terdiri dari sarana sebuah tanda dan maknanya. Ia menggunakan penanda kata sebagai sarana penanda (pengalaman antecedent, atau kata, atau ungkapan, atau suara bicara) dan kata tersebut menunjuk kepada makna dari tanda tersebut (dengan pengalaman sebagai akibat, atau sesuatu, atau konten, atau respon pendengarnya). Ketiga bagian model dikaitkan dengan Pierce (di antara banyak lainnya), yang didefinisikan sebagai representasi hubungan antara tanda, objek, dan penafsir. Untuk Peirce, semiosis terjadi ketika tanda yang ada dihubungkan dengan objek yang ditandai untuk menghasilkan makna dalam benak penafsir. Keempat bagian model terkait dengan Mitchell(1990). Dimensi tambahan adalah pembuat representasi. Mitchell membayangkan representasi sebagai sebuah segiempat dengan dua sumbu diagonal, yang menghubungkan objek presentasional dengan yang merepresentasikan (seperti model dyadic Saussure), dan lainnya menghubungkan pembuat representasi ke penampil. Garis yang menghubungkan antara penanda dan objek disebut sumbu representasi. Garis yang menghubungkan antara pembuat dan pemirsa disebut sumbu komunikasi. Model triadic Peirce menghilangkan dimensi keempat (pembuat) karena membolehkan kemungkinan terjadinya gejala alamiah, yang tidak memiliki pembuat yang hendak untuk berkomunikasi. Salah satu keuntungan dari model Mitchell, oleh karena itu, adalah bahwa ia menekankan komunikasi, yang sesuai untuk studi gambar, yang mungkin diciptakan dengan tujuan untuk berkomunikasi, atau untuk mengekspresikan perasaan pencipta, atau untuk mendapatkan respon (dimaksudkan) emosional si pemirsa. Sebuah pertimbangan penting untuk analisis representasi adalah hubungan antara tanda dan objek. Ahli semiotika membedakan tiga jenis hubungan: ikon suatu relasi yang menekankan kemiripan, hubungan simbolis yang terutama sewenang-wenang, dan hubungan indexical yang didasarkan pada sebab dan akibat, atau hubungan seperti kedekatan fisik atau keterkaitan. Sebagian besar representasi menggunakan lebih dari satu jenis hubungan antara objek tanda. Empat jenis teori representasi piktorial secara langsung terhubung ke tiga jenis hubungan antara gejala dan objek mereka. Teori hubungan sebab akibat (termasuk teori transparansi dan teori pengakuan) menekankan hubungan indeksikal dan ikonik. Kemiripan teori (termasuk nonperceptual dan persepsi) menekankan hubungan ikonik. Teori Konvensi menekankan hubungan simbolik. Teori konstruksi mental (termasuk ilusi, membuat percaya, dan "melihat di dalam") menekankan hubungan ikonik dan simbolik. Bab ini juga berkaitan dengan empat jenis teori ke Mitchell (1990) model representasi. Dalam rangka untuk mulai memahami teori representasi piktorial, silahkan berpikir tentang apa yang terjadi ketika ANDA melihat foto seorang penari stretching. Apakah Anda melihat secara nyata penari stretching? Apakah Anda diingatkan tentang seorang penari stretching? Apakah tampilan gambar seperti penari stretching Atau apakah Anda memiliki pengalaman yang sama seperti pengalaman melihat penari stretching? Apakah Anda membaca bahasa foto itu dan menyadari hal tersebut menyangkut seorang penari stretching? Apakah Anda memiliki ilusi Anda berada dalam kehadiran penari stretching? Apakah Anda membuat percaya Anda melihat penari stretching Apakah Anda melihat penari stretching dalam gambar dan juga melihat permukaan gambar?? Perbedaan terkadang halus antara pertanyaan-pertanyaan (dan jawaban mereka) mencerminkan ide-ide kunci dalam berbagai teori. Representasi Sosial, sebuah pengantar Teori ini berkembang dari pemikiran Serge Moscovici (Laureat Balzan Prix 2003, dan Wilhelm Wundt 2006) pada awal tahun 60an di Perancis ketika dia melihat bahwa sebenarnya masyarakat modern yang begitu rigid dan terstruktur oleh rasionalitas pengetahuan dan Negara, ternyata tetap merupakan "tambang pemikiran" tentang masyarakat yang memberi nafas dan banyak kemungkinan terciptanya pengertian baru untuk setiap anggotanya. Tambang ini selalu akan kaya karena proses interaksi serta komunikasi anggota di dalamnya memungkinkan masyarakat itu bergerak dan selalu menghasilkan pemikiran baru tanpa harus terbelenggu pada pemikiran ilmiah, yang selama ini diasumsikan berpusat di perguruan tinggi, dalam hal ini pengetahuan, dan kemudian mewujud dalam praktek bernegara. Proses untuk selalu membentuk dan dibentuk oleh kegiatan interaksi inilah yang kemudian melahirkan pemikiran pengetahuan bahwa seluruh dunia sosial, apapun bentuk, jenis dan skala ukurannya, sebenarnya adalah dunia yang secara sosial direpresentasikan karena dunia ini sebenarnya hanya tercipta oleh proses untuk saling membentuk dan membagi pengetahuan bersama. Dari pandangan awal tersebut, Moscovici melalui teori Representasi Sosial telah mengubah tiga pandangan utama dalam ilmu sosial. Pertama adalah bahwa kenyataan tidak pernah bersifat tunggal dan obyektif. Kenyataan hanyalah representasi dari apa yang pernah dipikirkan dan diolah bersama secara sosial. Implikasinya adalah bahwa kenyataan selalu bersifat sosial, dan yang sosial selalu berwatak kontekstual pada keadaan budaya dan sejarah setempat. Kedua adalah sosial (masyarakat) yang menurut Moscovici bukan hanya sekedar kumpulan individu akan tetapi adalah sebuah dunia yang dinamis, berpola, dan akan selalu bergerak untuk mempengaruhi setiap anggotanya, Ketiga adalah bahwa letak individu yang sebelumnya adalah sebuah entitas mutlak yang mampu menentukan arah dan tujuan bagi dirinya sendiri menjadi individu yang akan selalu lekat dengan masyarakat atau kelompoknya, Dari tiga posisi awal tersebut teori ini mengantarkan pada kemungkinan baru untuk mempersoalkan hal paling mendasar dalam pemikiran ilmu sosial, yaitu bahwa kebenaran tidak akan pernah berwajah dan bersifat tunggal karena pada setiap tempat dengan konteks budaya dan sejarah yang berbeda akan selalu ada kebenaran yang didefinisikan dengan cara yang berbeda pula. Karena perangkat sejarah dan budaya yang paling nyata untuk berbicara tentang kebenaran majemuk adalah bahasa, maka melalui bahasa teori Representasi Sosial telah merambah wilayah yang selama ini terabaikan. Bahasa ternyata adalah haribaan dari setiap kenyataan karena bahasa tersebut bukan hanya berfungsi sebagai instrumen yang mengatur dan menghubungkan seluruh kode dan organisasi sosial dari setiap masyarakat. Pada tingkat yang lebih kompleks, bahasa ternyata merekatkan setiap anggota masyarakat yang memakainya kepada tanah dimana seluruh kesejarahan dan kebudayaan bertumbuh dari setiap potongan kenyataan yang ujungnya akan membentuk pengertian kebenaran. Berbeda dengan dengan disiplin di bidang-bidang lain di dalam ilmu sosial, maka Representasi Sosial yang semula adalah sebuah teori yang bergerak di wilayah Psikologi Sosial, dengan perangkat bahasa dan kemampuannya untuk mencari dan memahami makna, telah menjadi sebuah meta-teori yang mampu menyatukan banyak disiplin seperti psikologi, anthropologi, sosiologi, sejarah, komunikasi, dsb. Dalam posisi ini maka Representasi Sosial kemudian membuka wilayah Representasi Sosial dari sebuah teori sederhana (pengetahuan awam) dalam Psikologi menjadi sebuah meta-teori. Teori ini sendiri berkembang pesat di Eropa Barat dan mewarnai hampir seluruh bidang-bidang ilmu sosial lainnya antara lain Sosiologi (Bourdieu, Baudrillard, etc), Anthropologi (Chombrad de Lauwe, Michel de Certeau, etc), dan ilmu-ilmu sosial lainnya seperti Ekonomi, Politik, Seni, Bisnis, dan sebagainya. Belahan dunia lain yang menerima dan mengembangkan teori ini adalah Amerika Selatan terutama dengan perjuangan politiknya untuk menentukan definisi atas masyarakatnya sendiri yang awalnya dimulai dari pemikiran di bidang sosiologi dan politik dalam teori Dependensi. Sama seperti Eropa Barat, di wilayah ini teori Representasi Sosial telah merambah hampir seluruh bidang pengetahuan. Masyarakat Anglosaxon sendiri baru mengembangkan teori ini dalam 10 tahun terakhir dengan dua basis utama, Inggris dan Kanada. Australia dan Selandia Baru mulai mengemas teori ini dalam wilayah kajian yang masih terbatas dan dengan jumlah ilmuwan yang terbatas pula. Asia adalah wilayah yang relatif sama sekali belum tersentuh oleh kajian dari teori ini. Beberapa orang mulai tertarik secara individual untuk menyentuh dan mempelajari masyarakatnya dengan teori ini seperti India, Filipina dan Indonesia, akan tetapi jumlah yang ada masih sangat kecil untuk mampu mengembangkan sebuah pemikiran sendiri seperti yang sudah terjadi di Amerika Selatan. REPRESENTASI SOSIAL Februari 6, 2012 • Disimpan dalam Tak Berkategori A. Prawacana Teori representasi sosial menawarkan model tentang pengetahuan sosial, baik konstruksi sosial, transformasi dan distribusi serta penggambarannya terhadap fungsi pengalaman dan pengetahuan dalam praktik sosial. Konsep representasi sosial diperkenalkan oleh Sergei Moscovici (1976) dengan studi tentang masuk dan penyebaran psikoanalisis dalam masyarakat Perancis pada tahun 1950-an. Pada awalnya, teori representasi sosial mengkaji peran dan fungsi dari pengetahuan sosial dalam masyarakat, dan selanjutnya meluas pada teori tentang pengetahuan dan praktik sosial secara umum. Dalam tulisan ini, bagian pertama akan mengkaji latar belakang dan beberapa penelitian utama dalam teori representasi sosial yang akan memberi kesan terhadap fenomena dan penggunaan ilmiahnya sebelum dibahas secara garis besar konsep dan ide dari teori representasi sosial. Kedua, beberapa perspektif untuk memikir ulang teori representasi sosial akan dibahas, dan pada bagian akhir, beberapa implikasi dari teori ini untuk memikir ulang psikologi juga akan dibahas. B. Teori Representasi Sosial: Sebuah Pengantar 1. Latar belakang teori Latar belakang historis dari konsep teori representasi sosial adalah pembedaan dari Durkheim (1951) antara representasi individu dan kolektif : “Durkheim adalah yang pertama memiliki perhatian pada arti penting reperesentasi kolektif yang melekat pada bahasa, institusi dan adat istiadat kita, dan juga menunjukkan bahwa pada tingkat tertentu serangkaian representasi akan membentuk pemikiran sosial sebagai pelengkap bagi pemikiran individual (Moscovici, 1984: 942). Moscovici juga menyebutkan bahwa psikologi perkembangan Piaget pada analisisnya tentang bagaimana anak-anak menggunakan bentuk dan sumber yang berbeda dari pengetahuan untuk mengkonstruk dunia mereka dan mendapat makna dari realitas sebagai salah satu sumber dari konsep teori representasi sosial. Akhirnya, konsep Freudian tentang ‘interiorisasi’ juga dintegrasikan dalam konsep representasi sosial. Konsep ini menggambarkan ‘bagaimanasuatu isi memasukkan realitas ke dalam kesan dan simbol yang meninggalkan tanda-tandanya pada hidup kita dari masa kanak-kanak (Moscovici, 1984: 994). Maka, teori representasi sosial mengadopsi gagasan Durkheim tentang pengetahuan dan representasi sebagai fenomena kolektif (atau sosial), dari Piaget mengadopsi aspek dari konstruksi sosial atas realitas dan makna, dan dari Freud mengadopsi proses melalui mana realitas ekternal—objek, konsep atau teori yang digunakan dalam lingkungan individu—masuk dalam pandangan internal. Representasi sosial menjadi paradigma utama dalam psikologi sosial di Perancis dan negara-negara seperti Italia, Spanyol, Portugal dan Amerika Latin sejak tahun 1960-an. Teori representasi sosial banyak didiskusikan di Inggris dalam lingkup psikologi sosial setelah adanya perdebatan seputar konsep representasi sosial pada tahun 1980-an. Titik awal bagi penelitian pada representasi sosial adalah pertanyaan-pertanyaan seperti: ‘Bagaimana asal mula ide-ide umum tentang berbagai disiplin ilmiah?’ Apa yang terjadi pada disiplin ilmiah ketika melampaui dari ilmuwan ke dalam masyarakat?’ Hingga saat ini, ketertarikan terhadap representasi sosial telah mengalami perluasan: tidak hanya pengetahuan sosial tentang disiplin ilmiah dan pengaruhnya dalam masyarakat, tetapi juga pengetahuan tentang objek-objek budaya—seperti kesehatan dan penyakit (Herzlich, 1973), kegilaan (De Rosa, 1987; Jodelet, 1991), perubahan teknologi dalam hidup sehari-hari (Flick, 1994) dan lain-lain, juga representasi sosial dari objek-objek perubahan teknologi dalam praktik keseharian (Jodelet, 1991). C. Penelitian Utama dalam Representasi Sosial Secara khusus, negara-negara di bagian selatan Eropa dan Amerika Latin, tetapi akhir-akhir ini juga di Inggris, Australia, Amerika Serikat dan di Jerman, telah banyak dilakukan penelitian representasi sosial. Representasi sosial atas psikoanalisis di Perancis pada tahun 1950-an. Dengan penelitiannya tentang psikoanalisis, Moscovici (1976) telah memformulasikan dan secara empiris menyadari ide-ide sentral dari teori representasi sosial. Secara umum, penelitian ini membandingkan dua hal: analisis tentang bagaimana teori Freud direpresentasikan di media massa Perancis pada tahun 1950-an (1952-1956), dimana 1610 artikel diambil dari 210 jurnal (separuh dari jurnal tersebut diterbitkan di Perancis, sedang yang lain dari negara lain) dianalisis isinya; dan kuisioner yang dijawab sekitar 2200 orang yang dikategorikan sebagai sampel dari berbagai ‘populasi’. Pertama, sampel representatif dari warga kota Paris diteliti. Selanjutnya, sampel yang lebih khusus (dibedakan dari usia, status sosial dan gaya hidup) diteliti agar mampu membedakan representasi khusus mereka atas psikoanalisis: sampel dari ‘warga kelas menengah’ (misal artis, fungsionaris, pengusaha), sampel dari ‘kelompok liberal ( misal, guru, dokter, pengacara), sampel dari ‘warga kelas pekerja’, sampel dari ‘kelompok mahasiswa di Paris, dan sampel dari ‘kelompok sarjana teknik usia dewasa’. Dalam penelitian ini ditemukan data bahwa konsep psikoanalitik dan cara berpikir secara luas telah memasuki kehidupan keseharian. Tetapi, dapat pula ditunjukkan bahwa teori psikoanalisis hanyan dipahami dalam aspek-aspek tertentu dan bahwa persepsi atas teori psikoanalisis berbeda dari satu kelompok sampel dengan kelompok sampel lainnya. Misalnya, masing-masing kelompok dibandingkan berkenaan dengan seberapa banyak mereka mengetahui tentang psikoanaliasis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok sampel kelas menengah secara signifikan lebih baik ketimbang kelompok sampel kelas pekerja dalam menjawab pertanyaan seperti: kapan teori psikoanalisis muncul, berapa lama terapi psikoanalitik dilakukan dan seterusnya. Kelompok sampel juga dibandingkan berkenaan dengan sikap mereka terhadap teori psikoanalisis dan tingkatan sejauh mana pengetahuan tentang psikoanalisis memiliki keterkaitan dengan sikap (positif atau negatif) terhadap teori psikoanalisis. Di sini, korelasi memiliki perbedaan lagi antara satu kelompok sampel dengan kelompok sampel lainnya. Akhirnya, penelitian ini juga menunjukkan adanya variasi dalam perlakuan atas teori psikoanalisis dalam berbagai jurnal yang diklasifikasikan menurut orientasi politik umumnya, dan gaung khusus teori psikoanalisis yang ditemukan dalam media Katholik dan Marxist, yaitu, konteknya didsarkan pada pandangan khusus. Representasi sosial atas kesehatan dan penyakit di Perancis pada tahun 1950-an. Penelitian paradigmatik kedua yang pertama kali diterjemahkan dalam Bahasa Inggris serta lebih menarik perhatian terhadap teori representasi sosial secara umum, adalah penelitian dari Herzlich (1973). Dalam wawancara terbuka, 80 orang dari kelompok sosial yang dibedakan dalam kelompok pendidikan dan profesi, diwawancarai tentang ide-ide mereka terkait dengan kesehatan dan penyakit. Berbeda dengan penelitian Moscovici, tuntutan pada ke-representatifan bersifat lebih fleksibel dan mendalam dalam pengumpulan data. Di samping itu, tujuan penelitian untuk mengetahui bagaimana teori tertentu merasuk dalam masyarakat telah ditinggalkan: sebagai pengganti dari suatu teori yang digunakan sebagai titik mula, jalurnya direkonstruksi melalui analisis media, bagian subkjektif dari asal mula dan makna dari representasi sosial juga diperhatikan. Hal yang paling mengesankan adalah, penelitian ini menghasilkan pembedaan dalam tipologi, yaitu konsepsi keseharian tentang kesehatan dan konsep tentang penyakit. Maka, sebagai contoh, representasi atas penyakit berpusar pada pandangan bahwa ‘penyakit sebagai destruktif (ditandai dengan hilangnya peran dan munculnya isolasi sosial karena sifat tergantung terhadap orang lain), ‘penyakit sebagai pembebas’ (dipersepsi sebagai suatu kesempatan untuk beristirahat sejenak dan terbebas dari kewajiban sosial, menawarkan pilihan baru) dan ‘penyakit sebagai suatu pekerjaan (ditandai dengn perjuangan aktif melawan penyakit dan mengatasinya karena adanya pasien). Tipologi tersebut meng-gambarkan keragaman dalam representasi sosial atas kesehatan dan penyakit. Selaras dengan inti dari representasi ini, tipologi tersebut menunjukkan berbagai cara mengkonstruksi secara sosial atas kesehatan dan penyakit sebagai fenomena dan menafsirkan relasi individu dengan lingkungan dan masyarakat. Representasi sosial atas kegilaan di Perancis pada tahun 1980-an. Penelitian Jodelet (1991) tentang representasi sosial atas kegilaan, telah dikaji selama beberapa periode waktu sebagai contoh paradigmatik ketiga. Penelitian ini dilakukan di sebuah desa di Perancis, dimana sebagain besar penduduknya memiliki generasi yang mengalami sakit jiwa dan dirawat di rumah mereka sendiri. Dalam penelitian ini, konsep sakit jiwa, kegilaan dan orang yang menderita sakit jiwa serta pengaruh konsep tersebut dalam membentuk kehidupan keseharian diteliti dengan menggunakan observasi partisipan, wawancara pelengkap dan analisis terhadap dokumen. Penelitian ini menemukan bahwa teori naif tentang kegilaan telah membentuk inti dari representasi sosial atas gangguan jiwa. Teori naif ini ditentukan oleh penularan dan oleh rasa takut kehilangan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Hal ini membantu untuk menjelaskan berbagai praktik di desa tersebut, dimana terdapat hal yang bertolak belakang dalam isi dan dampak terdahap tujuan ‘resmi’ dirumahkannya para pasien—dimana anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa tinggal dalam keluarga ketimbang dikucuilkan. Misalnya, Jodelet menemukan dalam sejarah desa tersebut adanya kecenderungan untuk meniadakan makanan bagi penderita gangguan jiwa dalam keluarga—dimana pada awal proyek perumahan, sekitar 10 persen dari pasien harus mengambil makanan secara terpisah, selanjutnya pada 88 persen (pada tahun 1980-an), makanan penderita gangguan jiwa ditiadakan dari makanan keluarga. Secara meningkat, ruangan penderita gangguan jiwa dipisahkan dari ruang keluarga dimana seharusnya mereka tinggal bersama. Pertama, dinding untuk memisahkan mereka dilengkapi dengan lubang untuk mengontrol penderita, selanjutnya dibangun rumah atau tempat tinggal secar terpisah dimana penderita gangguan jiwa tinggal sendiri. Contoh tersebut menunjukkan kecenderungan untuk mengucilkan penderita gangguan jiwa ketimbang untuk melibatkan mereka dalam kehidupan keseharian dengan orang ‘normal’, dimana asal dari tujuan dan alasan yang mendasari proyek perumahan bagi penderita gangguan jiwa sebagai alternatif bagi rumah sakit jiwa. Dalam penelitian Jodelet juga tidak menggunakan teori khusus sebagai titik mula, dan juga kita tidak menemukan analisis isi terhadap media massa berkenaan dengan konsep teoritis sebagaimana dalam penelitian Moscovici (1976). Bahkan, pengubahan wacana kegilaan dan gangguan jiwa diteliti dalam hubunggan dengan pengubahan cara menghadapi penderita gangguan jiwa dalam kehidupan keseharian di desa tersebut. Perbandingan. Ketiga penelitian tersebut dan hasilnya dapat dibandingkan dalam beberapa aspek, tetapi berbeda dalam aspek-aspek tertentu. Ketiga penelitian tersebut telah melengkapi ide-ide tentang apa yang membentuk inti dari representasi sosial yang diteliti dan cara dari ide-ide tersebut berbeda dari pandangan ‘resmi’ terhadap objek mereka. Penelitian Moscovici menunjukkan perbedaan dalam representasi sosial atas psikoanalisis yang dibandingkan dengan teeori Freud, serta menunjukkan juga asumsi inti dari psikoanalisis dalam masyarakat. Herzlich menunjukkan cara dari konsep seperti kesehatan dan penyakit yang digunakan oleh objek wawancara untuk menafsirkan relasi mereka dengan masyarakat dan lingkungan serta memberi relasi tersebut suatu bentuk khususu yang dismbolkan dalam inti figuratif dari representas sosial. Dalam penelitian Jodelet, pada satu sisi menunjukkan adanya kontradiksi antara pandangan resmi atas gangguan jiwa dan tujuan bagi perlakuan di desa tersebut, dan pada sisi lain menunjukkan kejelasan adanya pandangan ‘tidak resmi’ atas kegilaan dalam representasi sosial ini desa tersebut dan dalam praktik keseharian. Maka, inti dari representasi sosial dan perbedaannya dari pengetahuan resmi, telah ditunjukkan dalam masing-masing penelitian tersebut. Penekanan dari penelitian tersebut berbeda. Sementara Moscovici lebih tertarik pada distribusi pengetahuan tentang suatu teori, Herzlich lebih berfokus pada subjektif dan konstruksi sosial terhadap objek seperti kesehatan dan penyakit serta cara dari konsep-konsep tersebut digunkan untuk menafsirkan dan mengkonstruk realitas sosial. Akhirnya, Jodelet lebih tertarik pada cara dari reperesentasi sosial mempengarui praktik keseharian dan bagaimana elaborasi ilmiah mereka melengkapi cara menafsirkan praktik keseharian dan kontradiksi di antara mereka. Secara umum, berbagai penelitian tentang representasi sosial ditempatkan dalam segitiga fokus berikut—distribusi sosial dari pengetahuan (ilmiah atau non ilmiah) konstruksi sosial dan fungsi dari pengetahuan serta peranannya dalam praktik keseharian. Tradisi keempat dalam penelitian representasi sosial diikuti oleh kelompok Abric, Flament, Codol dan lainnya di Provinsi Aix-en. Sejak akhir tahun 1960-an, kelompok ini mengkaji secara eksperimental, adakah inti dalam representasi sosial yang dapat dipisahkan dan diuji serta selanjutnya dibedakan dari elemen pinggiran yang kurang stbil. Jenis penelitian ini mengalami peningkatan saat melibatkan pertanyaan tradisional dan metode dalam psikologi kognitif. Dari sudut oandang metodologis, kita menemukan berbagai metode dalam penelitian representasi sosial tergantung pada topik dan tujuan penelitian. Cakupan metode dari desain yang berorientasi antrpologi (Jodelet) hingga metode eksperimental (Abric). Konsep dan perspektif dari representasi sosial telah cukup terbuka untuk mengintegrasikan spektrum metodologi dan teoritisnya. Namun, teori representasi sosial memiliki beberapa konsep sentral yang akan dikaji dalam tulisan ini. D. Konsep Sentral dalam Teori Representasi Sosial Definisi. Beberapa kritik terhadap konsep representasi sosial didasarkan pada asumsi bahwa tidak pernah ada definisi yang jelas dan berbeda dari representasi sosial. Tetapi, Moscovici sendiri mendefinisikan representasi sosial sebagai berikut : Suatu sistem nilai, ide-ide dan praktik yang memiliki dua fungsi: pertama membangun suatu tatanan yang akan memampukan individu untuk mengorientasikan dirinya dalam lingkungan material dan sosial serta untuk menguasainya; dan kedua untuk memampukan komunikasi yang terjadi diantara anggota komunitas dengan menghadirkan suatu kode bagi pertukaran sosial dan suatu kode untuk penamaan dan pengklasifikasian secara jelas terhdap berbagai aspek lingkungan meraka serta sejarah individu dan kelompok. (Moscovici, 1973). Dalam pengertian ini, representasi sosial merupakan suatu proses yang dimiliki secara sosial dan dihasilkan secara interaktif atas pemahaman objek dan proses serta suatu cara untuk mengkomunikasikan tentang mereka dengan orang lain. Secara lebih umum, proses ini merupakan bagian dari proses sosial dalam mengkonstruksi realitas—baik melalui pengetahuan maupun melalui praktik sosial. Menurut Moscovici, tujuan dari setiap representasi (sosial) adalah menjdikan sesuatu yang tidak familiar, atau ketidakfamiliaran itu sendiri, menjadi familiar (1984). Dalam proses representasi sosial tersebut, ada dua proses yang dipandang sebagai inti: anchoring dan objectification. Dalam konteks ini, anchoring berarti ‘mengangkat ide-ide asing, mereduksinya pada kategori-kategori dan kesan umum, menatanya dalam suatu konteks yang familiar. Proses kedua adalah objectification atas ide-ide dan proses, dimana ‘mengalihkan sesuatu yang abstrak menjadi sesuatu yang lebih konkret, mentransfer dari sesuatu yang berada di pikiran menjadi sesuatu yang berada dalam dunia fisik. Dua proses tersebut memainkan peran sentral dalam konstruksi atas berbagai representasi sosial, yaitu cara dari representasi sosial dihasilkan, dipertahankan dan diubah. Anchoring. Ide sentral dalam anchoring adalah mengintegrasikan fenomena baru—objek, penglaman, relasi, praktik, d.l.l—menjadi pandangan dan kategori yang ada, membuang ketidakfamiliaran dan sifat menakutkan, singkatnya aspek-aspek asingnya: ‘Maka, mengangkat, mengklasifikasikan dan menamakan sesuatu. Titik acuan dalam proses ini adalah kategori-kategori yang telah ada diintegrasikan pada fenomena tersebut dan prototip kategori dibandingkan dengan fenomena tersebut. Pengeneralisasian dn pengkhususan adalah dua startegi yang digunakan untuk mengklasifikasikan fenomena. Pada kasus pertma, perbedaan antara fenomena diklasifikasikan dan prototip dalam kategori tersebut diredukdi dengan mengabstrakkan dari kekhususan-kekhususan pada fenomena tersebut. Sebaliknya, pada kasus kedua, perbedaan tersebut ditekankan dan dicari perbedaan krusialnya. Melalui proses penamaan ini, suatu fenomena dapat diperoleh dalam tiga langkah: …(a) setelah diberi nama, sesorang tau sesuatu dapat digambarkan dan memperoleh karakteristik-karakteristik tertentu, kecenderungan, d.l.l; (b) ia (individu) atau ia (sesuatu) menjadi berbeda dari individu atau sesuatu lainnya melalui tiga karakteristik dan kecenderungan; dan (c) ia (individu) atun ia (sesuatu) menjadi objek dari suatu konvensi antara mereka yang mengadopsi dan memiliki konvensi yang sama. Penekanan aspek terakhir ini, yaitu pelaziman pengalaman atau pengetahuan yang dimiliki bersama, proses anchoring dalam representasi sosial melampaui model-model kognitif lainnya, yaitu klasifikasi atau tipifikasi. Hal ini lebih mengacu pada model sosial dari pengetahuan dari Schutz (1971-1972) atau Fleck (1980). Dalam hal ini, anchoring tidak dipandang sebagai proses yang bersifat universalistik—valid bagi semua orang—dan tidak pula sebagai proses individual—terjadi pada diri individu—tetapi sebagai proses sosial. Billig menekankan hal ini sebagai berikut : Meskipun demikian, terdapat perbedaan krusial antara pendekatan kognitif dengan pendekatan representasi sosial. Ahli psikologi sosial kognitif cenderung memandang kategorisasi berkaitan dengan pemfungsian individu. Sebaliknya, ahli teori representasi sosial mengkaji pemfungsian sosial dari anchoring. Apa yang direpresentasikan adalah objek sosial, dan anchoring menggambarkan individu menjadi tradisi kultural dari kelompok, sedang pada sat yang sama juga mengembangkan tradisi tesebut. Dalam hal ini, representasi berakar dari kehidupan kelompok (1988: 6) Dalam hal ini, perbedaan lain dari proses yang murni kognitif yaitu klasifikasi, bahwa anchoring merupakan suatu proses dimana makna diperoleh (Jodelet, 1984). Relevansi umum dari proses ini, bagi Moscovici (1984) adalah bahwa tidak ada persepsi dan berpikir tanpa anchoring. Tujuan sentral dari klasifikasi dan penamaan adalah untu mempermudah interpretasi atas karakteristik, memahami tujuan…dinalik tindakan manusia. Pemahaman melalui anchoring, pada umumnya didasarkan pada pengklasifikasian fenomena agar dapat dimengerti menjadi kategori-kategori tertentu, sistem dari kategori atau kumpulan pengetahuan; bagaimanapun juga, terdapat perluasan dan pemodifikasian jika hal tersebut dipandang perlu. Relevansi konkret dari proses ini mungkin secara garis besar seperti dalam contoh perubahan teknologi dalam kehidupan keseharian sebagai berikut. Inti dari poin ini adalah respon yang bertentangan terhadap piranti baru dan kemunculan teknologi baru yang diintegrasikan dalam kategori dan representasi yang telah familiar bagi individu dalam konteks sosial mereka. Dengan menanchoring objek-objek baru dalam kategori tertentu, selanjutnya kategori-kategori tersebut dimodifikasi secara bertahap—kategori tersebut diperluas, dibedakan, dsatukan, atau ditempatkan dalam relasi yang berbeda dengan kategori lainnya. Namun, proses konstruksi dan klasifikasi ini tidak dibatasi pada, dan juga tidak sekedar menempatkan dalam individu, tetapi dilekatkan pada klasifikasi dan konstruksi sosial. Hal ini menggunakan atau memodifikasi kategori-kategori dan kelas-kelas yang telah ada dalam komunikasi keseharian dan diterima serta dilazimkan dalam konteks sosial dan kultural. Proses tersebut, dan secara khusus keterbatasannya, menjadi bukti ketika pola klasifikasi yang familiar tidak lagi sesuai bagi piranti atau teknologi tertentu dan konsekuensinya. REPRESENTASI DAN MEDIA OLEH STUART HALL November 18, 2007 by yolagani Stuart Hall menganggap bahwa “ada yang salah” dengan representasi kelompok minoritas dalam media, bahkan ia meyakini bahwa imaji-imaji yang dimunculkan oleh media semakin memburuk. Ungkapnya, “There is something radically wrong with the way black immigrants-West Indians,Asians, Africans- are handled by and presented on the mass media”. Hall mengamati bahwa media cenderung sensitif pada gaya hidup kelas menengah keatas, mayoritas masyrakat yang sudah teratur, sementara orang kulit hitam digambarkan sebagai “kelompok luar”, “diluar konsensus”, “relatif tidak terorganisir”, “kelas pekerja”. Lebih lanjut, media semakin mengagungkan institusi masyarakat, dimana masyarakat kulit hitam bermasalah dalam area kekuasaan sensitif itu; pekerjaan, diskriminasi publik, perumahan, legalisasi parlemen,pemerintahan lokal, hukum dan polisi. Persoalan representasi ini membawa kita pada beberapa pertanyaan penting: • Apakah gambaran di media membantu kita untuk memahami atau mengerti bagaimana dunia bekerja ? • Gambaran orang kulit hitam yang seperti apa yang direpresentasikan dalam media ? REPRESENTASI : OLD VIEW VS. NEW VIEW Representasi,biasanya , dipahami sebagai gambaran sesuatu yang akurat atau realita yang terdistorsi. Representasi tidak hanya berarti “to present”, “to image”, atau “to depict”. Kedua, gambaran politis hadir untuk merepresentasikan kepada kita. Kedua ide ini berdiri bersama untuk menjelaskan gagasan mengenai representasi. “representasi” adalah sebuah cara dimana memaknai apa yang diberikan pada benda yang digambarkan. Konsep lama mengenai representasi ini didasarkan pada premis bahwa ada sebuah gap representasi yang menjelaskan perbedaan antara makna yang diberikan oleh representasi dan arti benda yang sebenarnya digambarkan. Hal ini terjadi antara representasi dan benda yang digambarkan. Berlawanan dengan pemahaman standar itu, Stuart Hall berargumentasi bahwa representasi harus dipahami dari peran aktif dan kreatif orang memaknai dunia. “so the representation is the way in which meaning is somehow given to the things which are depicted through the images or whatever it is, on screens or the words on a page which stand for what we’re talking about” Hall menunjukkan bahwa sebuah imaji akan mempunyai makna yang berbeda dan tidak ada garansi bahwa imaji akan berfungsi atau bekerja sebagaimana mereka dikreasi atau dicipta. Hall menyebutkan “Representasi sebagai konstitutif”. Representasi tidak hadir sampai setelah selesai direpresentasikan, representasi tidak terjadi setelah sebuah kejadian. Representasi adalah konstitutif dari sebuah kejadian. Representasi adalah bagian dari objek itu sendiri, ia adalah konstititif darinya. Standard view of representation = representation as accurate or distorted. A new view of representation = representation as creative and active the people’s relations to the world and their place within it. BUDAYA SEBAGAI YANG UTAMA “Culture is the way we make sense if, give meaning to the world”. Budaya terdiri dari peta makna, kerangka yang dapat dimengerti, hal-hal yang membuat kita mengerti tentang dunia kita yang eksis. Ambiguitas akan muncul sampai pada saat dimana kita harus memaknainya (make sense of it). Jadi, makna muncul sebagai akibat dari berbagi peta konseptual ketika kelompok-kelompok atau anggota-anggota dari sebuah budaya atau masyarakat berbagi bersama. Konsep budaya mempunyai peran sentral dalam proses representasi. PETA KONSEPTUAL -MENGKLASIFIKASI DUNIA Meskipun kapasitas untuk menggunakan konsep untuk mengklasifikasi adalah ciri dasar genetik makhluk hidup, beberapa sistem tertentu dalam klasifikasi yang digunakan dalan sebuah masyarakat dipelajari. Faktanya, budaya sendiri adalah sebuah sistem representasi. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut ‘pengalaman berbagi’. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam ‘bahasa’ yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang sama. BAHASA DAN KOMUNIKASI Konsep-konsep adalah representasi-representasi, yang memperbolehkan kita untuk berpikir. Tetapi kita belum selesai dengan sirkulasi representasi ini, karena seharusnya kita berbagi peta konseptual yang sama, sehingga kita dapat memahami dunia melalui sistem klasifikasi yang sama yang ada di kepala kita. Akhirnya, pertanyaan mengenai komunikasi dan bahasa melengkapi sirkulasi representasi. Kita bisa saling berkomunikasi karena adanya kemunculan bahasa-bahasa (linguistik). Bahasa mengeksternalisasi makna yang kita buat tentang dunia kita. Sampai pada titik ini representasi benar-benar mulai dan menutup sirkulasi representasi. Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita dalam memaknai sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mempu melakukan semua ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi. Lewat bahasa (simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan, atau gambar) kita mengung-kapkan pikiran, konsep, dan ide-ide kita tentang sesuatu. Makna sesuatu hal sangat tergantung dari cara kita ‘merepresentasikannya’. Dengan mengamati kata-kata yang kita gunakan dan imej-imej yang kita gunakan dalam merepresentasikan sesuatu bisa terlihat jelas nilai-nilai yang kita berikan pada sesuatu tersebut. REALITAS DAN WACANA Lihatlah pada 2 kalimat dibawah ini, yang kelihatannya sama atau bahkan identik tetapi sebenarnya berbeda: 1. “nothing meaningful exists outside of discourse” (benar) – ANDA MEMBUTUHKAN WACANA, KERANGKA UNTUK MEMAHAMI DAN MENGINTERPRETASI UNTUK MEMBERI MAKNA PADA APAPUN. 2. “nothing exists outside the discourse” (salah) Wacana (Discourse) dan kerangka yang dapat dimengerti (framework of intengibility) adalah tentang bagaimana orang memberi makna pada benda-benda dan bagaimana mereka menjadi bermakna, tidak hanya jika mereka eksis (secara fisik). Hall menegaskan bahwa tanpa bahasa, makna tidak dapat dipertukarkan. Media yang berbeda menggunakan tanda bahasa yang berbeda, tetapi tanpa bahasa, tidak akan ada representasi; tanpa representasi, tidak akan ada makna. PRAKTEK SIGNIFIKANSI Yang dimaksud oleh Hall dengan praktek signifikansi (signifying process) adalah: ” there is a kind of smybolic work, an activity, a practice, which has to go on in giving meaning to things and in communicating that meaning to someone else.” Pertanyaan mengenai sirkulasi makna secara otomatis melibatkan isu kekuasaan. Siapa yang mempunyai kekuasaan, di channel yang mana, untuk mensirkulasikan makna kepada siapa ?. Hall memahami bahwa komunikasi selalu berhubungan dengan kekuasaan. Kelompok yang memiliki dan menggunakan kekuasaan dalam masyarakat mempengaruhi apa yang direpresentasikan melalui media. Pesan-pesan tersebut bekerja secara kompleks. Pengetahuan dan kekuasaan saling bersilangan. Isu kekuasaan tidak dapat dilepaskan dari pertanyaan representasi. MAKNA DAN KETIDAKADAAN (ABSENCE) Makna secara manifest berhubungan dengan apa yang pertama kali kita harapkan untuk temukan, yang tampak tidak dimanapun di dalam imaji, bahkan berlawanan dengan yang ada di dalam imaji. Kadang kala yang terekspresikan adalah ketiadaan (atau ketidakhadiran).Apa yang menjadi tertanda (signified), tidak secara sederhana bermakna seperti yang sudah tertanda, tetapi mereka lebih dalam lagi dapat menumbangkan harapan kita. Namun hal-hal yang tidak kita harapkan atau tidak muncul secara nyata dalam imaji menjadi sama pentingnya dengan apa yang secara nyata ada di imaji itu. Ketidakhadiran itu (absence) BUKANNYA tidak bermakna atau tidak memberi signifikansi. Yang tidak hadir bermakna sesuatu dan memberikan signifikansi, sama seperti yang hadir (presence). IDENTITAS, IDENTIFIKASI DAN PENONTON Tuntutan (claim) dapat diciptakan tanpa kata-kata. Tuntuan tersebut dapat dibuat melalui manipulasi obyek. Iklan bekerja atas dasar identifikasi. Iklan hanya bekerja ketika kita mengidentifikasi apa yang direpresentasikan oleh imaji-imaji. Imaji-imaji itu mengkonstruksi kita, melalui hubungan kita dengan mereka (imaji-imaji) Makna adalah interpretasi. IDEOLOGI DAN KEKUATAN MAKNA TETAP Makna tidaklah pernah dapat tinggal tetap (atau ditetapkan). Makna dapat berubah jika makna tidak dapat ditetapkan. Kuasa (power) terdiri atas memilih satu makna diantara banyak makna yang cocok dengan interes tertentu. Karena jika makna akan tinggal ‘tetap’ atau berubah tidak dapat digaransi maka makna dapat menjadi longgar dan berjerumbai. Tujuan dari kekuasaan (power), ketika mengintervensi (mengganggu) bahasa adalah untuk memberbaiki secara absolut. Itulah yang dilakukan oleh ideologi. Ambisi dari ideologi adalah untuk memperbaiki makna tertentu untuk gambaran (image) spesifik. Kekuasaan (power) dalam proses signifikansi selalu mempunyai tendensi untuk menutup bahasa, menutup makna dan memberhentikan alirannya. MENENTANG STEREOTIP : GAMBARAN POSITIF Stereotip menetapkan makna yang diberikan kepada kelompok-kelompok. Misalnya, gambaran orang kulit hitam yang terbatas, memberikan efek pada apa yang dipahami masyarakat mengenai orang kulit hitam dalam dunia nyata. Gambaran (images) memproduksi pengetahuan tentang bagaimana kita melihatnya direpresentasikan. Sehingga perjuangan untuk membuka praktik stereotip kadang adalah sebuah perjuangan untuk meningkatkan perbedaan, celakanya, semakin memperlihatkan identitas yang memungkinkan dari orang-orang yang belum direpresentasikan sebelunnya. Itulah politik gambaran (politics of the image). Ada kesulitan tersendiri ketika ingin membalikkan stereotip negatif tersebut, sebagaimana juga sulit untuk mempertahankan (atau memperbaiki) representasi positif. MENANTANG STEREOTIP : MENGESAMPINGKAN IMAJI Gambaran menaturalisasikan representasi. Praktik representasi itu sendiri melakukan naturalisasi representasi sampai anda tidak bisa melihat siapa yang memproduksi mereka. Gambaran-gambaran ini telah menyembunyikan proses representasi. Sehingga tampaknya seperti itulah realita yang terjadi. Sehingga mengarah pada praktik representasi ada beberapa pertanyaan terlontar antara lain: 1. darimana gambaran-gambaran ini datang ? 2. siapa yang memproduksi gambaran-gambaran tersebut ? 3. siapa yang dibungkam dalam produksi gambaran-gambaran tersebut ? Menginterogasi praktik stereotip membuat mereka tidak dapat didiami (unihabitable), itu akan menghancurkan “kenaturalan dan kenormalannya” MASA DEPAN REPRESENTASI Representasi terbuka pada pengetahuan-pengetahuan baru untuk diproduksi dalam dunia, berbagai macam subyektivitas untuk dieksplor, dan dimensi baru makna yang tidak pernah menutup sistem kekuasaan yang sedang beroperasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar