Teori-Teori Pluralisme
ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT : “Idealisme, Materialisme,
Eksistensialisme, Monisme, Dualisme dan Pluralisme”
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Penjelasan mengenai makna kehidupan dan bagaimana seharusnya kita menjalaninya merupakan masalah yang klasik, yang hingga sekarang susah untuk ditetapkan filsafat manayang paling benar yang seharusnya kita anut. Para filsuf tersebut menggunakan sudut pandangyang berbeda sehingga menghasilkan filsafat yang berbeda pula.Dari beberapa banyak aliranfilsafat, kami hanya membahas aliran filsafat idealisme, materialisme, eksistensialisme,monisme, dualisme dan pluralisme. Antara aliran atau paham yang satu dan yang lainnya adayang saling bertentangan dan ada pula yang memiliki konsep dasar sama. Akan tetapi meskipunbertentangan, bukanlah untuk saling dipertentangkan. Justru dengan banyaknya aliran ataupaham yang sudah diperkenalkan oleh tokoh-tokoh filsafat, kita dapat memilih cara yang pasdengan persoalan yang sedang kita hadapi.Memahami sistem filsafat sesungguhnya menelusuri dan mengkaji suatu pemikiranmendasar dan tertua yang mengawali kebudayaan manusia. Suatu sistim, filsafat berkembangberdasarkan ajaran seorang atau beberapa orang tokoh pemikir filsafat.Sistem filsafat sebagaisuatu masyarakat atau bangsa.Sistem filsafat amat ditentukan oleh potensi dan kondisimasyarakat atau bangsa itu, tegasnya oleh kerjasama faktor dalam dan faktor luar.Faktor-faktorini diantaranya yang utama ialah sikap dan pandangan hidup, citakarsa dan kondisi alamlingkungan. Apabila cita karsanya tinggi dan kuat tetapi kondisi alamnya tidak menunjang,maka bangsa itu tumbuhnya tidak subur (tidak jaya).Tujuan dari penulisan makalah ini sendiri,selain memenuhi kewajiban membuat tugas, adalah untuk memenuhi rasa ingin tahu danketerkaitan penulis terhadap bab aliran filsafat idealisme, materialisme, eksistensialisme,monisme, dualisme, dan pluralisme.
2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat kami rumuskan masalah sebagai berikut :
a. Apa pengertian dari idealisme, materialisme, eksistensialisme, monisme, dualisme, dan pluralisme ?
b. Siapa saja yang berperan dan paling berperan dalam aliran-aliran filsafat ?
c. Apa saja pembagian jenis-jenis dari masing-masing aliran filsafat tersebut ?
3. TUJUAN
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah:1. Untuk mengetahui pengertian dari aliran-aliran tersebut diatas2. Untuk mengetahui tokoh-tokoh yang berperan dalam aliran- aliran dalam filsafat tersebutdiatas.
BAB II PEMBAHASAN
A. IDEALISME
Di dalam filsafat, idealisme adalah doktrin yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanyadapat dipahami dalam kebergantungannya pada jiwa (mind) dan roh (spirit).Istilah ini diambildari kata “idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.Kata idealisme dalam filsafat mempunyaiarti yang sangat berbeda dari arti yang biasa dipakai dalam bahasa sehari-hari. Kata idealis itudapat mengandung beberapa pengertian, antara lain : Seorang yang menerima ukuran moral yangtinggi, estetika, dan agama serta menghayatinya;Orang yang dapat melukiskan danmenganjurkan suatu rencana atau program yang belum ada.Arti falsafi dari kata idealisme ditentukan lebih banyak oleh arti dari kata ide daripada kataideal.
W.E. Hocking, seorang idealis mengatakan bahwa kata idea-ism lebih tepat digunakandaripada idealism.Secara ringkas idealisme mengatakan bahwa realitas terdiri dari ide-ide,pikiran-pikiran, akal (mind) atau jiwa (self) dan bukan benda material dan kekuatan. Idealisme menekankan mind sebagai hal yang lebih dahulu (primer) daripada materi.Alam, bagi orang idealis, mempunyai arti dan maksud, yang diantara aspek-aspeknya adalahperkembangan manusia. Oleh karena itulah seorang idealis akan berpendapat bahwa, terdapatsuatu harmoni yang dalam arti manusia dengan alam. Apa yang “tertinggi dalam jiwa” jugamerupakan “yang terdalam dalam alam”. Manusia merasa ada rumahnya dengan alam; iabukanlah orang atau makhluk ciptaan nasib, oleh karena alam ini suatu sistem yang logis dan spiritual; dan hal ini tercermin dalam usaha manusia untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Jiwa (self) bukannya satuan yang terasing atau tidak rill, jiwa adalah bagian yang sebenarnyadari proses alam. Proses ini dalam tingkat yang tinggi menunjukkan dirinya sebagai aktivis, akal, jiwa, atau perorangan. Manusia sebagai satuan bagian dari alam menunjukkan struktur alamdalam kehidupan sendiri. Pokok utama yang diajukan oleh idealisme adalah jiwa mempunyai kedudukan yang utamadalam alam semesta.Sebenarnya, idealisme tidak mengingkari materi. Namun, materi adalah suatu gagasan yang tidak jelas dan bukan hakikat. Sebab, seseorangakanmemikirkan materidalam hakikatnya yang terdalam, dia harus memikirkan roh atau akal. Jika seseorang ingin mengetahui apakah sesungguhnya materi itu, dia harus meneliti apakah pikiran itu, apakah nilai itu, dan apakah akal budi itu, bukannya apakah materi itu. Paham ini beranggapan bahwa jiwa adalah kenyataan yang sebenarnya. Manusia ada karena ada unsur yang tidak terlihat yang mengandung sikap dan tindakan manusia. Manusia lebih dipandang sebagai makhluk kejiwaan/kerohanian. Untuk menjadi manusia maka peralatan yang digunakannya bukan semata-mata peralatan jasmaniah yang mencakup hanya peralatan panca indera, tetapi juga peralatan rohaniah yang mencakup akal dan budi. Justru akal dan budilah yangmenentukan kualitas manusia. Jenis-Jenis Idealisme Sejarah idealisme cukup berliku-liku dan meluas karena mencakup berbagai teori yang berlainan walaupun berkaitan. Ada beberapa jenis idealisme yaitu : idealisme subjektif, idealisme objektif, dan idealisme personal.
1. Idealisme Subjektif adalah filsafat yang berpandangan idealis dan bertitik tolak pada idemanusia atau ide sendiri.Alam dan masyarakat ini tercipta dari ide manusia. Segala sesuatu yangtimbul dan terjadi di alam atau di masyarakat adalah hasil atau karena ciptaan ide manusia atauidenya sendiri, atau dengan kata lain alam dan masyarakat hanyalah sebuah ide/fikiran daridirinya sendiri atau ide manusia.Salah satu tokoh terkenal dari aliran ini adalah seorang dari inggris yang bernama George Berkeley (1684-1753 M). Menurut Berkeley, segala sesuatu yang tertangkap olehsensasi/perasaan kita itu bukanlah materi yang real dan ada secara objektif
2. Idealisme Objektif adalah idealisme yang bertitik tolak pada ide di luar ide manusia. Idealismeobjektif ini dikatakan bahwa akal menemukan apa yang sudah terdapat dalam susunan alam.Menurut idealisme objektif segala sesuatu baik dalam alam atau masyarakat adalah hasil dariciptaan ide universil.Pandangan filsafat seperti ini pada dasarnya mengakui sesuatu yang bukanmateri, yang ada secara abadi di luar manusia, sesuatu yang bukan materi itu ada sebelum duniaalam semesta ini ada, termasuk manusia dan segala pikiran dan perasaannya. Filsuf idealis yang pertama kali dikenal adalah Plato.Ia membagi dunia dalam dua bagian.Pertama, dunia persepsi, dunia yang konkret ini adalah temporal dan rusak; bukan dunia yangsesungguhnya, melainkan bayangan alias penampakan saja.Kedua, terdapat alam di atas alambenda, yakni alam konsep, idea, universal atau esensi yang abadi.
3. Idealisme Personal (personalisme) yaitu nilai-nilai perjuangannya untuk menyempurnakan dirinya. Personalisme muncul sebagai protes terhadap materialisme mekanik dan idealisme monistik. Bagi seorang personalis, realitas dasar itu bukanlah pemikiran yang abstrak atau prosespemikiran yang khusus, akan tetapi seseorang, suatu jiwa atau seorang pemikir.
a. Tokoh-Tokoh Idealisme
1. J.G. Fichte (1762-1814 M)Johan Gottlieb Fichte adalah filosof Jerman.Ia belajar teologi di Jena pada tahun 1780-1788.Filsafat menurut Fichte haruslah dideduksi dari satu prinsip. Ini sudah mencukupi untukmemenuhi tuntutan pemikiran, moral, bahkan seluruh kebutuhan manusia.Prinsip yang dimaksudada di dalam etika.Bukan teori, melainkan prakteklah yang menjadi pusat yang disekitarnya kehidupan diatur. Unsur esensial dalam pengalaman adalah tindakan, bukan fakta. Menurut pendapatnya subjek “menciptakan” objek. Kenyataan pertama ialah “saya yang sedang berpikir”, subjek menempatkan diri sebagai tesis.Tetapi subjek memerlukan objek, seperti tangankanan mengandaikan tangan kiri, dan ini merupakan antitesis. Subjek dan objek yang dilihat dalam kesatuan disebut sintesis. Segala sesuatu yang ada berasal dari tindak perbuatan sang Aku.
2. G.W.F Hegel (1798-1857 M) Hegel lahir di Stuttgart, Jerman pada tanggal 17 Agustus 1770. Ayahnya adalah seorangpegawai rendah bernama George Ludwig Hegel dan ibunya yang tidak terkenal itu bernamaMaria Magdalena. Pada usia 7 tahun ia memasuki sekolah latin, kemudian gymnasium. Hegel muda ini tergolong anak telmi alias telat mikir! Pada usia 18 tahun ia memasuki Universitas Tubingen. Setelah menyelesaikan kuliah, ia menjadi seorang tutor, selain mengajar di Yena. Pada usia 41 tahun ia menikah dengan Marie Von Tucher. Karirnya selain menjadi direktur sekolah menengah, juga pernah menjadi redaktur surat kabar. Ia diangkat menjadi guru besar di Heidelberg dan kemudian pindah ke Berlin hingga ia menjadi Rektor Universitas Berlin (1830). Pokok-Pokok Pikiran (Filsafat) Hegel Tema fisafat Hegel adalah Ide Mutlak. Oleh karena itu, semua pemikirannya tidak terlepas dari ide mutlak, baik berkenaan dari sistemnya, proses dialektiknya, maupun titik awal dan titik akhir kefilsafatannya. Oleh karena itu pulalah filsafatnya disebut filsafat idealis, suatu filsafat yangmenetapkan wujud yang pertama adalah ide (jiwa). Rasio, ide, dan roh Hegel sangat mementingkan rasio, tentu saja karena ia seorang idealis. Yang dimaksud olehnya bukan saja rasio pada manusia perseorangan, tetapi rasio pada subjek absolut karena Hegel jugamenerima prinsip idealistik bahwa realitas seluruhnya harus disetarafkan dengan suatu subjek. Dalil Hegel yang kemudian terkenal berbunyi : “ Semua yang real bersifat rasional dan semua yang rasional bersifat real.” Maksudnya, luasnya rasio sama dengan luasnya realitas. Realitas seluruhnya adalah proses pemikiran (idea, menurut istilah Hegel) yang memikirkan dirinya sendiri. Atau dengan perkataan lain, realitas seluruhnya adalah Roh yang lambat laun menjadi sadar akan dirinya. Dengan mementingkan rasio, Hegel sengaja beraksi terhadap kecenderungan intelektual ketika itu yang mencurigai rasio sambil mengutamakan perasaan. Pusat fisafat Hegel ialah konsep Geist (roh, spirit), suatu istilah yang diilhami oleh agamanya. Istilah ini agak sulit dipahami, Roh dalam pandangan Hegel adalah sesuatu yang real, kongkret, kekuatan yang objektif, menjelma dalam berbagai bentuk sebagai world of spirit (dunia roh), yang menempatkan ke dalam objek-objek khusus. Di dalam kesadaran diri, roh itu merupakan esensi manusia dan juga esensi sejarah manusia. Demi alam kembalilah idea atau roh kepada diri sendiri. Dalam fase ini, mula-mula rohitu merupakan roh subjektif, kemudian roh objektif, dan akhirnya roh mutlak. Sebagai roh subjektif, roh itu mengenal dirinya dan merupakan tiga tingkatan : antropologi, fenomologi, dan psikologi. Dalam antropologi, kenalah roh itu akan dirinya dalampenjelmaan pada alam. Dalam fenomenologi, kenalah dia akan dirinya dalam perbedaannyadengan alam.
Adapun pada psikologi, roh mengenal dirinya dalam kemerdekaan terhadap alam,mula-mula teoritis, kemudian praktis dan akhirnya merdekalah roh itu.Maka meningkatlah kepada roh objektif. Roh objektif ini roh mutlak yang menjelma pada bentuk-bentuk kemasyarakatan manusia, hak dan hukum kesusilaan dan kebajikan. Dalam hak dan hukum terdapat penjelmaan roh merdeka itu pada hukum-hukum umum. Di samping ituadalah kesusilaan yang merupakan kebatinan. Pada sintesis keduanya itu terlahirlah kebajikan. Sampailah sekarang kepada roh mutlak. Roh mutlak itu ialah idea yang mengenal dirinya dengan sempurna itu merupakan sintesis dari roh subjektif dan objektif. Tak ada lagi, pertentangan antara subjek dan objek antara berpikir dan ada. Oleh karena roh mutlak ini sebenarnya gerak juga, maka dia menunjukkan perkembangan juga : seni (tesis), agama (anti tesis) dan kemudian filsafat (sintesis). Seni itu memperlihatkan idea dalam pandangan indera terhadap dunia, objeknya masih di luar subjek. Adapun agama tidak lagi mempunyai subjek di luar objek, melainkan di dalamnya. Tetapi segala pengertian dan gambaran agama itu dianggap ada. Filsafat akhirnya merupakan sintesis dari seni dan agama merupakan paduan yang lebih tinggi. Di sinilah idea mengenal dirinya dengan sempurna. Dalam sejarah filsafat ternyata benar gerak idea itu, yaitu tesis, antitesis, dan akhirnya sintesis. Misalnya : Parmenides (tesis), Heraklitos (antitesis), dan Plato (sintesis).
Dialektika Untuk menjelaskan filsafatnya, Hegel menggunakan dialektika sebagai metode.Yang dimaksud oleh Hegel dengan dialektika adalah mendamaikan, mengkom-promikan hal-hal yang berlawanan. Proses dialektika selalu terdiri atas tiga fase. Fase pertama (tesis) dihadapi antitesis (fase kedua), dan akhirnya timbul fase ketiga (sintesis). Dalam sintesis itu, tesis dan antitesis menghilang. Dapat juga tidak menghilang, dia masih ada, tetapi sudah diangkat pada tingkat yang lebih tinggi. Proses ini berlangsung terus. Sintesis segera menjadi tesis baru, dihadapi oleh antitesis baru, dan menghasilkan sintesis baru lagi, dan seterusnya.Tesis adalah pernyataan atau teori yang didukung oleh argumen yang dikemu-kakan, laluantitesis adalah pengungkapan gagasan yang bertentangan. Sedangkan sintetis adalah paduan(campuran) berbagai pengertian atau hal sehingga merupakan kesatuan yang selaras. Contoh tesis, antitesis, dan sintesis.
1. Yang “ada” (being) merupakan tesis kemudian berkontraksi dengan “tak ada” (not being)sebagai antitesis, kemudian menghasilkan menjadi (becoming) sebagai sintesis.
2. Dalam keluarga, suami-istri adalah dua makhluk berlainan yang dapat berupa tesis dan antitesis. Anak dapat merupakan sintesis yang mendamaikan tesis dan antitesis.
3. Mengenai bentuk Negara Tesis : Negara diktator. Di Negara ini hidup kemasyarakatan diatur dengan baik, tetapi para warganya tidak mempunyai kebebasan apapun juga. Antitesis : Negara anarki. Dalam Negara anarki para warganya mempunyai kebebasan tanpa batas, tetapi hidup kemasyarakatan menjadi kacau.Sintesis : Negara konstitusional. Sintesis ini mendamaikan antara pemerintahan diktatordengan anarki menjadi demokrasi.
B. MATERIALISME
Materialisme adalah asal atau hakikat dari segala sesuatu, dimana asal atau hakikat dari segalasesuatu ialah materi. Karena itu materialisme mempersoalkan metafisika, namun metafisikanyaadalah metafisika materialisme. Materialisme adalah merupakan istilah dalam filsafat ontology yang menekankan keunggulanfaktor-faktor material atas spiritual dalam metafisika, teori nilai, fisiologi, efistemologi, ataupenjelasan historis. Maksudnya, suatu keyakinan bahwa di dunia ini tidak ada sesuatu selainmateri yang sedang bergerak. Pada sisi ekstrem yang lain, materialisme adalah sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa pikiran ( roh, kesadaran, dan jiwa ) hanyalah materi yangsedang bergerak.Materi dan alam semesta sama sekali tidak memiliki karakteristik-karakteristik pikiran dan tidakada entitas-entitas nonmaterial. Realitas satu-satunya adalah materi.Setiap perubahan bersebabmateri atau natura dan dunia fisik. Beberapa tokoh pemikir materialisme, antara lain :
a. Karl Marx (1818-1883) Marx lahir di Trier Jerman pada tahun 1818, ayahnya merupakan seorang Yahudi dan pengacara yang cukup berada, dan ia masuk Protestan ketika Marx berusia enam tahun. Setelah dewasa Marx melanjutkan studinya ke universitas di Bonn, kemudian Berlin. Ia memperoleh gelar doktor dengan desertasinya tentang filsafat Epicurus dan Demoktirus. Kemudian, ia pun menjadi pengikut Hegelian sayap kiri dan pengikut Feurbach. Dalam usia dua puluh empat tahun, Marx menjadi redaktur Koran Rheinich Zeitung yang dibrendel pemerintahannya karena dianggap revolusioner. Setelah ia menikah dengan Jenny Von Westphalen (1843) ia pergi ke Paris dan disinilah iabertemu dengan F. Engels dan bersahabat dengannya. Tahun 1847, Marx dan Engels bergabung dengan Liga Komunis, dan atas permintaan liga komunis inilah, mereka mencetuskan Manifesto Komunis (1848). Dasar filsafat Marx adalah bahwa setiap zaman, system produksi merupakan hal yang fundamental.Yang menjadi persoalan bukan cita-cita politik atau teologi yang berlebihan,melainkan suatu system produksi.Sejarah merupakan suatu perjuangan kelas, perjuangan kelasyang tertindas melawan kelas yang berkuasa.Pada waktu itu Eropa disebut kelas borjuis. Padapuncaknya dari sejarah ialah suatu masyarakat yang tidak berkelas, yang menurut Marx adalahmasyarakat komunis.
b. Thomas Hobbes (1588-1679 M) Menurut Thomas Hobbes materialisme menyangkal adanya jiwa atau roh karena keduanya hanyalah pancaran dari materi. Dapat dikatakan juga bahwa materialisme menyangkal adanya ruang mutlak lepas dari barang-barang material.
c. Hornby (1974) Menurut Hornby materialisme adalah theory, belief, that only material thing exist (teori atau kepercayaan bahwa yang ada hanyalah benda-benda material saja). Sebagian ahli lain mengatakan bahwa materialisme adalah kepercayaan bahwa yang ada hanyalah materi dalam gerak. Juga dikatakan kepercayaan bahwa pikiran memang ada, tetapi adanya pikiran disebabkan perubahan-perubahan materi. Materialisme juga berarti bahwa materi dan alam semesta tidak memiliki karakteristik pikiran, seperti tujuan, kesadaran, niat, tujuan, makna, arah, kecerdasan, kemauan atau upaya. Jadi, materialisme tidak mengakui adanya entitas non material, seperti roh, hantu, malaikat. Materialisme juga tidak mempercayai adanya Tuhan atau alam supranatural. Oleh sebab itu, penganut aturan ini menganggap bahwa satu-satunya realitas yang ada hanyalah materi. Segala perubahan yang tercipta pada dasarnya berkuasa material. Pada ekselasi material menjadi suatu keniscayaan pada being of phenomena. Pada akhirnya dinyatakan bahwa materi dan segala perubahannya bersifat abadi.
d. Van Der Welj (2000) mengatakan bahwa materialisme dengan menyatakan bahwa materialisme ini terdiri atas suatu aglomerasi atom-atom yang dikuasai aleh hukum-hukum fisika-kimiawi. Bahkan, terbentuknya manusia sangat dimungkinkan berasal dari himpunan atom-atom tertinggi. Apa yang dikatakan kesadaran, jiwa, atau roh sebenarnya hanya setumpuk fungsi kegiatan dari otak yang bersifat sangat organik-materialistis. Macam-Macam Materialisme :
1. Materialisme rasionalistik, menyatakan bahwa seluruh realitasdapat dimengeti seluruhnya berdasarkan ukuran dan bilangan (jumlah);
2. Materialisme mitis atau biologis, ini menyatakan bahwaperistiwa-peristiwa material terdapat misteri yang mengungguli manusia. Misteri itu tidakberkaitan dengan prinsip immaterial.
3. Materialisme parsial, ini menyatakan bahwa pada sesuatu yangmaterial tidak tedapat karakteristik khusus unsur immaterial atau formal;
4. Materialisme antropologis, ini menyatakan bahwa jiwa itutidak ada karena yang dinamakan jiwa pada dasarnya hanyalah materi atau perubahan-perubahan fisik-kimiawi materi;
5. Materialisme dialektik, ini menyatakan bahwa realitas seluruhnya terdiri dari materi. Berarti bahwa tiap-tiap benda atau atau kejadian dapat dijabarkankepada materi atau salah satu proses material. Salah satu prinsif di materialisme dialektikadalah bahwa perubahan dalam kuantitas. Oleh karena itu, perubahan dalam materi dapatmenimbulkan perubahan dalam kehidupan, atau dengan kata lain kehidupan berasal darimateri yang mati. Semua makhluk hidup termasuk manusia berasal dari materi yang mati,dengan proses perkembangan yang terus-menerus ia menjadi materi yang memilikikehidupan. Oleh karena itu kalau manusia mati, ia akan kembali kepada materi, tidak ada yang disebut dengan ke hidupan rohaniah. Ciri-ciri materialisme dialektik mempunyai asas-asas, yaitu : Asas gerak; Asas saling berhubungan; Asas perubahan dari kuantitaif menjadi kualitatif; Asas kontradiksi intern.
a. Materialisme historis. Materialisme historis ini menyatakan bahwa hakikat sejarah terjadi karena proses-proses ekonomis. Materialisme dialektik dan materialisme historis secara bersamaan menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa yang menyangkut sejarah rohani dan perkembangan manusia hanya merupakan dampak dan refleksi-refleksi aktivitasekonomis manusia. Materialisme historis ini berdasarkan dialektik, maka semua asasmaterialisme dialektik berlaku sepenuhnya dalam materialisme histories.
b. Materialisme sebagai teori menyangkal realitas yang bersifat ruhaniah, sedangkan materialisme metode mencoba membuat abstraksi hal-hal yang bersifat imaterial.
C. EKSISTENSIALISME
Definisi eksistensialisme tidak mudah dirumuskan, bahkan kaum eksistensialis sendiri tidak sepakat mengenai rumusan apa sebenarnya eksistensialisme itu. Sekalipun demikian, ada sesuatu yang disepakati, baik filsafat eksistensi maupun filsafat eksistensialisme sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral. Namun tidak ada salahnya, untuk memberikan sedikit gambaran tentang eksistensialisme ini, berikut akan dipaparkan pengertiannya. Kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal dari bahasa Latin “ex” yang berarti keluar dan ”sistere” yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Artinya dengan keluar dari dirinya sendiri, manusia sadar tentang dirinya sendiri ; ia berdiri sebagai aku atau pribadi. Pikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut dasein (“da” artinya di sana,” sein” artinya berada). Dari uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa cara berada manusia itu menunjukkan bahwa ia merupakan kesatuan dengan alam jasmani, ia satu susunan dengan alam jasmani, manusiaselalu mengkonstruksi dirinya, jadi ia tidak pernah selesai. Dengan demikian, manusia selalu dalam keadaan membelum; ia selalu sedang ini atau sedang itu. Untuk lebih memberikan kejelasan tentang filsafat eksistensialisme ini, perlu kiranya dibedakan dengan filsafat eksistensi. Yang dimaksud dengan filsafat eksistensi adalah benar-benar seperti arti katanya, yaitu filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral. Sedangkan filsafat eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia; sapi dan pohon juga. Akan tetapi cara beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam dunia; ia mengalami beradanya didunia itu; manusia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon, batu dan salah satu diantaranya ialah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Artinya bahwa manusia sebagai subyek. Subyek artinya yang menyadari, yang sadar. Barang-barang yang disadarinya disebut obyek.
a. Latar Belakang Lahirnya Filsafat Eksistensialisme adalah salah satu aliran filsafat yang mengguncangkan dunia walaupun filsafat ini tidak luar biasa dan akar-akarnya ternyata tidak dapat bertahan dari berbagai kritik. Filsafat selalu lahir dari suatu krisis. Krisis berarti penentuan. Bila terjadi krisis, orang biasanya meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia dapat tahan uji. Dengan demikian filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke krisis yang lain. Begitu juga filsafat eksistensialisme lahir dari berbagai krisis atau merupakan reaksi atas aliran filsafat yang telahada sebelumnya atau situasi dan kondisi dunia, yaitu :
1. Materialisme Menurut pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti halnya kayudan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda, akantetapi mereka mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya, pada dasarnya, padainstansi yang terakhir manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan kata lain materi; betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul ketimbang sapi tapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi.
2. Idealisme Aliran ini memandang manusia hanya sebagai subyek, hanya sebagai kesadaran; menempatkan aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan sehingga menjadi seluruh manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran.
3. Situasi dan Kondisi Dunia Munculnya eksistensialisme didorong juga oleh situasi dan kondisi di dunia Eropa Barat yang secara umum dapat dikatakan bahwa pada waktu itu keadaan dunia tidak menentu. Tingkah laku manusia telah menimbulkan rasa muak atau mual. Penampilan manusia penuh rahasia, penuh imitasi yang merupakan hasil persetujuan bersama yang palsu yang disebut konvensi atau tradisi.Manusia berpura-pura, kebencian merajalela, nilai sedang mengalami krisis, bahkan manusianya sendiri sedang mengalami krisis. Sementara itu agama di sana dan di tempat laindianggap tidak mampu memberikan makna pada kehidupan.
b. Tokoh-tokoh Eksistensialisme dan Ajarannyacukup banyak, di antaranya : Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Karl Jaspers, Martin Heidegger, Gabriel Marcel, dan Sartre. Namun dalam makalah ini penulismembatasi pada dua tokoh ini yang dipandang mewakili tokoh-tokoh lainnya, yaitu Soren AabyeKierkegaard dan Jean Paul Sartre.
1. Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) lahir di Kopenhagen, Denmark.Ia lahir ketika ayahnya berumur 56 tahun dan ibunya 44 tahun. Ia mulai belajar teologi di Universitas Kopenhagen. Ia menentang keras pemikiran Hegel yang mendominasi di Universitas tersebut. Dalam kurun waktu ini ia apatis terhadap agama, ingin hidup bebas dari lingkungan aturan agama. Setelahmengalami masa krisis religius, ia kembali menekuni ilmu pengetahuan dan menjadi Pastor Lutheran. Pada tahun 1841 ia mempublikasikan buku pertamanya (disertasi MA) Om Begrebet Ironi (TheConcept of Irony). Karya ini sangat orisinal dan memperlihatkan kecemerlangan pemikirannya.Iamengecam keras asumsi-asumsi pemikiran Hegel yang bersifat umum. Karya agungnya terjelmadalam Afsluttende Uvidenskabelig Efterskriff (Consluding Unscientific Postcript) tahun 1846,mengungkapkan ajaran-ajarannya yang bermuara pada kebenaran subyek.Karya-karya lainnyaadalah Enten Eller (1843) dan Philosophiske Smuler (1844). Sedangkan buku-buku yang bernadakristiani adalah Kjerlighedens Gjerninger (Work of Love) 1847, Christelige Taler (ChristianDiscourses) 1948, dan Sygdomen Til Doden (The Sickness into Death) tahun 1948). Ide-ide pokok Soren Aabye Kierkegaard adalah sebagai berikut : a) Tentang Manusia : Kierkegaard menekankan posisi penting dalam diri seseorang yang “bereksistensi” bersama dengan analisisnya tentang segi-segi kesadaran religius seperti iman, pilihan, keputusasaan, dan ketakutan. Pandangan ini berpengaruh luas sesudah tahun 1918, terutama di Jerman. Ia mempengaruhi sejumlah ahli teologi protestan dan filsuf-filsuf eksistensial termasuk Barh, Heidegger, Jaspers, Marcel, dan Buber. Alur pemikiran Kierkegaard mengajukan persoalan pokok dalam hidup; apakah artinya menjadi seorang Kristiani? Dengan tidak memperlihatkan “wujud” secara umum, ia memperhatikan eksistensi orang sebagai pribadi. Ia mengharapkan agar kita perlu memahami agama Kristenyang otentik. Ia berpendapat bahwa musuh bagi agama Kristiani ada dua, yaitu filsafat Hegelyang berpengaruh pada saat itu. Baginya, pemikiran abstrak, baik dalam bentuk filsafat Descartes atau Hegel akan menghilangkan personalitas manusia dan membawa kita kepada kedangkalan makna kehidupan. Dan yang kedua adalah konvensi, khususnya adat kebiasaan jemaat gereja yang tidak berpikir secara mendalam, tidak menghayati agamanya, yang akhirnya ia memiliki agama yang kosong dan tak mengerti apa artinya menjadi seorang kristiani. Kierkegaard bertolak belakang dengan Hegel. Keberatan utama yang diajukannya adalah karena Hegel meremehkan eksistensi yang kongkrit, karena ia (Hegel) mengutamakan idea yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard manusia tidak pernah hidup sebagai sesuatu “aku umum”,tetapi sebagai “aku individual” yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain. Kierkegaard sangat tidak suka pada usaha-usaha untuk menjadikan agama Kristen sebagai agama yang masuk akal (reasonable) dan tidak menyukai pembelaan terhadap agama Kristiani yang menggunakan alasan-alasan obyektif. Penekanan Kierkegaard terhadap dunia Kristiani, khususnya gereja-gerejanya, pendeta-pendetanya, dan ritus-ritus (ibadat-ibadat)nya sangat mistis. dia tidak menerima faktor perantaraseperti pendeta, sakramen, gereja yang menjadi penengah antara seorang yang percaya danTuhan Yang Maha Kuasa.b. Pandangan tentang Eksistensi Kierkegaard mengawali pemikirannya bidang eksistensi dengan mengajukan pernyataan ini; bagi manusia, yang terpenting dan utama adalah keadaan dirinya atau eksistensi dirinya. Eksistensi manusia bukanlah statis tetapi senantiasa menjadi, artinya manusia itu selalu bergerak dari kemungkinan kenyataan. Proses ini berubah, bila kini sebagai sesuatu yang mungkin, maka besok akan berubah menjadi kenyataan. Karena manusia itu memiliki kebebasan, maka gerak perkembangan ini semuanya berdasarkan pada manusia itu sendiri. Eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebasannya. Kebebasan itu muncul dalam aneka perbuatan manusia. Baginya bereksistensi berarti berani mengambil keputusan yang menentukan bagi hidupnya. Konsekuensinya, jika kita tidak berani mengambil keputusan dan tidak berani berbuat, maka kita tidak bereksistensi dalam arti sebenarnya. Kierkegaard membedakan tiga bentuk eksistensi, yaitu estetis, etis, dan religius. Eksistensi estetis menyangkut kesenian, keindahan. Manusia hidup dalam lingkungan dan masyarakat, karena itu fasilitas yang dimiliki dunia dapat dinikmati manusia sepuasnya. Di sini eksistensi estetis hanya bergelut terhadap hal-hal yang dapat mendatangkan kenikmatan pengalaman emosi dan nafsu. Eksistensi ini tidak mengenal ukuran norma, tidak adanya keyakinan akan iman yang menentukan. Eksistensi etis. Setelah manusia menikmati fasilitas dunia, maka ia juga memperhatikan dunia batinnya. Untuk keseimbangan hidup, manusia tidak hanya condong pada hal-hal yang konkrit saja tapi harus memperhatikan situasi batinnya yang sesuai dengan norma-norma umum. Sebagai contoh untuk menyalurkan dorongan seksual (estetis) dilakukan melalui jalur perkawinan (etis).• Eksistensi religius. Bentuk ini tidak lagi membicarakan hal-hal konkrit, tetapi sudah menembus inti yang paling dalam dari manusia.Ia bergerak kepada yang absolut, yaitu Tuhan. Semua yangmenyangkut Tuhan tidak masuk akal manusia.Perpindahan pemikiran logis manusia ke bentukreligius hanya dapat dijembatani lewat iman religius.
2. Jean Paul Sartre Jean Paul Sartre (1905-1980) lahir tanggal 21 Juni 1905 di Paris.Ia berasal dari keluargaCendikiawan. Ayahnya seorang Perwira Besar Angkatan Laut Prancis dan ibunya anak seorang guru besar yang mengajar bahasa modern di Universitas Sorbone. Ketika ia masih kecil ayahnya meninggal, terpaksa ia diasuh oleh ibunya dan dibesarkan oleh kakeknya. Di bawah pengaruh kakeknya ini, Sartre dididik secara mendalam untuk menekuni dunia ilmu pengetahuan dan bakat-bakatnya dikembangkan secara maksimal. Pengalaman masa kecil ini memberi ia banyakinspirasi. Diantaranya buku Les Most (kata-kata) berisi nada negatif terhadap hidup masa kanak-kanaknya. Meski Sartre berasal dari keluarga Kristen protestan dan ia sendiri dibaptiskan menjadi katolik, namun dalam perkembangan pemikirannya ia justru tidak menganut agama apapun. Ia atheis. Ia mengaku sama sekali tidak percaya lagi akan adanya Tuhan dan sikap ini muncul semenjak ia berusia 12 tahun. Bagi dia, dunia sastra adalah agama baru, karena itu ia menginginkan untuk menghabiskan hidupnya sebagai pengarang. Sartre tidak pernah kawin secara resmi, ia hidup bersama Simone de Beauvoir tanpa nikah. Mereka menolak menikah karena bagi mereka pernikahan itu dianggap suatu lembaga borjuis saja. Dalam perkembangan pemikirannya, ia berhaluan kiri. Sasaran kritiknya adalah kaum kapitalis dan tradisi masyarakat pada masa itu. Ia juga mengeritik idealisme dan para pemikir yang memuja idealisme. Pada tahun 1931 ia mengajar sebagai guru filsafat di Laon dan Paris. Pada periode ini ia bertemu dengan Husserl. Semenjak pertemuan itu ia mendalami fenomenologi dalam mengungkapkan filsafat eksisten-sialisme-nya. Ia menjadi mashur melalui karya-karya novel dan tulisan dramanya. Dalam bidang filsafat, karyanya yang sangat terkenal adalah Being and notthingness,buku ini membicarakan tentang alam dan bentuk eksistensinya. Eksistensialisme dan Humanism yang berisi tentang manusia.Ia juga termasuk tokoh yang membantu gerakan-gerakan haluan kiri dan pembela kebebasan manusia. Dengan lantang ia mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai sandaran keagamaan atau tidak dapat mengendalikan pada kekuatan yang ada di luar dirinya, manusia harus mengandalkan kekuatan yang ada dalam dirinya. Karya-karya yang lain adalah Nausea, No Exit, The Files, dan TheWall. Ide-ide pokok Sartre adalah sebagai berikut : a). Tentang Manusia : Bagi Sartre, manusia itu memiliki kemerdekaan untuk membentuk dirinya, dengan kemauan dan tindakannya. Kehidupan manusia itu mungkin tidak mengandung arti dan bahkan mungkin tidakmasuk akal.Tetapi yang jelas, manusia dapat hidup dengan aturan-aturan integritas, keluhuran budi, dan keberanian, dan dia dapat membentuk suatu masyarakat manusia. Dalam novel semi-otobiografi La Nausee (1938) dan essei L’Eksistensialisme est un Humanism (1946), ia menyatakan keprihatinan fundamental terhadap eksistensi manusiawi dan kebebasan kehendak. Menurutnya, manusia tidak memiliki apa-apa sejak ia lahir. Dan sepertinya, dari kodratnya manusia bebas dalam pilihan-pilihan atas tindakannya atau memikul beban tanggung jawab.Sartre mengikuti Nietzsche yakni mengingkari adanya Tuhan.Manusia tak ada hubungannya dengan kekuatan di luar dirinya.Ia mengambil kesimpulan lebih lanjut, yakni memandang manusia sebagai kurang memiliki watak yang semestinya. dia harus membentuk pribadinya danmemilih kondisi yang sesuai dengan kehidupannya. Maka dari itu “tak ada watak manusia”, olehkarena tak ada Tuhan yang memiliki konsepsi tentang manusia. Manusia hanya sekedar ada. Bukan karena ia itu sekedar apa yang ia konsepsikan setelah ada seperti apa yang ia inginkan sesudah meloncat ke dalam eksistensi”. Sartre mengingkari adanya bantuan dari luar diri manusia. Manusia harus bersandar pada sumber-sumbernya sendiri dan bertanggung jawab sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya. Karena itu bagi Sartre, pandangan eksistensialis adalah suatudoktrin yang memungkinkan kehidupan manusia. Eksistensialime mengajarkan bahwa tiapkebenaran dan tiap tindakan mengandung keterlibatan lingkungan dan subyektifitas manusia; b). Kebebasan : Dalam pemikiran Sartre selalu bermuara pada konsep kebebasan. Ia mendefinisikan manusiasebagai kebebasan. Sartre memberikan perumusan bahwa pada manusia itu eksistensi mendahului esensi, maksudnya setelah manusia mati baru dapat diuraikan ciri-ciri seseorang. Perumusan ini menjadi intisari aliran eksistensialisme dari Sartre. Kebebasan akan memberi rasa hormat pada dirinya dan menyelamatkan diri dari sekedar menjadiobyek. Kebebasan manusia tampak dalam rasa cemas. Maksudnya karena setiap perbuatan sayaadalah tanggung jawab saya sendiri. Bila seseorang menjauhi kecemasan, maka berarti ia menjauhi kebebasan. Kebebasan merupakan suatu kemampuan manusia dan merupakan sifat kehendak. Posisi kebebasan itu tidak dapat tertumpu pada sesuatu yang lain, tetapi pada kebebasan itu sendiri. Sartre mengakui pemikiran Mark lebih dekat dengan keadaan masyarakat dan satu-satunya filsafat yang benar dan definitif. Filsafat Mark telah memberikan kesatuan konkrit dan dialektis antara ide-ide dengan kenyataan pada masyarakat. Mark telah menekankan konsep keberadaan sosial ketimbang kesadaran sosial. Dan bagi Sartre, Mark adalah seorang pemikir yang berhasil meletakkan makna yang sebenarnya tentang kehidupan dan sejarah. Meski demikian, Sartre tidak menganggap pemikiran Mark sebagai akhir suatu pandangan filsafat, karena setelah cita-cita masyarakat tanpa kelas versi Mark terbentuk, maka persoalan filsafat bukan lagi soal kebutuhan manusia akan makan dan pakaian, tetapi persoalan filsafat mungkin dengan memunculkan temayang baru, seperti soal kualitas hidup manusia masa depan. Tetapi pemikiran Mark itu dinilairelevan untuk masa kini.
D. MONISME
Monisme (monism) berasal dari kata Yunani yaitu monos (sendiri, tunggal) secara istilah monisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa unsur pokok dari segala sesuatu adalah unsur yang bersifat tunggal/ Esa. Unsur dasariah ini bisa berupa materi, pikiran, Allah, energi dll. Bagi kaum materialis unsur itu adalah materi, sedang bagi kaum idealis unsur itu roh atau ide. Orang yang mula-mula menggunakan terminologi monisme adalah Christian Wolff (1679-1754). Dalam aliran ini tidak dibedakan antara pikiran dan zat. Mereka hanya berbeda dalamgejala disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai subtansi yang sama. Ibarat zat dan energi dalam teori relativitas Enstein, energi hanya merupakan bentuk lain dari zat.Atau dengan kata lain bahwa aliran monisme menyatakan bahwa hanya ada satu kenyataan yang fundamental. Adapun para filsuf yang menjadi tokoh dalam aliran ini antara lain : Thales (625-545 SM), yang menyatakan bahwa kenyataan yang terdalam adalah satu subtansi yaitu air. Pendapat ini yang disimpulkan oleh Aristoteles (384-322 SM) , yang mengatakan bahwa semuanya itu air. Air yang cair itu merupakan pangkal, pokok dan dasar (principle) segala-galanya.Semua barang terjadi dari air dan semuanya kembali kepada air pula. Bahkan bumi yang menjadi tempat tinggal manusia di dunia, sebagaian besar terdiri dari air yang terbentang luas di lautan dan di sungai-sungai.Bahkan dalam diri manusiapun, menurut dr Sagiran, unsur penyusunnya sebagian besarberasal dari air.Tidak heran jika Thales, berkonklusi bahwa segala sesuatu adalah air, karena memang semua mahluk hidup membutuhkan air dan jika tidak ada air maka tidak ada kehidupan. Sementara itu Anaximandros (610-547 SM) menyatakan bahwa prinsip dasar alam haruslah darijenis yang tak terhitung dan tak terbatas yang disebutnya sebagai apeiron yaitu suatu zat yangtak terhingga dan tak terbatas dan tidak dapat dirupakan dan tidak ada persamaannya dengan suatu apapun. Berbeda dengan gurunya Thales, Anaximandros, menyatakan bahwa dasar alam memang satu akan tetapi prinsip dasar tersebut bukanlah dari jenis benda alam seperti air. Karena menurutnya segala yang tampak (benda) terasa dibatasi oleh lawannya seperti panas dibatasi oleh yang dingin. Aperion yang dimaksud Anaximandros, oleh orang Islam disebutnya sebagai Allah. Jadi bisa dikatakan bahwa pendapat Anaximandros yang mengatakan bahwa terbentuknya alam dari jenis yang tak terbatas dan tak terhitung, dibentuk oleh Tuhan Yang Maha Esa.Hal ini pula yang dikatakan Ahmad Syadali dan Mudzakir (1997) bahwa yang dimaksud aperion adalah Tuhan. Anaximenes (585-494 SM), menyatakan bahwa barang yang asal itu mestilah satu yang ada dantampak (yang dapat diindera). Barang yang asal itu yaitu udara. Udara itu adalah yang satu dantidak terhingga. Karena udara menjadi sebab segala yang hidup. Jika tidak ada udara maka tidak ada yang hidup. Pikiran kearah itu barang kali dipengaruhi oleh gurunya Anaximandros, yangpernah menyatakan bahwa jiwa itu serupa dengan udara. Sebagai kesimpulan ajaranya dikatakanbahwa sebagaimana jiwa kita yang tidak lain dari udara, menyatukan tubuh kita. Demikian udaramengikat dunia ini menjadi satu.Sedang filsuf moderen yang menganut aliran ini adalah B.Spinoza yang berpendapat bahwa hanya ada satu substansi yaitu Tuhan.Dalam hal ini Tuhandiidentikan dengan alam (naturans naturata).
E. DUALISME
Dualisme (dualism) berasal dari kata Latin yaitu duo (dua). Dualisme adalah ajaran yang menyatakan realitas itu terdiri dari dua substansi yang berlainan dan bertolak belakang. Masing-masing substansi bersifat unik dan tidak dapat direduksi, misalnya substansi adi kodrati dengan kodrati, Tuhan dengan alam semesta, roh dengan materi, jiwa dengan badan dll. Ada pula yang mengatakan bahwa dualisme adalah ajaran yang menggabungkan antara idealisme dan materialisme, dengan mengatakan bahwa alam wujud ini terdiri dari dua hakikat sebagai sumber yaitu hakikat materi dan ruhani. Dapat dikatakan pula bahwa dualisme adalah paham yang memiliki ajaran bahwa segala sesuatu yang ada, bersumber dari dua hakikat atau substansi yang berdiri sendiri-sendiri. Orang yangpertama kali menggunakan konsep dualisme adalah Thomas Hyde (1700), yang mengungkapkan bahwa antara zat dan kesadaran (pikiran) yang berbeda secara subtantif. Jadi adanya segala sesuatu terdiri dari dua hal yaitu zat dan pikiran.Yang termasuk dalam aliran ini adalah Plato(427-347 SM), yang mengatakan bahwa dunia lahir adalah dunia pengalaman yang selalu berubah-ubah dan berwarna-warni. Semua itu adalah bayangan dari dunia idea. Sebagai bayangan, hakikatnya hanya tiruan dari yang asli yaitu idea. Karenanya maka dunia ini berubah-ubah dan bermacam-macam sebab hanyalah merupakan tiruan yang tidak sempurna dari idea yang sifatnya bagi dunia pengalaman. Barang-barang yang ada di dunia ini semua ada contohnya yang ideal di dunia idea sana (dunia idea). Lebih lanjut Plato mengakui adanya dua substansi yang masing-masing mandiri dan tidak saling bergantung yakni dunia yang dapat diindera dan dunia yang dapat dimengerti, dunia tipe kedua adalah dunia idea yang bersifat kekal dan hanya ada satu. Sedang dunia tipe pertama adalah dunia nyata yang selalu berubah dan tak sempurna. Apa yang dikatakan Plato dapat dimengerti seperti yang dibahasakan oleh Surajiyo (2005), bahwa dia membedakan antara dunia indera (dunia bayang-bayang) dan dunia ide (dunia yang terbuka bagi rasio manusia). Rene Descartes (1596-1650 M) seorang filsuf Prancis, mengatakan bahwa pembeda antara dua substansi yaitu substansi pikiran dan substansi luasan (badan). Jiwa dan badan merupakan dua sebstansi terpisah meskipun didalam diri manusia mereka berhubungan sangat erat. Dapat dimengerti bahwa dia membedakan antara substansi pikiran dan substansi keluasan(badan). Maka menurutnya yang bersifat nyata adalah pikiran. Sebab dengan berpikirlah maka sesuatu lantas ada, cogito ergo sum! (saya berpikir maka saya ada). Leibniz (1646-1716) yang membedakan antara dunia yang sesungguhnya dan dunia yang mungkin. Immanuel Kant (1724-1804) yang membedakan antara dunia gejala (fenomena) dan dunia hakiki (noumena).
F. PLURALISME
Pluralisme (Pluralism) berasal dari kata Pluralis (jamak). Aliran ini menyatakan bahwa realitas tidak terdiri dari satu substansi atau dua substansi tetapi banyak substansi yang bersifat independen satu sama lain. Sebagai konsekuensinya alam semesta pada dasarnya tidak memiliki kesatuan, kontinuitas, harmonis dan tatanan yang koheren, rasional, fundamental. Didalamnya hanya terdapat pelbagai jenis tingkatan dan dimensi yang tidak dapat diredusir. Pandangan demikian mencangkup puluhan teori, beberapa diantaranya teori para filosuf yunani kuno yang menganggap kenyataan terdiri dari udara, tanah, api dan air. Dari pemahaman di atasdapat dikemukakan bahwa aliran ini tidak mengakui adanya satu substansi atau dua substansi melainkan banyak substansi, karena menurutnya manusia tidak hanya terdiri dari jasmani danrohani tetapi juga tersusun dari api, tanah dan udara yang merupakan unsur substansial darisegala wujud.Para filsuf yang termasuk dalam aliran ini antara lain : Empedakles (490-430 SM), yang menyatakan hakikat kenyataan terdiri dari empat unsur, yaitu api, udara, air dan tanah. Anaxogoras (500-428 SM), yang menyatakan hakikat kenyataan terdiri dari unsur-unsur yang tidak terhitung banyaknya, sebab jumlah sifat benda dan semuanya dikuasai oleh suatu tenagayang dinamakan nodus yaitu suatu zat yang paling halus yang memiliki sifat pandai bergerak dan mengatur.
BAB III
KESIMPULAN
idealisme adalah doktrin yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahamidalam kebergantungannya pada jiwa (mind) dan roh (spirit). Istilah ini diambil dari kata“idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.Ada beberapa jenis idealisme : yaitu idealisme subjektif, idealisme objektif, dan idealisme personal. Idealisme subjektif adalah filsafat yang berpandangan idealis dan bertitik tolak pada ide manusia atau ide sendiri. Sedangkan idealisme objektif adalah idealisme yang bertitik tolak pada ide di luar ide manusia. Idealisme personal yaitu nilai-nilai perjuangannya untuk menyempurnakan dirinya. Personalisme muncul sebagai protes terhadap materialisme mekanik dan idealisme monistik. Tokoh-tokoh idealisme diantaranya : Johann Gottlieb Fichte, Friedrich Wilhelm Josep Schelling, dan George Wilhelm Friedrich Hegel. Proses dialektika menurut Hegel terdiri dari tiga fase, yaitu: Fase pertama (tesis) dihadapi antitesis (fase kedua), dan akhirnya timbul fase ketiga (sintesis).
Materialisme adalah keyakinan bahwa didunia ini tidak ada sesuatu selain materi yangsedang bergerak. Pernyataanya, bahwa roh keasadran dan jiwa hanyalah materi yang sedang bergerak. Materialisme : pikiran atau roh hanyalah materi yang sedang bergerak.
Eksistensialisme adalah paham filsafat yang memandang bahwa segala gejala berpangkal pada eksistensi. Meski bermacam-macam pandangan dan metode dan sikap dalam gerakan eksistensialisme, para filsuf dari kelompok ini senantiasa memperhatikan kedudukan manusia.Titik sentral pembicaraan mereka adalah soal keterasingan manusia dengan dirinya dan dengan dunia. Gerakan eksistensialisme ini muncul sebagai protes atau reaksi dari aliran filsafat terdahulu, yaitu materialisme dan idealisme serta situasi dan kondisi dunia pada umumnya yang tidak menentu. Penampilan manusia penuh rahasia, penuh imitasi yang merupakan hasil persetujuan bersama yang palsu yang disebut konvensi atau tradisi. Kierkegaard dan Sartre merupakan tokoh yang mewakili aliran eksistensialisme ini. Dari latarbelakang yang berbeda yang satu agamawan dan lainnya atheis, mereka mengusung konsep tentang keberdaan manusia sebagai subyek di dunia ini.
Monisme, Dualisme dan Pluralisme, yang pada intinya masing-masing aliran memiliki argumen yang rasional. Dari apa yang telah diuraikan, pendapat atau pemikiran masing-masing filsuf dalam setiap aliran sangat dipengaruhi corak kehidupan atau latar belakang hidupnya. Sebagai contoh Thales, karena dia seorang saudagar yang banyak berlayar ke negeri Mesir, maka pemikiran yang diungkapkanya yaitu bahwa semuanya adalah air.Karena hidup Thales kesehariannya tidak pernah luput dari air atau dengan kata lainpengamatannya selalu dipenuhi dengan nuansa air. Mungkin alasan ini (corak pemikiranyang dipengaruhi latar belakang kehidupan) tidak bisa digeneralisasikan terhadap munculnya pemikiran-pemikiran para filosuf yang lain. Dari ketiga aliran yang telah disebutkan seolah terdapat pertentangan yang begitu tajam tentang ”keadaanya”, tetapi ketika direnungkan dan dipahami lebih dalam bahwasanya ketiga aliran tersebut sejatinya bersifat komplementer,yang tidak mungkin meniadakan yang satu atas yang lainnya. Mungkin seperti itu.
DAFTAR PUSTAKA
• Abdul Rozak, Isep Zainal Arifin, Filsafat Umum, Bandung : Gema Media Pusakatama, 2002.
• Praja, juhaya s. 2006. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika Bandung : Yayasan PIARA Pengembangan Ilmu Agama dan Humaniora).
• Beerling, R.F. 1966. Filsafat Dewasa Ini. Terj. Hasan Amin, Djakarta:Balai Pustaka.
• Dagun, Save M. 1990. Filsafat Eksistensialisme, Jakarta:Rineka Cipta.
• Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung: PT Pustaka Setia, 1997.
Anaxagoras
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Anaxagoras adalah salah seorang filsuf dari mazhab pluralisme.[1] Filsuf lain yang tergolong di dalam mazhab ini adalah Empedokles.[1][2] Anaxagoras, sebagaimana Empedokles, mengajarkan bahwa realitas alam semesta berasal dari banyak prinsip.[1][2] Anaxagoras hidup sezaman dengan Empedokles dan juga para filsuf atomis awal, seperti Leukippos dan Demokritos.[3] Anaxagoras diketahui mengarang satu buku dalam bentuk prosa.[2] Akan tetapi, hanya beberapa fragmen dari bagian pertama yang masih tersimpan.[2]
Riwayat Hidup]
Anaxagoras (500-428 SM) lahir di kota Klazomenai, Ionia, Asia Kecil, sekitar tahun 500 SM.[2][3][4] Pada tahun 480 SM, Anaxagoras meninggalkan kota asalnya dan menetap di Athena.[2] Ia tinggal di Athena selama kurang lebih 50 tahun.[2] Dengan demikian Anaxagoras menjadi filsuf pertama yang berkarya di Athena, yang nantinya akan menjadi pusat Filsafat Yunani.[2] Di Athena Anaxagoras berteman dengan Pericles, seorang politikus terkenal di Athena.[5][4][2] Selain itu, disebutkan pula bahwa Euripides, dramawan tersohor kesusasteraan Yunani, adalah murid Anaxagoras.[4][2][5]
Ketika Pericles telah berusia lanjut, musuh-musuhnya berhasil memfitnah Anaxagoras dengan tuduhan murtad dan Anaxagoras diancam hukuman mati.[2][5] Tampaknya Anaxagoras difitnah karena ia menganggap matahari dan bulan bukan sebagai dewa melainkan benda-benda material semata.[2][4][5] Dengan pertolongan Pericles, ia dilepaskan dari penjara dan melarikan diri ke kota Lampsakos.[2][4] Anaxagoras dikatakan meninggal di sana pada usia 72 tahun.[2][4]
Pemikiran
Tentang Benih-Benih sebagai Prinsip Alam Semesta
Anaxagoras sama seperti Empedokles yang menyatakan bahwa prinsip dasar yang menyusun alam semesta tidaklah tunggal, namun mereka berbeda di dalam jumlahnya.[1][2] Empedokles menyatakan bahwa hanya ada 4 zat yang menjadi prinsip alam semesta, sedangkan Anaxagoras menyatakan bahwa jumlah prinsip tersebut tak terhingga.[1][2][4][3][6] Zat-zat tersebut disebutnya "benih-benih" (spermata).[1] Menurut Anaxagoras, setiap benda, bahkan seluruh realitas di alam semesta, tersusun dari suatu campuran yang mengandung semua benih dalam jumlah tertentu.[6][1][7] Indera manusia tidak dapat mencerap semua benih yang ada di dalam satu benda, melainkan hanya benih yang dominan.[1] Contohnya jikalau manusia melihat emas, maka ia dapat langsung mengenalinya sebagai emas, sebab benih yang dominan pada benda tersebut adalah benih emas.[1] Akan tetapi, pada kenyataannya selain benih emas, benda itu juga mempunyai benih tembaga, perak, besi, dan sebagainya.[1] Hanya saja semua benih tersebut tidak dominan sehingga tidak ditangkap oleh indera manusia.[1]
Argumentasi yang ditunjukkan oleh Anaxagoras adalah melalui tubuh manusia.[2] Di dalam tubuh manusia terdapat berbagai unsur, seperti daging, kuku, darah, rambut, dan sebagainya.[2] Bagaimana mungkin rambut dan kuku tumbuh, padahal manusia tidak memakan rambut atau kuku? Pemecahan yang diberikan Anaxagoras adalah karena di dalam makanan telah terdapat benih rambut, kuku, daging, dan semua unsur lainnya.[2]
Tentang Nous
Jikalau Empedokles menyatakan ada dua prinsip yang menyebabkan perubahan-perubahan dari zat-zat dasar, yakni "cinta" dan "benci", maka Anaxagoras menyatakan hanya ada satu prinsip yang mendorong perubahan-perubahan dari benih-benih tersebut, yakni nous.[2][1] Nous berarti "roh" atau "rasio".[2][1] Ia tidak tercampur dengan benih-benih dan terpisah dari semua benda, namun menjadi prinsip yang mengatur segala sesuatu.[2][7]
Masih menjadi perdebatan apakah nous yang dimaksudkannya bersifat materi atau tidak, sebab Anaxagoras mengatakan bahwa nous merupakan unsur yang paling halus dan paling murni dari segala yang ada.[2][1] Akan tetapi, jelas bahwa Anaxagoras adalah filsuf pertama yang menetapkan kemandirian roh atau rasio terhadap semua zat atau materi.[1]
Tentang Alam Semesta
Ajaran Anaxagoras tentang alam semesta mirip dengan filsuf-filsuf pertama dari Ionia, khususnya Anaximenes.[2] Anaxagoras berpendapat bahwa badan-badan jagat raya terdiri dari batu-batu yang berpijar akibat kecepatan tinggi dari pusaran angin yang menggerakkannya.[2]
Tentang Makhluk Hidup
Anaxagoras adalah filsuf pertama yang membedakan secara jelas antara makhluk hidup dengan yang tidak hidup.[2] Dikatakan bahwa nous memang menguasai segala-galanya, namun tidak ada di dalam makhluk yang tidak hidup, termasuk tumbuh-tumbuhan.[2]
Tentang Pengenalan
Berbeda dari Empedokles yang menyatakan bahwa yang sama mengenal yang sama, menurut Anaxagoras prinsip pengenalan justru yang berlawanan mengenal yang berlawanan.[2][7] Argumentasi yang diberikan olehnya adalah pengenalan inderawi manusia yang disertai rasa nyeri, misalnya bila tangan meraba air panas, atau mata melihat benda yang terlalu terang.[2]
Referensi
1. Simon Petrus L. Tjahjadi. 2004. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius.
2. K. Bertens. 1990. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius.
3. (Inggris)Ted Honderich (ed.). 1995. The Oxford Companion to Philosophy. Oxford, New York : Oxford University Press.
4. (Inggris)Jonathan Barnes. 2001. Early Greek Philosophy. London: Penguin.
5. Juhaya S. Praja. 2005. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Kencana.
6. (Inggris)Richard McKirahan. 2003. "Presocratic Philosophy". In The Blackwell Guide to Ancient Philosophy. Christopher Shields (Ed.). Malden: Blackwell Publishing.
7. (Inggris) Daniel W. Graham. 1999. "Empedocles and Anaxagoras: Responses to Parmenides". In The Cambridge Companion to Early Philosophy. A.A. Long (Ed.). London: Cambridge University Press.
Pluralisme
Pluralisme (bahasa Inggris: pluralism), terdiri dari dua kata plural (=beragam) dan isme (=paham) yang berarti beragam pemahaman, atau bermacam-macam paham, Untuk itu kata ini termasuk kata yang ambigu. Berdasarkan Webster's Revised Unabridged Dictionary (1913 + 1828) arti pluralism adalah:
• hasil atau keadaan menjadi plural.
• keadaan seorang pluralis; memiliki lebih dari satu tentang keyakinan gerejawi.
Pluralisme Sosial
Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi. Pluralisme dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi.
Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, ada konsentrasi kekuasaan politik dan keputusan dibuat oleh hanya sedikit anggota. Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar. Dipercayai bahwa hal ini menghasilkan partisipasi yang lebih tersebar luas dan menghasilkan partisipasi yang lebih luas dan komitmen dari anggota masyarakat, dan oleh karena itu hasil yang lebih baik. Contoh kelompok-kelompok dan situasi-situasi di mana pluralisme adalah penting ialah: perusahaan, badan-badan politik dan ekonomi, perhimpunan ilmiah.
Pluralisme Ilmu Pengetahuan
Bisa diargumentasikan bahwa sifat pluralisme proses ilmiah adalah faktor utama dalam pertumbuhan pesat ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, pertumbuhan pengetahuan dapat dikatakan menyebabkan kesejahteraan manusiawi bertambah, karena, misalnya, lebih besar kinerja dan pertumbuhan ekonomi dan lebih baiklah teknologi kedokteran.
Pluralisme juga menunjukkan hak-hak individu dalam memutuskan kebenaran universalnya masing-masing.
Pluralisme Agama
Pluralisme Agama (Religious Pluralism) adalah istilah khusus dalam kajian agama¬-agama. Sebagai ‘terminologi khusus’, istilah ini tidak dapat dimaknai sembarangan, misalnya disamakan dengan makna istilah ‘toleransi’, ‘saling menghormati’ (mutual respect), dan sebagainya. Sebagai satu paham (isme), yang membahas cara pandang terhadap agama-agama yang ada, istilah ‘Pluralisme Agama’ telah menjadi pembahasan panjang di kalangan para ilmuwan dalam studi agama¬ agama (religious studies).
Pandangan Kristen
Paus Yohannes Paulus II, tahun 2000, mengeluarkan Dekrit Dominus Jesus[1]’ Penjelasan ini, selain menolak paham Pluralisme Agama, juga menegaskan kembali bahwa Yesus Kristus adalah satu¬-satunya pengantara keselamatan Ilahi dan tidak ada orang yang bisa ke Bapa selain melalui Yesus.
Pluralisme Agama berkembang pesat dalam masyarakat Kristen-barat disebabkan setidaknya oleh tiga hal : yaitu
1. Trauma sejarah kekuasaan Gereja di Abad Pertengahan dan konflik Katolik¬-Protestan,
2. Problema teologis Kristen, dan
3. Problema Teks Alkitab.
Dalam tradisi Kristen, dikenal ada tiga cara pendekatan atau cara pandang teologis terhadap agama lain.
• eksklusivisme, yang memandang hanya orang-orang yang mendengar dan menerima Alkitab yang akan diselamatkan. Di luar itu, ia tidak selamat.
• inklusivisme, yang berpandangan, meskipun Kristen merupakan agama yang benar, tetapi keselamatan juga mungkin terdapat pada agama lain.
• pluralisme, yang memandang semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju inti dari realitas agama. Dalam pandangan Pluralisme Agama, tidak ada agama yang dipandang lebih superior dari agama lainnya. Semuanya dianggap sebagai jalan yang sama¬-sama sah menuju Tuhan. [2]
Pandangan Islam
Pada tanggal 28 Juli 2005, MUI menerbitkan fatwa yang melarang pluralisme. Dalam fatwa tersebut, pluralisme agama,sebagai obyek persoalan yang ditanggapi, didefinisikan sebagai :
"Suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga".
Dengan demikian, MUI menyatakan bahwa Pluralisme dalam konteks yang tertera tersebut bertentangan dengan ajaran Agama Islam [3].
Dengan adanya definisi pluralisme yang berbeda tersebut, timbul polemik panjang mengenai pluralisme di Indonesia.
Pandangan Hindu
Setiap kali orang Hindu mendukung Universalisme Radikal, dan secara bombastik memproklamasikan bahwa “semua agama adalah sama”, dia melakukan itu atas kerugian besar dari agama Hindu yang dia katakan dia cintai.(Dr. Frank Gaetano Morales, cendekiawan Hindu).
Pandangan Buddha]
Lihat pula
• Demokrasi liberal
• Partikularisme
• Pluralisme (filsafat)
• Pluralisme agama
• Polemik pluralisme di Indonesia
• Fundamentalisme
Referensi[sunting | sunting sumber]
1. http://en.wikipedia.org/wiki/Dominus_Iesus
2. Alister E. Mcgrath, 'Christian Theology: an Introduction, (Oxford: Blackwell Publisher, 1994). pp 458-459; Daniel B. Clendenin, Many Gods Many Lords: Christianity Encounters World Religions, (Michigan: Baker Books, 1995). Hal. 12.
3. Fatwa MUI tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama
PLURALISME DALAM AKAR FILSAFAT PEMIKIRAN ISLAM “KONTEMPORER”
Posted by admin on Oct 2nd, 2013 in Arikel, Sosial Budaya
Oleh : Siti Nafidah Anshory
Sesungguhnya, inti dari pluralisme adalah penerimaan dan apresiasi terhadap kemajemukan yang ada di dalam masyarakat. Bagi penganut ide ini, pluralitas (kepelbagaian/kemajemukan) masyarakat adalah merupakan suatu fakta, dan bahwa pluralitas tidak mungkin dihilangkan juga merupakan fakta, sehingga adanya kesadaran akan pluralitas tadi merupakan satu keharusan.
Tentang pluralisme agama sendiri, Alwi Shihab menyatakan, bahwa pada dasarnya lahir dilatarbelakangi oleh serangkaian pertanyaan yang cukup mendasar. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain : apabila Tuhan itu Esa, tidakkah sebaiknya agama itu tunggal saja? Dan apabila pluralisme agama tidak dapat dielakkan, maka yang mana di antara agama-agama ini yang benar, ataukah semuanya sesat ? Lalu, mengapa kita memeluk satu agama dan tidak ikut agama yang lain? Dan mungkinkah terdapat persamaan doktrin atau kesamaan tujuan di antara aneka macam agama yang ada?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu memunculkan kontroversi, mengingat setiap agama mengajarkan, bahwa doktrinnyalah yang paling benar, unik, ekslusif dan superior. Oleh karena itu, menurutnya perlu ada upaya menjembatani kesenjangan yang ada diantara agama-agama tadi.
Setiap Pluralis (termasuk Alwi) meyakini, bahwa jawaban tuntas terhadap semua pertanyaan diatas tidak lain adalah penerimaan terhadap ide pluralisme yang direalisasikan dalam bentuk kesiapan untuk saling membuka diri dan berdialog dalam rangka mencari persamaan-persamaan yang dapat dijadikan landasan hidup rukun dalam suatu masyarakat. Dan dalam tataran praktisnya, Alwi menekankan peran penting Islam sebagai agama mayoritas dan kaya dengan sekte untuk mempelopori upaya-upaya tersebut. Apalagi, menurutnya pula sebagai agama formal, Islam memang mengajarkan kebebasan beragama, yang dalam pandangan Cak Nur, itu merupakan pintu pluralisme dan kemanusiaan.
Dengan memahami konsep di atas, maka jelas ada keterkaitan yang erat antara pluralisme dengan relativisme, sekalipun sekali lagi, Alwi tidak sepakat jika keduanya dipersamakan. Keterkaitan dimaksud adalah, bahwa dalam pluralisme pun terkandung unsur relativisme, yakni ketidakbolehan mengklaim pemilikan tunggal atas satu kebenaran. Selain itu, pada dasarnya relativisme dan pluralisme sama-sama mengarah pada penyatuan manusia dalam kepelbagaian kepercayaan dan kepelbagaian identitas di masa modern, dimana tentang identitas ini, Gus Dur (dalam sebuah kesempatan) dan Azyumardi Azra (dalam Konteks Berteologi di Indonesia, p. ?) pernah menyatakan, bahwa modernisasi suatu masyarakat mensyaratkan penerimaan terhadap pluralisme, baik paham ajaran agama, budaya, politik dan sebagainya.
Lepas dari pernyataan tersebut, inilah pluralisme murni. Sedangkan pluralisme yang dikembangkan Alwi Shihab di Indonesia, (katanya) adalah pluralisme agama yang menolak sinkretisme dan bersyarat, yaitu keharusan adanya komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing, yang disandarkan pada Al-Qur’an Surat Saba’ (34) ayat 24-26. Namun, kemudian muncul pertanyaan mengenai sejauhmana batasan “commited” yang beliau maksud, mengingat faktanya Islam bukan sekedar agama ritual seperti halnya agama lain, melainkan merupakan “ad-din” (sistem hidup) yang diantaranya mengatur tentang pola hubungan yang jelas antara Islam-non Islam, Muslim dan non-Muslim di dalam masyarakat Islam. (~ Thoughts? ~)
Pluralisme Dalam Pandangan Agama
Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan. (http://www. mui.or.id/index.php?option=com_docman&task=cat_view&gid=65&Itemid=73)
Siapa yang panik atas fatwa MUI tersebut? Yang sudah pasti adalah Jaringan Islam Liberal (JIL) beserta kawan-kawannya yang sudah memproklamirkan dirinya sebagai sebuah jaringan ‘oposisi’ dalam Islam. Mereka sangat gencar sekali mengadu domba antar umat Islam dan antar umat Islam dengan agama lainnya. JIL dengan dalih mengusung persamaan hak antar agama membuat sebagian umat Islam menjadi resah, sehingga masyarakat meminta MUI untuk menetapkan fatwa terkait hal tersebut, sehingga jelas perbedaan antara yang hitam dan putih. Tidak ada wilayah abu-abu dalam masalah aqidah.
Menurut pengamat liberlisme Adian Husaini, jika ada yang mengatakan bahwa pluralisme itu bisa menerima kemajemukan perbedaan agama masyarakat, pada dasarnya pernyataan itu bohong. Karena pluralisme justru memaksa orang untuk ragu pada agamanya sendiri. Bahkan gara-gara pluralisme-lah orang jadi tidak beragama dan mendekat pada konsep atheisme.
Jadi, pluralisme merupakan sebuah isme yang berbahaya dan bahkan dapat memecah belah satu keluarga dengan berbagai macam pandangan terhadap sebuah agama. Dalam satu keluarga bisa terdiri dari berbagai macam agama, bisa disebut keluarga gado-gado. Dalam membedakan suatu agama sebenarnya mudah saja, salah satunya bisa dilihat dari iman (kepercayaan) dari agama yang dianut. Seperti dalam Islam ulama sepakat bahwa keimanan seseorang bisa dilihat dari 6 unsur, yaitu kepercayaannya terhadap; Allah, Malaikat, Kitab suci, Rasul, Hari Kiamat dan takdir/nasib baik maupun buruk. Inilah hal prinsip yang tidak boleh dilepas umat Islam sebagai sebuah pondasi dalam rangka menanamkan sebuah akidah (keyakinan). Bagaimana mungkin dapat disamakan dengan agama lain yang tidak memiliki prinsip keimanan seperti ini.
Namun sampai saat ini ditengah-tengah masyarakat masih ditemukan perbedaan persepsi dalam mengartikan istilah pluralitas dan pluralisme. Apalagi seakan-akan umat Islam dikatakan menolak keragaman agama yang ada di Indonesia. Penulis hanya sekedar mensosialisasikan agar masyarakat terbiasa dan memahami arti dua kata tersebut, sehingga suatu saat ketika penganut paham pluralisme masuk ditengah-tengah keluarga kita dengan permainan kata-kata dan logikanya, maka kita semua sudah siap dalam menghadapinya. Dalam akhir fatwanya MUI tidak lupa mengingatkan bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam artitetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.
Tulisan ini hanyalah dalam rangka saling nasehat menasehati, agar umat Islam tidak terkotak-kotak dan tidak mudah diadu domba pihak-pihak tertentu yang tidak menginginkan Islam berkembang di Indonesia bahkan di dunia. (Wallaahua’lam.)
Melampaui Pluralisme Teologis Menuju Civic Pluralism
Posted by Hatim Gazali under Artikel
[8] Comments
2 Votes
“Many faiths all claiming to be true”, demikian pernyataan John Hick (1990: 109). Benar, setiap agama senantiasa mengklaim benar, bahkan paling benar ketimbang yang lain. Klaim inilah yang menjadi salah satu faktor terjadinya konflik antar agama. Karena itulah, keragaman ini oleh Harold Coward (1985) dinilai sebagai problem dan tantangan terbesar umat manusia. Tak pelak, upaya mencari titik temu sebagai upaya menciptakan perdamaian antar agama terus dilakukan, termasuk melalui gagasan pluralisme agama. Kendati istilah pluralisme tak bermakna tunggal (Riis Ole: 1999), tetapi istilah ini dapat dimengerti sebagai respon, pengakuan, dan sikap aktif untuk menjaga keragaman, tanpa disertai truth claim secara sepihak, sehingga bisa hidup bersama dalam keragaman secara damai.
Salah satu perspektif untuk mencari titik temu antar agama dilakukan dalam ruang teologis (theological pluralism). Adanya pluralitas agama ini merupakan kombinasi (Legenhausen: 1997) antara respon manusia terhadap the One (Hick: 1990)dan manifestasi Tuhan (Nasr:1993). Dalam perspektif ini, setiap agama diyakini memiliki kesamaan—atau sekurang-kurangnya kesejajaran—teologis. Bahwa setiap agama sama menuju the Ultimate Reality/ sensus nominus, mengajarkan kebaikan, keadilan dan sebagainya. Singkatnya, pada level esoterik/transenden semua agama satu (the transcendent unity of religion), dan beragam dilevel eksoterik.
Pertanyannya, apakah penemuan titik temu agama-agama mampu menyelesaikan konflik antar agama? Bukankah sebuah konflik tak pernah berakar tunggal? Dan, bukankah yang sering jadi problem adalah hal-hal yang eksoterik-artifisial, tidak hanya antar agama tetapi juga intra agama?
Memang, pluralisme teologis telah memberikan konstribusi dalam menemukan titik temu antar agama. Namun demikian, ia tidak langsung ke jantung soal di masyarakat. Yang menjadi pokok soal hubungan antar agama dan intra agama bukan pada hal-hal yang universal-esoterik, melainkan kepada hal-hal partikular-eksoterik dimana theological pluralism tak banyak berbuat apa-apa. Disini, perlu disadari bahwa gagasan pokok pluralisme adalah hidup bersama secara damai dalam keragaman.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, keragaman agama/keyakinan tak hanya menghadirkan truth claim, melainkan yang kerap terjadi saat ini adalah—apa yang telah disebut Diana L. Eck (2007)—the confusion of arena of discourse. Bahwa penolakan terhadap teologi tertentu tak jarang berbuntut kepada penolakan sebagai warga negara. Contoh yang paling nyata terhadap hal ini adalah keberadaan Ahmadiyah dan sejumlah aliran-aliran non-mainstream. Perbedaan keyakinan satu kelompok dengan kelompok lainnya menjadi justifikasi untuk menolak sebagai warga negara dengan melakukan diskriminasi dan kekerasan. Kekerasan yang menimpa Ahmadiyah terjadi secara massal disejumlah tempat, seperti di Tasikmalaya (19/12/2007), Sukabumi (25/4/2008), Bogor (30/4/2008), Makassar (20/6/2008), dan lain sebagainya.
Civic Pluralism [1]
Mengigat adanya “kekacauan arena” ini, sudah saatnya mengembangkan gagasan pluralisme dari theological pluralism menuju civic pluralism. Ini penting dilakukan karena teologi/agama hanyalah satu dari beragam identitas warga negara. Juga, sejauh ini pluralitas agama/keyakinan senantiasa direspon secara teologis—dimana vonis sesat atau tidak menjadi taruhannya—dan pendekatan struktural
Civic pluralism (Zainal Abidin Bagir, 2009) tidak melihat keragaman dalam perspektif teologis dimana suatu keyakinan tertentu bisa divonis iman-kafir, melainkan ditempatkan dalam ruang politik yang terkait dengan hubungan pemerintah dan rakyatnya, dan relasi-relasi sosial dalam masyarakat. Karena itulah, civic pluralismtidak memberikan privilege terhadap suatu komunitas tertentu. Sebaliknya, pemerintah dan masyarakat harus sama-sama berperan aktif dalam menciptakan ruang-ruang dialog yang sehat dan dapat diakses seluas-luasnya oleh seluruh warga negara, sehingga tercipta kehidupan berbangsa dan bernegara secara rukun, damai dan partisipatif. Disamping itu, civic pluralism juga mengakui keragaman identitas, dimana agama hanyalah sebuah identitas sebagaimana identitas lainnya, seperti etnisitas, ras, gender, bahasa dan sebagainya. Akibatnya, tak ada satu orang pun yang memiliki satu identitas. Seseorang yang beridentitas Ahmadiyah, pada saat yang sama juga memiliki identitas sebagai, misalnya, orang jawa, dan laki-laki atau perempuan. Karena itulah, kategorisasi mayoritas-minoritas menjadi tidak berlaku.
Pemosisian pluralitas agama ataupun lainnya dalam landscape civic pluralism akan menghindarkan dari perdebatan teologis yang melelahkan, tetapi justru menuntut adanya ketegasan kebijakan pemerintah dalam mengelolah keragaman tersebut. Ini penting, karena titik temu teologis bisa saja dijumpai tetapi kekerasan masyarakat terhadap suatu kelompok tertentu dan bahkan dilakukan negara melalui politik pembiaran akan tetap terjadi. Sebaliknya, kendati tak dijumpai titik temu teologis masing-masing agama, hidup rukun-damai sesama warga negara dalam ragam identitas tetap bisa terjadi.
Dalam hemat saya, theological pluralism bukan saja hanya bisa dinikmati oleh kalangan elit-agawaman karena titik temu terjadi pada esensi agama belaka, tetapi juga—di Indonesia—melahirkan kontroversi yang tak berkesudahan baik di internal NU ataupun di komunitas agama lainnya bahkan telah difatwa haram oleh Majelis Ulama Indonesia. Fatwa haram ini seharusnya tidak terjadi, akan tetapi wacana pluralisme di tanah air telah dimaknai sebagai penyamaan agama (relativisme, Buster G. Smith, 2007). Padahal, pluralisme melampaui relavitisme. Eck (2001:71) menandaskan “Pluralism is not simply relativism. It does not displace or eliminate deep religious commitments or secular commitments for that matter. It is, rather, the encounter of commitments”
Dengan menempatkan agama/keyakinan sebagai identitas sebagaimana identitas lainnya seperti gender, ras, etnis, bahasa dan sebagainya, ini akan memberikan keuntungan; yakni negara tak memberikan privilege terhadap komunitas tertentu karena keyakinan adalah urusan privat setiap warga negara (sekularisme, Berger, 1994; 155), dan juga terlepas dari vonis sesat-menyesatkan terhadap komunitas tertentu yang berbeda dengan mainstream. Yang menjadi tugas negara/pemerintah bukan lagi menentukan apakah suatu keyakinan tertentu sesat secara teologis, tetapi apakah komunitas tertentu—apapun identitasnya—melanggar konstitusi, hukum dan peraturan yang ada. Karena itulah, negara tak memiliki wewenang untuk mengintervensi keyakinan tertentu, tetapi justru menciptakan ruang-ruang dialog antar komunitas agama, etnis, ras yang bisa diakses oleh seluruh warga negara dengan membuat peraturan-peratuan yang mengatur hubungan antar komunitas tersebut (Pluralist polity dalam istilah Martin Marty). Ke arah inilah saya kira negara/pemerintah mesti bergerak dalam mengelola keragaman negeri ini. Pasalnya,civic pluralism yang “tak menganggu” suatu teologi tertentu, saya kira lebih muda diterima dan dikelola dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. [Wallahu ‘a’lam].
[1] Sebenarnya, civic pluralism sendiri tak memiliki definisi tunggal. Tom Soutphommasane (2005), misalnya, menempatkannya sebagai satu model dari multikulturalisme. Ini berbeda dengan Eck (2007) yang membicarakan pluralisme pada tiga level; akademis, teologis dan civic. Dalam hemat saya, civic pluralism bukan sekedar penghargaan terhadap keragaman identitas dan hak-hak sivik warga negara—seperti agama, ras, gender dan orientasi seksual—yang diletakkan dalam kerangka politik, tetapi juga ada engagement dan perlindungan hukum terhadapnya.
TEOLOGI PLURALIS YANG MERUSAH (KERUKUNAN) AGAMA
(Adian Husaini)
Melalui artikelnya di harian ini edisi 24 Juni 2000 yang berjudul 'Mengembalikan Kerukunan Umat Beragama', Budhy Munawar-Rachman (BMR) mengajukan pemikiran bahwa kerukunan umat beragama dapat dicapai jika para pemeluk agama menganut -- dan mengembangkan -- teologi pluralis atau teologi inklusif. Sebaliknya, teologi eksklusif tidak kondusif dan menjadi akar munculnya konflik agama (SARA).
Teologi pluralis, menurut BMR, melihat agama-agama lain dibanding dengan agamanya sendiri dalam rumusan: 'other religions are equally valid ways to the same truth (John Hick); Other religions speak of different but equally valid truths (John B Cobb Jr); Each religion expresses an important part of the truth (Raimundo Panikkar). Intinya, penganut teologi pluralis meyakini bahwa 'semua agama memiliki tujuan yang sama'. Dalam istilah lain, teologi pluralis dirumuskan sebagai 'satu Tuhan, dalam banyak jalan.' Untuk menguatkan pendapatnya, BMR mengutip ucapan Rumi: 'Meskipun ada bermacam-macam agama, tujuannya adalah satu. Apakah Anda tidak tahu bahwa ada banyak jalan menuju Ka'bah?'
Teologi pluralis, menurut BMR, menolak paham ekslusivisme, sebab dalam eksklusifisme itu ada kecenderungan opresif terhadap agama lain. Teologi eksklusif dirumuskan sebagai pandangan yang menganggap bahwa hanya ada satu jalan keselamatan: Agama mereka sendiri.
BMR mencatat: 'Pandangan ini jelas mempunyai kecenderungan fanatik, dogmatis, dan otoriter!' Dengan bahasa yang lebih sederhana bisa dirumuskan bahwa untuk terjadinya kerukunan umat beragama, maka seorang Muslim -- dan pemeluk agama lain -- harus menghindarkan sikap fanatik, dogmatis, dan otoriter, yang menganggap bahwa hanya agama yang dipeluknya yang benar. Pemeluk suatu agama harus menganut teologi pluralis: Ia harus meyakini bahwa agama lain juga benar, yang berbeda hanya cara saja. Tapi, tujuannya adalah sama.
Ide lama kemasan baru
Gagasan BMR sebenarnya gagasan lama yang dikemas dengan istilah-istilah yang lebih indah, seperti 'inklusif', 'pluralis', dan sejenisnya. Ide ini sama saja dengan gagasan sinkretisme, pendangkalan aqidah, atau sekularisme, yang semakin menjadi-jadi setelah World Parliement of Religions di Chicago tahun 1993 menyepakati perlunya suatu 'global ethics' untuk membangun perdamaian dunia. Sejumlah tokoh di Indonesia juga rajin mengkampanyekan gagasan ini. Salah satunya adalah Gus Dur. Baru empat hari terpilih sebagai Presiden RI, Gus Dur sudah mengeluarkan pernyataan yang bernada sinkretik ketika berkunjung ke Bali: 'Kalau kita benar-benar beragama, maka akan menolak kebenaran satu-satunya di pihak kita dan mengakui kebenaran semua pihak. Kebenaran mereka yang juga kita anggap berbeda dari kita. Ini yang paling penting. Oleh karena itu semuanya benar. Semuanya benar.' Dalam bukunya berjudul Samakah Semua Agama?, misionaris Dr J Verkuyl memuat hikayat Nathan der Weise (Nathan yang Bijaksana). Nathan adalah seorang Yahudi yang ditanya oleh Sultan Saladin tentang agama manakah yang terbaik, apakah Islam, Yahudi, atau Nasrani. Ujungnya, dikatakan, bahwa semua agama itu intinya sama saja. Hikayat Nathan itu ditulis oleh Lessing (1729-1781), seorang Kristen yang mempercayai bahwa intisari agama Kristen adalah Tuhan, kebajikan, dan kehidupan kekal. Intisari itu, menurutnya, juga terdapat pada Islam, Yahudi, dan agama lainnya. Ungkapan penyamaan agama juga pernah diungkap oleh Mahatma Gandhi: 'Setelah mempelajari lama dan seksama serta melalui pengalaman, saya sampai kepada kesimpulan bahwa : (1) semua agama itu benar, (2) semua agama itu memiliki beberapa kesalahan di dalamnya, dan
(3) semua agama itu bagi saya sama berharganya sebagaimana agama saya yaitu Hindu. Menurut Gandhi, agama ibarat jalan yang berbeda-beda namun menuju titik yang sama (Gandhi, 1958). Jadi paham persamaan agama sebenarnya bukanlah hal baru. Kaum sekular, sinkretis, bahkan kaum Zionis, pun telah mengembangkan paham ini ratusan tahun yang lalu. Jika BMR, Gus Dur, dan kawan-kawan kemudian ikut-ikutan menyuarakan paham persamaan agama, maka mereka adalah sebenarnya hanya menjadi bagian kecil dari kampanye global dari paham sekular atau sinkretis. Pada kutub yang lebih ekstrem, para penganut paham penyamaan agama akan meragukan kebenaran agamanya sendiri atau menganggap semua agama sama saja dan benar, tidak ada yang salah. Wacana dilematis semacam ini pernah diungkapkan oleh Ahmad Wahib dalam catatan hariannya, 'Pergolakan Pemikiran Islam' yang sangat kontroversial. Wahib yang sempat bergaul akrab dan diasuh selama lima tahun oleh romo HC Stolk SJ dan romo Willenborg, menulis: 'Aku tak tahu, apakah Tuhan sampai hati memasukkan dua orang bapakku itu ke dalam api neraka. Semoga tidak.' Program 'Free Masonry'
Bila ditelusuri secara mendalam, pemikiran sinkretis yang berupaya menyamakan semua agama, pada dasarnya adalah bentuk pelecehan terhadap agama. Pemikiran sinkretis semacam itu juga pernah dikembangkan oleh kelompok organisasi rahasia Yahudi Free Masonry. Kelompok ini pernah mendirikan perkumpulan teosofi di Indonesia dengan nama Nederlandsch Indische Theosofische Vereeniging (Perkumpulan Teosofi Hindia Belanda, yang merupakan cabang dari perkumpulan teosofi yang bermarkas di Adyar, Madras, India (Saidi, 1994: 10-13). Selain menyamakan agama-agama, kelompok ini juga berupaya menggabungkan nilai-nilai kebajikan pelbagai agama. Malah, menurut mereka, pelbagai agama itu masih harus disempurnakan lagi dengan ajaran teosofi versi mereka. (Majalah Teosofie In Nederlands Indie, No 1/Th 1, Mei 1910). Pokok-pokok ajaran teosofi di antaranya, (1) menjalankan persaudaraan tanpa memandang bangsa, agama, dan warna kulit, (2) semua agama yang digelarkan di dunia ini sama saja maksudnya. Semua agama berisi teosofi, (3) semua agama memerlukan tambahan 'ilmu kebersihan' seperti yang diajarkan teosofi.
Secara lebih lejas, misi teosofi digambarkan oleh Ketua Theosofische Vereeniging Hindia Belanda, D Van Hinloopen Labberton, pada majalah Teosofi bulan Desember 1912: 'Kemajuan manusia itu dengan atau tidak dengan agama? Saya kira bila beragama tanpa alasan, dan bila beragama tidak dengan pengetahuan agama yang sejati, mustahil bisa maju batinnya. Tidak usah peduli agama apa yang dianutnya. Sebab yang disebut agama itu sifatnya: Cinta pada sesama, ringan memberi pertolongan, dan sopan budinya. Jadi yang disebut agama yang sejati itu bukannya perkara lahir, tetapi perkara dalam hati, batin. Sepintas, ajaran-ajaran itu tampak indah. Padahal, ajaran-ajaran itu sebenarnya racun halus yang secara perlahan membetot keimanan seorang Muslim. Seorang Muslim yang menganut paham semacam itu, akan tidak terlalu peduli dengan konsep-konsep teologis agamanya sendiri, demi tujuan 'persaudaraan' kemanusiaan.
Kerancuan teologis : Hamka (alm) pernah menyatakan, orang yang mengatakan bahwa semua agama itu sama dan benar, sebenarnya orang itu tidak beragama. Logikanya, jika semua agama sama, maka buat apa beragama? Lalu, agama mana saja? Bagi Muslim, 'teologi pluralis' versi BMR sangatlah aneh dan menyesatkan. Dalam tataran teologis, Islam memiliki konsep 'eksklusif' dan tegas. Hanya Islam yang benar, yang lain adalah kafir dan sesat. Hanya Islam jalan keselamatan. (QS 3:19, 3:85; 98:6; 5:72-75; dsb).
Di era 1970-an dan 1980-an, pemerintah Orde Baru dengan gerakan sekularisasinya juga sibuk membuat program pendangkalan aqidah dan 'pengikisan fanatisme' keagamaan. Gerakan itu disisipkan melalui buku-buku PMP yang sempat menyulut protes para pemimpin Islam. Pada intinya, program ini berusaha mengikis keyakinan keagamaan yang menganggap kebenaran hanya pada agamanya sendiri.
Teologi sinkretis (pluralis) yang dikembangkan Orde Baru itu terbukti amburadul dan kontraproduktif. Konflik SARA justru melonjak tajam di masa 'orde' itu. Data perusakan gereja yang dikeluarkan FKKI/FKKS (1997) menunjukkan lonjakan tajam perusakan/pembakaran gereja di era Orba. Jumlah gereja yang ditutup, dirusak, atau dibakar di Indonesia Periode Tahun 1945-1997
Periode Jumlah Persentase (%) Rata-rata/tahun
1945-1954 0 0 0
1955-1964 2 0 0,2
1965-1974 46 13 4,6
1975-1984 89 25 8,9
1985-1994 132 36 13,2
1995-1997 89 25 44,2
358 100
Sumber: FKKS-FKKI, 1997
Banyak analisis terhadap maraknya perusakan gereja di Indonesia di masa Orba. Yang jelas, rezim Orba melakukan penyeragaman ideologi dan 'mengharamkan' perdebatan (dialog) di tengah masyarakat, dan memunculkan 'hantu SARA'. Kepemimpinan BJ Habibie yang hanya berumur sekitar 500 hari juga tak melakukan perubahan berarti dalam penyelesaian kasus konflik SARA.
Masih serba tertutup dan tabu bicara soal SARA, khususnya dialog antaragama. Rezim Gus Dur, selain mengembangkan sinkretisme, juga cenderung pro-Kristen. Masing- masing kelompok agama sebenarnya menginginkan dialog yang lebih terbuka, jujur, dan transparan, sehingga konflik ideologis tidak berlangsung dalam suasana intrik yang sangat tidak sehat, tidak jujur, dan didominasi semangat kemunafikan. Orang Kristen tidak jujur dengan proyek Kristenisasinya. Orang Islam juga enggan terbuka soal konsep-konsep ideologis dan keagamaan Islam tentang kaum Nasrani. Jika dialog agama sudah berpijak kepada 'ketidakjujuran' dan 'kemunafikan', maka dialog itu akan berujung kepada kesia-siaan.
Teologi pluralisme versi BMR pada ujungnya hanya akan mengulang tragedi konflik SARA di masa Orde baru dan mengembangkan kemunafikan seperti ini http://media. isnet.org/islam/Etc/Plural.html
MELAMPUI PLURALISME TEOLOGIS MENUJU
CIVIC PLURALISM
Posted by Hatim Gazali
“Many faiths all claiming to be true”, demikian pernyataan John Hick (1990: 109). Benar, setiap agama senantiasa mengklaim benar, bahkan paling benar ketimbang yang lain. Klaim inilah yang menjadi salah satu faktor terjadinya konflik antar agama. Karena itulah, keragaman ini oleh Harold Coward (1985) dinilai sebagai problem dan tantangan terbesar umat manusia. Tak pelak, upaya mencari titik temu sebagai upaya menciptakan perdamaian antar agama terus dilakukan, termasuk melalui gagasan pluralisme agama. Kendati istilah pluralisme tak bermakna tunggal (Riis Ole: 1999), tetapi istilah ini dapat dimengerti sebagai respon, pengakuan, dan sikap aktif untuk menjaga keragaman, tanpa disertai truth claim secara sepihak, sehingga bisa hidup bersama dalam keragaman secara damai.
Salah satu perspektif untuk mencari titik temu antar agama dilakukan dalam ruang teologis (theological pluralism). Adanya pluralitas agama ini merupakan kombinasi (Legenhausen: 1997) antara respon manusia terhadap the One (Hick: 1990)dan manifestasi Tuhan (Nasr:1993). Dalam perspektif ini, setiap agama diyakini memiliki kesamaan—atau sekurang-kurangnya kesejajaran—teologis.
Bahwa setiap agama sama menuju the Ultimate Reality/ sensus nominus, mengajarkan kebaikan, keadilan dan sebagainya. Singkatnya, pada level esoterik/transenden semua agama satu (the transcendent unity of religion), dan beragam dilevel eksoterik.
Pertanyannya, apakah penemuan titik temu agama-agama mampu menyelesaikan konflik antar agama? Bukankah sebuah konflik tak pernah berakar tunggal? Dan, bukankah yang sering jadi problem adalah hal-hal yang eksoterik-artifisial, tidak hanya antar agama tetapi juga intra agama?
Memang, pluralisme teologis telah memberikan konstribusi dalam menemukan titik temu antar agama. Namun demikian, ia tidak langsung ke jantung soal di masyarakat. Yang menjadi pokok soal hubungan antar agama dan intra agama bukan pada hal-hal yang universal-esoterik, melainkan kepada hal-hal partikular-eksoterik dimanatheological pluralism tak banyak berbuat apa-apa. Disini, perlu disadari bahwa gagasan pokok pluralisme adalah hidup bersama secara damai dalam keragaman.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, keragaman agama/keyakinan tak hanya menghadirkan truth claim, melainkan yang kerap terjadi saat ini adalah—apa yang telah disebut Diana L. Eck (2007)—the confusion of arena of discourse. Bahwa penolakan terhadap teologi tertentu tak jarang berbuntut kepada penolakan sebagai warga negara. Contoh yang paling nyata terhadap hal ini adalah keberadaan Ahmadiyah dan sejumlah aliran-aliran non-mainstream.
Perbedaan keyakinan satu kelompok dengan kelompok lainnya menjadi justifikasi untuk menolak sebagai warga negara dengan melakukan diskriminasi dan kekerasan. Kekerasan yang menimpa Ahmadiyah terjadi secara massal disejumlah tempat, seperti di Tasikmalaya (19/12/2007), Sukabumi (25/4/2008), Bogor (30/4/2008), Makassar(20/6/2008), dan lain sebagainya.
Civic Pluralism [1]
Mengigat adanya “kekacauan arena” ini, sudah saatnya mengembangkan gagasan pluralisme dari theological pluralism menuju civic pluralism. Ini penting dilakukan karena teologi/ agama hanyalah satu dari beragam identitas warga negara. Juga, sejauh ini pluralitas agama/keyakinan senantiasa direspon secara teologis—dimana vonis sesat atau tidak menjadi taruhannya—dan pendekatan struktural
Civic pluralism (Zainal Abidin Bagir, 2009) tidak melihat keragaman dalam perspektif teologis dimana suatu keyakinan tertentu bisa divonis iman-kafir, melainkan ditempatkan dalam ruang politik yang terkait dengan hubungan pemerintah dan rakyatnya, dan relasi-relasi sosial dalam masyarakat. Karena itulah, civic pluralism tidak memberikan privilege terhadap suatu komunitas tertentu. Sebaliknya, pemerintah dan masyarakat harus sama-sama berperan aktif dalam menciptakan ruang-ruang dialog yang sehat dan dapat diakses seluas-luasnya oleh seluruh warga negara, sehingga tercipta kehidupan berbangsa dan bernegara secara rukun, damai dan partisipatif.
Disamping itu, civic pluralism juga mengakui keragaman identitas, dimana agama hanyalah sebuah identitas sebagaimana identitas lainnya, seperti etnisitas, ras, gender, bahasa dan sebagainya. Akibatnya, tak ada satu orang pun yang memiliki satu identitas. Seseorang yang beridentitas Ahmadiyah, pada saat yang sama juga memiliki identitas sebagai, misalnya, orang jawa, dan laki-laki atau perempuan. Karena itulah, kategorisasi mayoritas-minoritas menjadi tidak berlaku.
Pemosisian pluralitas agama ataupun lainnya dalam landscape civic pluralism akan menghindarkan dari perdebatan teologis yang melelahkan, tetapi justru menuntut adanya ketegasan kebijakan pemerintah dalam mengelolah keragaman tersebut. Ini penting, karena titik temu teologis bisa saja dijumpai tetapi kekerasan masyarakat terhadap suatu kelompok tertentu dan bahkan dilakukan negara melalui politik pembiaran akan tetap terjadi. Sebaliknya, kendati tak dijumpai titik temu teologis masing-masing agama, hidup rukun-damai sesama warga negara dalam ragam identitas tetap bisa terjadi.
Dalam hemat saya, theological pluralism bukan saja hanya bisa dinikmati oleh kalangan elit-agawaman karena titik temu terjadi pada esensi agama belaka, tetapi juga—di Indonesia—melahirkan kontroversi yang tak berkesudahan baik di internal NU ataupun di komunitas agama lainnya bahkan telah difatwa haram oleh Majelis Ulama Indonesia. Fatwa haram ini seharusnya tidak terjadi, akan tetapi wacana pluralisme di tanah air telah dimaknai sebagai penyamaan agama (relativisme, Buster G. Smith, 2007).
Padahal, pluralisme melampaui relavitisme. Eck (2001:71) menandaskan “Pluralism is not simply relativism. It does not displace or eliminate deep religious commitments or secular commitments for that matter. It is, rather, the encounter of commitments” Dengan menempatkan agama/keyakinan sebagai identitas sebagaimana identitas lainnya seperti gender, ras, etnis, bahasa dan sebagainya, ini akan memberikan keuntungan; yakni negara tak memberikan privilege terhadap komunitas tertentu karena keyakinan adalah urusan privat setiap warga negara (sekularisme, Berger, 1994; 155), dan juga terlepas dari vonis sesat-menyesatkan terhadap komunitas tertentu yang berbeda dengan mainstream. Yang menjadi tugas negara/pemerintah bukan lagi menentukan apakah suatu keyakinan tertentu sesat secara teologis, tetapi apakah komunitas tertentu—apapun identitasnya—melanggar konstitusi, hukum dan peraturan yang ada. Karena itulah, negara tak memiliki wewenang untuk mengintervensi keyakinan tertentu, tetapi justru menciptakan ruang-ruang dialog antar komunitas agama, etnis, ras yang bisa diakses oleh seluruh warga negara dengan membuat peraturan-peratuan yang mengatur hubungan antar komunitas tersebut (Pluralist polity dalam istilah Martin Marty).
Ke arah inilah saya kira negara/pemerintah mesti bergerak dalam mengelola keragaman negeri ini. Pasalnya, civic pluralism yang “tak menganggu” suatu teologi tertentu, saya kira lebih muda diterima dan dikelola dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. [Wallahu ‘a’lam].
Bacaan :
[1] Sebenarnya, civic pluralism sendiri tak memiliki definisi tunggal. Tom Soutphommasane (2005), misalnya, menempatkannya sebagai satu model dari multikulturalisme. Ini berbeda dengan Eck (2007) yang membicarakan pluralisme pada tiga level; akademis, teologis dan civic. Dalam hemat saya, civic pluralism bukan sekedar penghargaan terhadap keragaman identitas dan hak-hak sivik warga negara—seperti agama, ras, gender dan orientasi seksual—yang diletakkan dalam kerangka politik, tetapi juga ada engagement dan perlindungan hukum terhadapnya. http://gazali.wordpress.com/2010/09/23/melampaui-pluralisme-teologis-menuju-civic-pluralism/
TEOLOGI PLURALIS KAUM SEKULER YANG MENGACAUKAN
AQIDAH ISLAM
http://alislamu.com/artikel/35-teologi-pluralis-kaum-sekular-yang-mengacaukan-aqidah-islam.html
Melalui artikelnya di harian Republika, 24 Junni 2000 yang berjudul "Mengembalikan Kerukunan Umat Beragama," Budhy Munawar Rachman mengajukan pemikiran bahwa kerukunan umat beragama dapat dicapai jika para pemeluk agama menganut dan mengembangkan teologi pluralis atau teologi inklusif. Sebaliknya, teologi eksklusif tidak kondusif dan menjadi akar munculnya konflik agama (SARA).
Teologi pluralis, menurut Rachman, melihat agama-agama lain dibanding dengan agamanya sendiri dalam rumusan: other religions are equally valid ways to the same truth (John Hick); other religions speak af different but equally valid truths (John B. Cobb Jr); each religion expresses an important part of the truth (Raimundo Panikkar). Intinya, penganut teologi pluralis meyakini bahwa semua agama memiliki tujuan yang sama.
Dalam istilah lain, teologi pluralis dirumuskan sebagai "Satu Tuhan dalam banyak jalan". Untuk menguatkan pendapatnya, Rachman mengutip ucapan Rumi, "Meskipun ada bermacam-macam agama, tujuannya adalah satu. Apakah Anda tahu bahwa ada banyak jalan menuju Ka'bah?"
Teologi pluralis, menurut Rachman, menolak paham eksklusivisme, sebab dalam eksklusivisme itu ada kecenderunganoppressive 'menindas' terhadap agama lain. Teologi eksklusif dirumuskan sebagai pandangan yang menganggap bahwa hanya ada satu jalan keselamatan, yaitu agama mereka sendiri. Rachman mencatat, "Pandangan ini jelas mempunyai kecenderungan fanatik, dogmatis, dan otoriter!"
Dengan bahasa yang lebih sederhana, bisa dirumuskan bahwa untuk terjadinya kerukunan umat beragama, seorang muslim dan pemeluk agama lain harus menghindarkan sikap fanatik, dogmatis, dan otoriter, yang menganggap bahwa hanya agama yang dipeluknya yang benar. Pemeluk suatu agama harus menganut teologi pluralis; ia harus meyakini bahwa agama lain juga benar; yang berbeda hanya cara, tetapi tujuannya adalah sama. Ide Lama Kemasan Baru :
Gagasan Rachman sebenarnya bukan barang baru, hanya saja dikemas dengan istilah-istilah yang lebih indah, seperti inklusif, pluralis, dan sejenisnya. Ide ini sama saja dengan gagasan sinkretisme, pendangkalan aqidah, atau sekularisme, yang semakin menjadi-jadi setelah World Parliement of Religions di Chicago tahun 1993 menyepakati perlunya suatu global ethics untuk membangun perdamaian dunia. Sejumlah tokoh di Indonesia juga rajin mengampanyekan gagasan ini, salah satunya adalah Gus Dur.Mantan presiden RI ke-4 ini pernah mengeluarkan pernyataan bernada sinkretis ketika berkunjung ke Bali, "Kalau kita benar-benar beragama, maka akan menolak kebenaran satu-satunya di pihak kita dan mengakui kebenaran semua pihak. Kebenaran mereka yang juga kita anggap berbeda dari kita. Ini paling penting. Oleh karena itu, semuanya benar.
Semuanya benar." (Terlepas dari apakah berlainan antara tujuan yang disampaikan dengan apa yang ada di dalam hatinya, mungkin demi tercapainya kedamaian antara pemeluk-pemeluk agama, yang jelas Nabi kita Muhammad saw. tidak pernah memberikan contoh ungkapan-ungkapan kepada umat pemeluk agama lain seperti itu. Beliau hanya menyampaikan risalah dari Tuhannya, Inaddina indallahil Islam, Laikraha fiddin, Lakum dinukum waliyadin. ed.).
Seorang misionaris, Dr. J. Verkuyl, menulis buku berjudul Samakah Semua Agama? Dalam buku tersebut, Verkuyl memuat hikayat Nathan der Weise 'Nathan yang Bijaksana'. Nathan adalah seorang Yahudi yang ditanya oleh Sultan Saladin tentang agama manakah yang terbaik, apakah Islam, Yahudi, atau Nashrani; ujung-ujungnya dikatakan bahwa semua agama itu intinya sama saja. Hikayat Nathan itu ditulis oleh seorang beragama Kristen bernama Lessing (1729-1781).
Jadi, paham persamaan agama sebenarnya bukanlah hal yang baru. Kaum sekuler, sinkretis, bahkan kaum Zionis pun telah mengembangkan paham ini ratusan tahun yang lalu. Jika Budhy Munawar Rachman, Gusdur, Nurkholish Madjid, dan kawan-kawannya kemudian ikut-ikutan menyuarakan paham persamaan agama, oknum-oknum tersebut sebenarnya hanyalah pengekor, bukanlah pembaharu, yang menjadi bagian kecil dari kampanye global paham sekuler atau sinkretisme.
Program Freemasonry
Jika ditelusuri secara mendalam, pemikiran sinkretisme yang berupaya menyamakan agama pada dasarnya adalah bentuk pelecehan terhadap agama. Pemikiran sinkretisme semacam itu juga pernah dikembangkan oleh kelompok organisasi rahasia Yahudi: Freemasonry. Kelompok ini pernah mendirikan perkumpulan teosofi di Indonesia dengan nama Nederlandsch Indische Theosofische Vereeniging (Perkumpuln Teosofi Hindia Belanda) yang merupakan cabang dari perkumpulan teosofi yang bermarkas di Adyar, Madras, India. (Saidi, 1994, hlm. 10-13).
Selain menyamakan agama-agama, kelompok ini juga berupaya menggabungkan nilai-nilai kebajikan pelbagai agama. Malahan, menurut mereka, pelbagai agama itu masih harus disempurnakan lagi dengan ajaran teosofi versi mereka. (Majalah Teosofie In Nederland Indie, No. 1, Th. 1, Mei 1910).
Secara jelas, misi teosofi digambarkan oleh Ketua Theosofische Vereeniging Hindia Belanda, D. Van Hinloopen Labberton, pada majalah Teosofi bulan Desember 1912 seperti berikut ini, "Kemajuan manusia itu dengan atau tidak dengan agama. Saya kira bila agama tanpa alasan dan bila beragama tidak dengan pengetahuan agama yang sejati, mustahil bisa maju batinnya. Tidak usah peduli agama apa yang dianutnya. Sebab, yang disebut agama itu sifatnya: cinta pada sesama, ringan memberi pertolongan, dan sopan budinya. Jadi, yang disebut agama yang sejati itu bukannya perkara lahir, tetapi perkara dalam hati, batin."
Sepintas, pernyataan itu tampak indah, padahal ajaran semacam itu tak ubahnya seperti ajaran-ajaran kaum kebathinan yang tidak mempermasalahkan agama apa yang dianutnya tetapi yang penting batinnya. Pernyataan semacam ini adalah racun halus yang secara perlahan dapat membetot keimanan seorang muslim. Seorang muslim yang menganut paham semacam itu akan tidak peduli terhadap ajaran atau konsep yang telah diajarkan oleh Rasulnya sendiri yang diperolehnya melalui wahyu dari Allah SWT, hanya demi persaudaraan kemanusiaan.
Kerancuan Teologis
Hamka (alm.) pernah menyatakan, orang yang mengatakan bahwa semua agama itu sama dan benar sebenarnya ia tidak beragama. Logikanya, jika semua agama sama, buat apa ia beragama? (Buat apa pusing memilih salah satu agama? Toh, semua agama benar? ed.) Lalu, agama man saja yang sama? Bagi Muslim, teologi pluralis versi Budhy Munawar Rachman sangatlah menyesatkan.
Konsep Islam adalah Eksklusif dan Tegas
Dalam tataran teologis, Islam memiliki konsep sangat tegas: hanya Islam jalan yang lurus dan benar, yang lain adalah sesat dan kafir; hanya Islam jalan keselamatan. Rasulullah saw. telah menyampaikan, Allah telah berfirman, yang artinya, "Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya." (Ali 'Imran: 19). "Barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." (Ali 'Imran: 85).
"Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk." (Al-Bayyinah: 6).
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang tegas membantah mereka, kaum sinkretis, yang menyamakan semua agama sama. Tokoh Muslim yang Berbau Sekuler dan Sinkretis Sebenarnya Tidak Jujur Teologi pluralis versi Budhy Munawar Rachman sebenarnya hanya mengungkapkan kemunafikan. Di satu sisi ingin disebut sebagai tokoh pemersatu, di sisi lain dalam hati tetap yakin dengan agamanya sendiri, yaitu Islam. Jika ia konsisten dengan pernyataanya sendiri tentang konsep penyamaan semua agama, mestinya ia berani melepas agamanya; mestinya ia berani merestui anaknya dilamar oleh orang Yahudi atau Nashrani atau lainnya. Ia pun harus menyatakan siap jika ia meninggal nanti jenazahnya tidak perlu dimandikan, dishalatkan, atau dikubur secara Islam; jika perlu dibakar. Bukankah penganut teologi pluralis itu meyakini bahwa semua agama itu benar?
Sumber: Diadaptasi dari artikel berjudul "Teologi Pluralis yang Merusak Kerukunan: Catatan untuk Budhy Munawar Rachman", Adian Husaini, M.A.
http://alislamu.com/artikel/35-teologi-pluralis-kaum-sekular-yang-mengacaukan-aqidah-islam.html
PLURALISME, KLAIM KEBENARAN YANG BERBAHAYA
Oleh: Anis Malik Thoha
Semua agama, baik yang mati maupun yang hidup, yang kuno maupun modern, yang teistik maupun non-teistik, lahir dan hadir lengkap dengan klaim kebenaran. Terlepas apakah klaim ini valid atau tidak, rasional atau irasional. Setidaknya ada tiga macam cara memandang klaim kebenaran, yaitu eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme. Eksklusivisme adalah kebenaran absolut hanya dimiliki agama tertentu secara eksklusif. Tidak memberikan alternatif lain, tidak memberikan konsesi sedikitpun, dan tidak mengenal kompromi.
Klaim ini direpresentasikan oleh agama-agama semitik: Yudaisme, Kristen, dan Islam, yang ditopang dengan konsep yuridis tentang keselamatan. Yudaisme mempunyai doktrin the chosen people (masyarakat terpilih). Kebenaran, keshalihan, dan keselamatan hanya berdasar atas etnisitas yang sempit, yaitu bangsa Yahudi. Katolik punya doktrin extra ecclesiam nulla salus (di luar gereja tidak ada keselamatan) dan Protestan dengan doktrin outside Christianity, no salvation (di luar Kristen tidak ada keselamatan). Sementara Islam dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa inna ad-diena ‘inda Allahi al-Islam (sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam).
Klaim Inklusivisme lebih longgar. Hanya salah satu agama saja yang benar, tapi juga mencoba mengakomodasi konsep yuridis keselamatan untuk mencakup pengikut agama lain. Bukan karena agama mereka benar, tapi justru karena limpahan berkah dan rahmat dari kebenaran absolut yang ia miliki.
Teologi inklusif hanya muncul di lingkungan Kristen dalam waktu belakangan. Ini merupakan respons terhadap teologi pluralis yang mulai merebak pada pertengahan kedua abad ke-20, dan di sisi lain menganggap klaim eksklusif sudah ketinggalan zaman. Ada interpretasi baru yang dianggap lebih segar. Konsep penebusan dosa yang dilakukan Yesus Kristus meliputi seluruh dosa warisan anak Adam. Semua ummat manusia terbuka untuk ampunan Tuhan, meskipun mereka pengikut agama lain. Teologi ini kemudian diadopsi secara resmi dalam Konsili Vatikan II (1962-1965).
Tapi klaim kebenaran model ini tidak konsisten. Jika keselamatan dapat dicapai tanpa adanya koneksi apapun dengan gereja dan doktrin Kristen, apa artinya bersikeras memberikan label Kristen? Kenapa berbagai praktik Kristenisasi masih terus dilakukan? Atau inklusivisme hanyalah slogan kosong dengan maksud tertentu?
Di lingkungan Islam, sebetulnya juga ada upaya serupa. Di Indonesia pada awal tahun 1990-an muncul jargon “Islam inklusif”. Namun setelah diteliti secara seksama, kandungan pemikiran yang mereka maksudkan ternyata serupa dengan model pluralisme seperti di bawah ini.
Pluralisme yang Berbahaya :
Pluralisme muncul dan berkembang dalam setting sosial-politik humanisme sekuler Barat yang bermuara pada lahirnya tatanan demokrasi liberal. Salah satu konstituen utamanya adalah pluralisme agama (yang oleh sebagian sosiolog diidentifikasi sebagai civil religion). Pluralisme ingin tampil sebagai klaim kebenaran yang humanis, ramah, santun, toleran, cerdas, mencerahkan, demokratis, dan promising. Hal ini antara lain dikatakan oleh tokoh pluralis yang paling bertanggung jawab, John Hick. Semua agama, yang teistik maupun non-teistik, dapat dianggap sebagai ruang atau jalan yang bisa memberi keselamatan, kebebasan, dan pencerahan. Semuanya valid, karena pada dasarnya semuanya merupakan respons otentik yang beragam terhadap the Real (hakikat ketuhanan) yang sama.
Dalam kenyataannya, klaim itu menjadi klaim ‘kebenaran relatif’ yang absolut. Tidak saja ingin merelatifkan klaim kebenaran agama yang ada—sehingga semua agama secara relatif sama—tapi juga sebetulnya ingin mengungguli klaim-klaim tersebut. Hanya klaim pluralisme saja yang mutlak benar.
Dengan merelatifkan klaim-klaim kebenaran yang ada berarti secara implisit—dan ini jarang disadari oleh kaum pluralis—telah menafikan, atau minimal mendegradasikan, kebenaran hakiki klaim-klaim tersebut. Pluralisme juga telah bertindak sebagai wasit sepakbola yang mengontrol dan menjaga ketertiban jalannya permainan, termasuk mengeluarkan kartu merah.
Klaim pluralisme membawa implikasi yang berbahaya bagi manusia. Baik itu menyangkut isu-isu yang bersifat teoretis, epistemologis, dan metodologis, sebagian bersifat ideologis dan teologis, dan sebagian lagi berhubungan dengan isu yang lebih praktis, yaitu HAM (hak-hak asasi manusia) –khususnya kebebasan beragama.
Gagasan pluralisme sulit menjawab pertanyaan yang sangat krusial, yaitu apakah benar-benar mampu memberikan solusi yang ramah terhadap konflik antar agama, sebagaimana yang diklaim oleh para penggagas dan penganjurnya? Atau malah menjadi problem baru dalam fenomena pluralitas keagamaan?
Tidak Bisa Dipertahankan Lagi Istilah pluralisme agama selama ini difahami dan didesain dalam bingkai sekuler, liberal, dan logika Barat yang menampik hal-hal yang berbau metafisis. Ini adalah akar dari semua masalah. Agama dianggap sebagai respons manusia, atau sering pula disebut sebagai pengalaman keagamaan. Kemungkinan datangnya agama dari Tuhan atau Dzat yang Maha Agung dinafikan mentah-mentah.
Tokoh seperti Joachim Wach, seorang ahli perbandingan agama kontemporer, bahkan mendefinisikan konsep pengalaman keagamaan sebagai agama itu sendiri. Lahirlah kesimpulan akan persamaan semua agama secara penuh tanpa ada yang lebih benar daripada yang lain. Sebuah kesimpulan yang justru menyulitkan para penggagas dan penganjurnya, terutama yang beragama Kristen, karena muncul pertanyaan: apakah Kristen sama persis dengan agama-agama primitif dan paganis(penyembah berhala) yang kanibalistik?
Klaim ini juga mengerangkeng agama sehingga hanya boleh beroperasi di wilayah yang sangat sempit dan privat–yakni hubungan manusia dengan Tuhannya. Muncul pertanyaan lagi, apakah hubungan pribadi dengan sesuatu yang sakral dan metafisikal ini mempengaruhi dan membentuk perilaku manusia, baik dalam kehidupan individual maupun sosial, atau tidak?
Kajian-kajian modern yang dilakukan para ahli menguatkan adanya pengaruh tersebut. Joachim Wach misalnya, menyimpulkan bahwa manusia kapan saja dan dimana saja selalu ingin mengekspresikan pengalaman keagamaan. Sementara ahli perbandingan agama Ninian Smart dan anthropolog Clifford Geertz menegaskan tentang komprehensivitas agama yang mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia.
Fakta-fakta di atas menguatkan komprehensivitas, inklusivitas, dan totalitas agama. Cakupannya tidak hanya terbatas pada apa yang disebut institusi agama, melainkan juga seluruh falsafah hidup yang dikenal manusia. Otomatis, konsep dikotomisasi realitas: agama-negara, sakral-profan, dan individu-publik, menjadi tak tepat dan tak akurat. Di Barat sendiri kini ada kajian-kajian ilmiah yang mengkritisi akurasi konsep ini. Hasilnya, dikotomisasi tidak mungkin bisa dipertahankan di depan bukti-bukti dan fakta-fakta objektif dari perkembangan sosio-politis kontemporer.
Di sisi lain, terminologi pluralisme di Barat telah mengalami perubahan yang sangat fundamental, sehingga sama dan sebangun dengan demokrasi, yakni penegasan tentang kebebasan, toleransi persamaan, dan koeksistensi. Namun, konsep yang secara teoretis sangat agung dan toleran ini, pada dataran praktis cenderung menunjukkan perilaku intoleran dan memberangus HAM. Kata Muhammad Imarah, “Barat telah memaksa yang lain untuk mengikutinya secara kultur maupun pemikiran… dan untuk melepaskan sejarah, kultur, dan referensi keagamaan dan intelektual mereka masing-masing.” Barat tidak ingin membiarkan yang lain menjadi dirinya sendiri.
Muncullah kesadaran bahwa konsep pluralisme tidak boleh hanya tunduk pada interpretasi tunggal (baca: Barat). Kata John O Voll, “Terdapat kesadaran yang semakin meningkat bahwa konsep ‘pluralisme’, yang merupakan fokus wacana-wacana masa kini, adalah tunduk pada pemahaman yang beragam.” John D’Arcy May juga menyatakan perlunya keragaman dalam membaca dan memaknai konsep ini.
Alhasil, konsep pluralisme yang menganggap semua agama sama saja, tak mungkin bisa dipertahankan. Juga tak mungkin bisa dipraktikkan dalam kehidupan nyata tanpa memberangus HAM.* Penulis adalah dosen Ilmu Perbandingan Agama pada International Islamic University dan pengusur NU Malaysia http://www.hidayatullah. com/read/ 18236/ 29/07/2011/ pluralisme,-klaim-kebenaran-yang-berbahaya.html
PENDIDIKAN BERBASIS PLURALISME
Oleh Farida Denura
Ada persoalan krusial yang masih seringkali muncul di ranah bangsa yang kini memasuki usianya yang ke-66 ini adalah persoalan pluralisme. Kekerasan berlatar belakang suku, agama atau kelompok sosial dan politik yang tidak jarang pula menimbulkan jatuhnya korban, bahkan mengancam disintegrasi bangsa adalah indikasi jelas tentang masih adanya persoalan bangsa yang hingga kini belum terselesaikan secara tuntas. Dan bukan tidak mungkin itu akan menjadi persoalan abadi, jika pluralisme tidak dikelola dengan baik.
Pengelolaan pluralisme ini bukan saja menyangkut penataan pluralisme itu sendiri secara benar, seperti mencegah munculnya konflik dalam keanekaragaman yang mengancam keutuhan dan kemajuan bangsa, tetapi yang paling penting adalah membangun dan mengembangkan pluralisme dengan postur tubuhnya yang pas sesuai dengan format republik ini. Salah satu media yang paling penting dalam pembangunan dan pengembangan pluralisme adalah media pendidikan. Karena, pendidikan merupakan media pencerdasan anak-anak bangsa untuk membangun masa depan bangsa dan negara. Satu hal yang perlu dicatat bahwa gagalnya pembangunan masa depan bangsa di bidang apa pun, terutama karena gagalnya paradigma pendidikan berbasis pluralisme itu. Jika kita ingin mencapai perikehidupan bangsa yang berkeadilan dan damai, yang menghargai pluralisme, maka hal itu mesti dimulai dari anak didik. Kata Gandhi, “If we to reach real peace in this world shall have begin with children”. Paradigma pendidikan Esai ini mengemukakan persoalan bagaimana mengemas pluralisme bangsa ini lewat jalan pendidikan. Dalam hal mana, pendidikan harus ditempatkan pada garda paling depan dalam mendekonstruksi teologi pluralisme dengan membuat metodologi pendidikan yang tepat untuk mendukungnya. Konstruksi pendidikan dalam Orde Baru yang berbasiskan penyeragaman identitas budaya bangsa, misalnya harus dikaji dan mesti disesuaikan dengan paradigme reformasi, yaitu paradigma pendidikan yang berbasis pluralisme bangsa.
Kegagalan Orde Baru dalam menggagas dan mengimplementasikan paradigma pendidikan yang tidak berbasis pluralisme tersebut dapat terlihat lewat berbagai distorsi yang muncul ke permukaan.
Distorsi pertama, dimengerti sebagai sebuah doktrin yang senantiasa dijadikan pembenar bagi terjadinya konflik antaragama yang tak jarang didekati secara represif. Fenomena eksklusivisme masih sangat kental mewarnai kurikulum pendidikan agama di sekolah yang dilakukan melalui “pencucian otak” anak didik secara sistematis. Para pendidik pun seperti tidak bisa berbuat apa-apa dalam menghadapi kenyataan yang eksklusif itu. Perbedaan teologis yang substansial dari setiap agama tidak dihormati secara proporsional dalam kurikulum dan praktek pendidikan. Nilai-nilai agamis seperti kebenaran dan perdamaian tidak diperjuangkan untuk menata pluralisme dengan cara menghormati perbedaan-perbedaan yang ada, dan persoalan pluralisme diselesaikan secara elegan, tetapi sayangnya semua masalah yang muncul kerap diendapkan dengan cara-cara yang represif. Akhirnya, semua itu pun hanya ibarat menyimpan bom waktu yang kemudian meledak dalam aneka kekerasan berlatar agama dan etnis seperti yang terjadi pada awal reformasi, bahkan hingga sekarang.
Distorsi Kedua, pendidikan kita cenderung mengedepankan truth claim ketimbang truth exchange. Materi pelajaran yang diajarkan di sekolah yang membenarkan apa yang diyakini benar dan menghakimi apa yang diyakini salah. Kebenaran yang satu dimutlakkan untuk yang lainnya. Anak didik tidak diberi ruang cukup untuk menguji kebenaran lainnya seperti kebenaran teologis yang ada pada agama lainnya. Akhirnya, anak didik menjadi kurang kritis terhadap setiap masalah dan aneka macam nilai yang ada dan tidak kreatif dalam mengelola hidup.
Lebih dari itu, praksis pendidikan yang indoktrinatif juga kerap mendominasi kesadaran murid, dan itu terasa sekali di perguruan tinggi. Tidak disadari, itu tidak lebih merupakan suatu praktek penindasan terselubung, bersifat nekrophilis –meminjam istilah Erich Fromm, yang artinya bahwa sistem pendidikan itu tidak mengarahkan murid kepada cinta akan kehidupan dan/atau terhadap segala sesuatu yang berkembang, tetapi lebih kepada segala yang bersifat mekanis, sehingga mereka menghadapi hidup ini secara mekanis pula.
Ingat bahwa pendidikan adalah suatu proses sosial, sehingga pendidikan sebaiknya dipahami juga sebagai proses humanisasi; yaitu usaha agar seluruh sikap dan perilaku serta aneka kegiatan seseorang bersifat manusiawi. Di situ pula pendidikan dikatakan sebagai proses pembentukkan manusia seutuhnya lahir bathin, dengan karakter dan watak kebangsaan yang kuat dan bersifat plural, sehingga dari situ anak didik dapat diarahkan untuk lebih tahu dalam menghargai dan menghormati aneka macam nilai dalam masyarakat seperti nilai pluralisme.
Perubahan paradigma Kini, tidak ada jalan yang lebih tepat selain bahwa realitas plural-kemajemukan kita, harus mendapat perhatian yang memadai dalam dunia pendidikan kita. Pendidikan agama sebagai suatu contoh –tidak boleh disejajarkan sebagai bagian dari usaha seseorang untuk memonopoli Tuhan dan Kebenaran, dan dengan sendirinya menghakimi orang lain yang berbeda agama atau keyakinan dengannya. Akibatnya, realitas plural kehidupan agama kurang berfungsi sebagai tali pengikat persatuan bangsa yang berdiri berlandaskan pada Pancasila yang mengagungkan pluralisme itu.
Karena itu, pendidikan kita harus dikembangkan kepada ranah pluralisme untuk merangsang daya pikir dan kreativitas anak didik serta kepada realitas dinamika masyarakat, bukannya menciptakan menara gading yang tercerabut dari akar kehidupan masyarakat plural. Sistem pendidikan, metode, dan cara belajar-mengajar pun harus diarahkan kepada pembentukkan pola pikir dinamik, kreatif dan pluralis bagi siswa dan mahasiswa agar dalam diri mereka tumbuh semangat toleransi dan saling menghormati.
Dalam hal ini, untuk mengubah paradigma dan metodologi pendidikan harus ada kebijakan pendidikan yang tegas, bahkan radikal dari para pemegang kebijakan negara, yaitu dengan mengubah secara fundamental pendidikan sebagai subyek dinamika realitas kehidupan masyarakat, sehingga siswa dan mahasiswa dapat memahami dan mengelola realitas pluralisme bangsa secara tepat. (*) Rudyono Darsono, Ketua Yayasan Perguruan Tinggi 17 Agustus 1945, Jakarta
PLURALISME DALAM BUDAYA INDONESIA
(Mata Kuliah Kewarganegaraan)
A. PENDAHULUAN
Sejak lama, seluruh bangsa Indonesia selalu diangkat agar selalu hidup bedampingan dengan damai dalam masyarakat yang berbeda suku, bangsa, ras,golongan. Kita di ajak untuk mengerti, menghayati dan melaksanakan kehidupan bersama kearah terciptanya persatuan dan kesatuan yang bersemboyan “Bhineka Tunggal Ika.” Oleh karena itu kita selalu di ingatkan untuk menghargai dan menghayati perbedaan suku bangsa, agama,, ras dan golongan sebagai unsur utama untuk mempersatukan dan bukan di jadikan sebagai alas an bagi terjadinya konflik social maupun vertika dalam studi sosiologi ajakan agar selalu hidup berdampingan secara damai, hal ini merupakan bentuk sosialitas nilai yang terkandung dalam multikulturalisme dan pluralisme.
Sebagai bangsa dengan masyarakt yang kita namakan sebagai masyarakat majemuk, untuk mencapai cita-cita itu tidak mudah. Mengapa? “karena tidak banyak orang di antara kita yang memahami benar bahwa hakikat suku nagsa, agama, ras dan golongan dalam masyarakat juga merupakan manifestasi dari etnik yang memiliki latar belakang social dan budaya, karena itu dapat membentuk car berfikir, sikap dan tindakat. Atas ketidak pahaman etnik dan ras sebagai identitas social dan budaya itulah kita hidup dalam masyarakat majemuk dengan multietnik dan multikultur dalam “ideologi’ multikulturalisme dan pluralisme.
I. Pluralisme dalam Budaya Indonesia
a. Memahami Pluralisme
Pertalian sejati yang kebhinekaan dalam ikatan keadaban disertai dengan sikap tulus untuk menerima kenyataan perbedaan sebagai sesuatu yang alami dalam rahmat Tuhan bagi kehidupan masyarakat.
Para sosiolog dan antropolog yakin bahwa setiap individu dan kelompok mempuyai kebutuhan. Jika masyarakat terdiri dari beragam kelompok, atau berbagai kelompok etnik.
1) Istilah etnik dan ras dalam kehidupan sehari-hari
Selama pemerintahan orde baru, kita semua “disosialisasikan” oleh kekhawatiran terjadinya konflik antara SARA, suku, agama, ras dan antar golongan. Seluruh rakyat Indonesia, baik sebagai individu mapun kelompik, selalu di liputi perasaan khawatir dan berhati-hati bedara dalam suatu bangsa yang masyarakatnya mejemuk. Kemajemukan itu di gambarkan oleh beragaman suku bangsa, agama, ras dan golongan yang mendiami Sabang sampai Merauke. Akibatnya pemerintah menjadikan stabilitas nasional sebagai suatu yang mutlak harus di jaga bagi pembangunan nasional jangka panjang (pembangunan terdidi dari stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan) ini berarti bahwa sejak lama kita telah di perkenalkan dengan konsep ras dan etnik.
Dalam kehidupan sehari-hari, istilah ras dan etnik di gunakan secara bergantian, coba kita lihat orang cina, arab, Pakistan dan amerka meraka sebagai orang-orang yang berbeda ras dengan kita. Perbedaan itu dari tampilan fikik mereka berkulit putih, kuning dan hitam. Inilah yang kita sebut ras. Dan diantara kita juga yang membedakan, orang papua, jawa, ambon, orang timor leste, dan orang minang, yang disebut akhir-akhir ini mula dikenal dari bahasa mereka percakapan, pakaian yang mereka pakai, makanan dan minuman khas mereka. Singkatnya adat istiada ini yang kita sebut etni.
Dengan terus meningkatnya kebutuhan dan tuntutan dari berbagai kelompok tersebut maka lahirlah kombinasi dari setiap kelompok sebagai mikro kultur sekurang-kurangnya mereka terikat pada homogenitas etnik karena alasan kultur.
Dalam perkembangan selanjutnya sadar atau tidak berusaha memenuhi kebutuhan mereka di sini telah terjadi perbu arah dari kelompok tersebut, dan kelompok mikrokultur yang homogeny ke multikultur yang lbeih heterogen (Lyndn ‘d Hnason, 1992). Kelompok terakhir inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya konsep pluralisme budaya tersebut.
2) Apa yang dimaksud dengan pluralisme? Kita dapat mengetahui beberapa kategore makna pluralisme, jika kita hubungkan dengan konsep lain.
a. Pluralisme (Etnik) adalah koeksistensi atau pengakuan terhadap kesetaraan dalam social budaya antra beragam kelompok etnik yang ada dalam suatu masyarakat.
b. Pluralisme politik adalah merupakan suatu pengakuan terhadap kesetaraan dalam distribusi kekuasaan kepada berbagai kelompok interest, kelompok penekan, etnik dan ras, organisasi dan lembaga politik dalam masyarakat.
c. Pluralisme kekuasaan yang pluralistic adalah sebuah system yang mengatur pembagian hak kepada semua kelompok yang beragam dalam suatu masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.
d. Moel pluralis adalah analisis sistim politikyang memandang bahwa kekuasaan merupakan perluasaan dari persaingan antara berbagai kelompok interest.
e. Pluraslime Media, Dalam studi media :
1) Pluralisme merupakan pandangan bahwa media masa mempunyai kebebasan dan kemerdekaan yang sangat besar dan di akui oleh Negara, partai politik dan kelompok-kelompok penekan dalam masyarakat.
2) Media masa harus di pandang sebagai media untuk melakukan control social karena itu media harus dikelola oleh sebuah menejemen yang professional sehingga dapat menjalankan tugas dan fungsinya yang ideal bagi kebebasan dan kemerdekaan berpendapat rakyatnya.
3) Didalam pluralisme media, audiens tidak boleh di lihat sebagai sasaran yang dapat dimanipulasi media. Audiens harus dipertimbangkan dalam relasi yang setara dengan media audiens. Merupakan sumber pemberitaan dan sasaran bisnis.
4) Pluralisme juga memandang bahwa media masa merupakan agen terciptanya kebebasan berpendapat dari suatu masyarakat demokrasi, karena itu institusi media harus dibiarkan bebas untuk mengontrol pemerintahan dan berhubungan dengan audiens dimana audiens bebas memilih informasi yang bermanfaat bagi mereka.
B. Makna Pluralisme Sebagai Doktrin
1. Pluralisme Adalah doktrin yang mengatakan bahwa dalam setiap masyarakat, tidak aa satupun “sebab” yang bersifat tunggal atau ganda bagi perubahan suatu masyarakat, pluralisme masyarakat menyakini adanya banyak sebab yang dapat menimbulkan gejala social atau perubahan dalam masyarakat.
2. Pluralisme merupakan doktrin yang pada awalnya timbuk sekitar tahun 1920 an dan hidup kembali di akhir tahun (1960-1980). Pemunculan kembali ideology itu dikarenakan tidak ada satupun gaya simbolik budaya yang mampu menciptakan dominasi budaya dalam suatu masyarakat yang beragam.
Konsep pluralisme di maknai oleh pemerintah sebagai proses “Beganing” atau kompromi terhadap para pemimpin dari berbagai kelompok (etnik, rasa tau kelompok lainnya) yang bersaing dalam bidang bisnis, tenaga kerja, pemerintahan, dll.
Pluralisme di anjurkan sebagai jalan terbaik untuk melayani, atau sebuah proses yang mendorong lahirnya demokrasi paling ideal dalam masyarkat yang semakin modern dan kompleks agar setiap individu dapat berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan. Adapun prinsip pluralisme adalah perlindungan terhadap individu dan kelompok melalui peraturan dan perundang undangan dengan memberikan kemungkinan terjadinya check and balances. Dalam arti luas, konsep ini menjelaskan bahwa taka da satu kelompok pun yang memnduduki kekuasaan selama-lamanya. Kekuasaan itu selalu berganti setidak-tidaknya dilakukan melakukan pengeruh indovidu atau kelompok terhadap kelompok yang berkuasa dalam proses pengembilan keputusan.
A. Pluralism budaya dalam konsep ilmu pengetahuan
1. Pluralism merupakan sebuah model politik yang memungkinkan terjadinya perluaan peran individu/kelompok yang beragam dalam masyarakat untuk terlibat dalam proses politik bagi lahirnya demokrasi terbuka. Jika ini tercapai akan hadir sebuah spectrum social atas kekuasaan yang lebih demokratis, karena kekuasaan berada di tangan beberapa individu dari beragam kelompok yang berbeda-beda.
2. Pluralism juga menggambarkan suatu keadaan masyarakat di mana setiap individu atau kelompok yang berbeda-beda dapat memperkaya peran mereka dalam suatu masyarakat sebagai social fabric.
3. Pluralism merupakan salah satu pandangan bahwa, sebab dari sebuah peristiwa social, misalnya sebab dari perubahan social, harus dapat di uji melalui interaksi dengan beragam factor dan bukan di analisis hanya dari satu factor itu adalah factor kebudayaan. Inilah yang membedakan pandangan Weber bahwa kebudayaan immaterial mendorng perubahan social, dari pandangan Karl Marx bahwa perubahan social bersumber dari kebudayaan materiil.
4. Pluralism merupakan pandangan postmodern yang mengatakan bahwa semua kebudayaan manusia harus di hargai dan diperhaitkan. Tak ada satu kebudayaan atau masyarakat pun yang superior terhadap kebudayaan atau masyarakat yang lain; bahwa setiap kebudayaan mempunyai kontribusi tertentu terhadap proses memanusiakan orang lain.
Pandangan ini wajar, karena dalam masyarakat kenyataannya sering kali kata menemukan adanya kebudayaan dan sepakat kebudayaan dari komunitas atau masyarakat tertentu yang tidak kita ketahui secar pasti. Oleh Karena itu, pluralism mengklim bahwa, dalam masyarakat dimana kit hidup bersama, tidak ada kebudayaan yang tidak setara, karena setiap kebudayaan harus diakui, dihargai secara rasional oleh penduduk yang beragam tesis utama pluralism sering digunakan dalam ilmu politik secara konservatif, bahwa kekuasaan social-ekonomi harus disebarkan secara berimbang di antara semua kelompok dalam masyarakat.
Dari beberapa pengertian di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa secara teoritis pluralism (budaya) merupakan sebuah konsep yang menerangkan ideal (ideology) kesetaraan kekuasaan dalam satu masyarakat multikultur dimana kekuasaan terbagi secara merata diantara kelompok-kelompok etnik yang bervariasi sehingga mampu mendorong pengaruh timbal balik diantara meraka, dan masyarakat multikultur dapat menikmati hak-hak meraka yang sama dan seimbang, yang dapat memilik dan melindungi diri mereka sendiri karena mereka menjalankan kebudayaan (Suziki, 1984).
Pluralism menggambarkan kenyataan bahwa dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok etnik tidak teraktualisasi ke dalam identitas budaya etniknya pada umumnya, kelompok ini memiliki perilaku yang berbeda contohnya; berbicara dengan bahasa yang lain dari bahasa etniknya, memeluk agama yang berbeda dari mayoritas agama yang di peluk etniknya, dll. Dan terbentuknya pluralism yang menjadi struktur dalam masyarakat yang menggambarkan perbedaan budaya di antara kelompok-kelompok etnik dan perbedaan tersebut hanya terletak pada wilayah struktur social yang mempunyai unsur budaya yang sama dengan budaya dominannya mereka selalu tampil dengan budaya tertentu (subkultur) yang terpisah dari kelompok dominan. Menurut beberapa pendapat dibawah ini tentang pluralism :
(1) Menurut Suziuki : dalam pluralism terkadang konsep bahwa setiap orang memiliki etnik tertentu dan tetap mempraktikkan etnisitas sebagai suatu yang sentral dalam menentukan relasi mereka dengan orang lain dari kebudayaan dominan dan pluralism sebagai ideology yang berasumsi bahwa semua isme (rasisme, seksisme, kelasisme) merupakan pendekatan bagi kehidupan yang harmonis satu sama lain.
(2) Menurut Newton : pluralism merupakan gerakan yang berdampak terhadap perubahan struktur social masyarakat, di mulai dari perubahan struktur individu dan kelompok (Suzuki 1984, Soderquist 1995).
(3) Jhon Gray dalam singelis (2003) : bahwa dasar dari pluralism dapat mendorong perubahan cara berfikir dari cara piker monokultur ke cara multikultur perubahan cara ini di anggap penting dan bersifat universal untuk mencegah klaim sebuah kebudayaan bahwa hanya memandang suatu kebudayaan yang paling benar.
(4) Menurut Gray semua kebudayaan itu penting sehingga tidak ada satu kebudayaan pun yang mengklaim bahwa apa yang dilakukan oleh kebudayaan itu menjadi rasionalisasi atas semua kebudayaan lain. Inilah argumen paling penting dari pluralism jadi seorang.
PENGERTIAN BUDAYA
Kebudayaan atau yang kita sebut peradaban adalah suatu pemahaman yang meliputi; pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hokum, adat-istiadat yang diperoleh dari anggota masyarakat. (taylor: 1997).
Pendapat umum, sesuatu yang baik dan berharga dalam kehidupan bermasyarakat (Bakker: 1984). Pola tingkah laku yang mantab meliputi; pikiran, perasaan dan reaksi yang diperoleh dan terutama diwujudkan oleh symbol-simbol pada pencapaian tersendiri dari kelompok mansusia yang bersifat universal (Koeber ‘d’ Kluchon : 1950).
Konsep kebudayaan.
Kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta “budhaya” atau “Bodhi” yang berarti budi atau akal. Budaya dapat dipisah dengan kata majemuk “budhi” dan “dhaya” yang berupa, cita, rasa, karsa dan karya (Kuncoro Ningrat : 1980). Dimensi wujud kebudayaan yaitu; gagasan, konsep, pemikiran manusia. Wujud ini disebut kebudayaan yang bersifat abstrak.
Dimensi aktifitas disebut juga system social, berupa aktifitas manusia yang saling berinteraksi. Sifat konkrit dapat diamati atau diobservasi.
Unsur-unsur budaya
a. Peraturan dan Perlengkapan Hidup Manusia (pakaian, perumahan, transportasi), dan sebagainya.
b. Mata Pencaharian hidup dan system-sistem ekonomi ( pertanian, peternakan, system produksi).
c. Sistem Kemasyarakatan ( system kemasyarakatan, orpol, system hokum dan lain-lain).
d. Bahasa (secara lisan maupun tulisan).
e. Kesenian (seni rupa, suara, gerak, pahat, dan lain-lain).
Jenis Budaya di Indonesia
1. Kebudayaan Modern : Kebudayaan ini biasanya berasal dari manca Negara yang datang ke Indonesia merupakan budaya atau kesienian import. Seperti, ekting, penampilan dan kemampuan menggerakkan diri didasari sifat komersial. Budaya modern lebih mengesampingkan norma, gaya menjadi idola masyarakat dan merupakan target sasaran, contoh: film, music jazz dll.
2. Kebudayaan Tradisional : Bersumber dari daerah setempat. Penampilan mengutamakan norma yang mengedepan-kan intuisi bahkan bersifat bimbang. Petunjuk tentang Kehidupan manusia kebudayaan tradisional yang kurang mengutamakan komersial dan sering dilandasi dengan sifat kekeluargaan. Contoh, kethoprak, wayang orang, ludrug, keroncong dan lain-lain.
3. Budaya campuran pada hakikatnya merupakan campuran budaya modern dengan kebudayaan tradisional yang berkembanga dengan cara asimilasi atau difusi. Kebudayaan tradisional sudah memperhitungkan komersial tapi sudah mengindahkan norma dan adat setempat. Contoh, music dangdut, orkes gambus dan campursari.
Perubahan Kebudayaan
Kebudayaan berubah dengan cara :
1. Difusi: adalah penyebaran unsur kebudayaan dalam masyarakat ke masyarakat lain antar individu, antar keluarga atau antar golongan. Difusi ini dapat menyebar dengan dua cara:
a. “Penetration Pacifiqua” yaitu masuknya unsur kebudayaan dari masyarakat ke masyarakat lain tanpa adanya paksaan. Contoh: listrik masuk dalam desa.
b. “Penetration Hard”, yaitu masuknya unsur kebudayaan dari masyarakat satu ke masyarakat lain yang di sertai kekerasan, missal model pakaian yang tidak sesuai dengan adat setempat.
Timbulnya Kebudayaan
A. Kebudayaan Bisa Timbul dengan Cara:
1. Discovery: yaitu penemuan suatu yang baru yang terjadi dengan tidak sengaja, dengan cara kebetulan dan tidak direncanakan. Contoh: penemuan obat-obatan.
2. Invention: yaitu kebudayaan yang tercipta dengan adanya suatu rancangan, dengan melalui proses. Contoh: model pakaian, computer dan lain-lain.
Teori Pluralisme Budaya
Teori pluralism (budaya) diperkenalkan oleh Nathan Glazer dan Daniel.
1. Proses penanganan pola-pola Etnisitas dan keragaman budaya mempunyai metode yang berbeda satu sama lainnya. Jika proses penanganan tersebut tidak dilakukan secara baik maka kita mempunyai kadar pengetahuan yang kurang tentang etnis antara budaya. Hal ini dapat mempengaruhi sikap kita terhadap karakteristik budaya etnik dan ras yang pada gilirannya memberi peluang bagi terjadinya diskriminasi antar budaya.
2. Jika kita berhadapan dengan identitas etnik bawaan, sebenarnya kita sedang menghadapi sebuah budaya yang permanen, setiap masyarakat multicultural selalu ada keragaman budaya, artina dalam setiap masyarakat budaya budaya terbentuk dari adanya mozaik budaya.
3. Dalam masyarakat multicultural harus ada sikap pluralism dan jalan utama menuju pluralism adalah asimilasi antar etnik.
4. Dalam pluralism, kita akan berhadapan dengan etnogenesis/ rangkaian proses penciptaan perbedaan antar etnis. Berdasarkan perbedaan itu, disitu pihak kita mengadaptasikan satu budaya kedalam kebudayaan lain, namun pihak lain kita melakuka diskriminasi antar etnik.
5. Kelompok etnik merupakan salah satu unsur penentu identitas masa lalu dari sebuah kelompok, namun ketika kelompok terseut berbeda dalam satu masyarakat multicultural, maka kelompok itu akan bicara dan berbuat tentang masa depan. Caranya? Semua kelompok etnik secara bersama-sama membangun dan menyesuaikan diri (adaptasi) melalui penciptaan cara-cara baru berinteraksi.
6. Kenyataan menujukkan bahwa ada tiga hambatan yang dialami oleh masyarakat dalam memahami pluralism:
a. Hanya sedikit proporsi orang yang ingin hidup dalam suatu enklaf yang eksklusif demi mempertahankan ownkind.
b. Toleransi kita sangat terbatas terhadap keragaman.
c. Orang-orang dari beragam ras dan etnik tidak memiliki status social yang seimbang.
Model Pluralism Budaya
Sebagaimana sudah diuraikan pada halaman sebelumnya tentang pluralism dan pluralism budaya, kerap kali konflik terjadi karena setiap kelompok etnik tidak mengakui perbedaan kebudayaan yang ada dalam masyarakat. Akibatnya setiap akan mengajak etniknya pada level superior dan menjadikan etnik lain sebagai inferior.
Model pluralism ini dapat menolong kita melakukan resolusi konflik “misalnya” untuk mengurangi konflik antar etnik individu, kelompok diajak memberikan reaksi tertentu terhadap pengaruh lingkungan social dengan mengadopsi kebudayaan yang baru masuk tersebut. Itulah asimilasi antaretnik. Disamping asimilasi, factor yang membuat kita dapat menyelesaikan konflik antar etnik adalah akomodasi. Dalam proses akomodasi, ada dua etnik/ lebih yang mengalami konflik harus menerima perbedaan budaya, dan perubahan penerimaan itu harus melalui penyatuan penciptaan kepentingan bersama
Teori Kelas (Pluralisme)
Pluralisme
Pluralisme berpegangan bahwa demokrasi didalilkan pada keragaman kepentingan dan penyebaran kekuasaan. Teori-teori pluralisme berkembang dari pemikiran ekonomi dan politik liberal. Di satu sisi, John Locke dan Jeremy Bentham menekankan hak milik individual dan inisiatif pribadi. Beberapa kedudukan pluralisme menurut para ahli, adalah :
1. Pluralisme seringkali disebut sebagai teori demokrasi elitis, membedakan para penguasa dengan yang dikuasai namun menekankan perubahan-perubahan keanggotaan elit setiap saat. Vilfredo Pareto menyebutnya sebuah teori sirkulasi elit dan teori ini mirip dengan teori-teori kelas penguasa Gaetano Mosca. (pluralisme dan teori demokratis elitis)
2. Pluralisme sebagai praktik fundamental dalam masyarakat pluralistik barat yang diwakili oleh Robert Dahl. (pluralisme dan poliarki)
3. Pluralisme kadang dihubungkan dengan jalur-jalur pemikiran sosialis tertentu dan dalam posisi ini teori konflik dan konsensus dapat diterapkan. (pluralisme dan sosialisme).
Pluralisme dan Teori Demokrasi Elitis :
Inti dari teori demokrasi elitis klasik adalah bahwa di setiap masyarakat terdapat suatu minoritas yang membuat keputusan-keputusan besar. Asal usul teori ini berasal dari Plato, namun perluasannya terdapat dalam pemikiran Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca. Pareto merujuk pada gagasan sirkulasi kelompok elit yang mempunyai dua makna dasar. Di satu sisi, seorang elit mungkin akan digantikan oleh elit lainnya namin di sisi lain individu-individu bersirkulasi diantara dua tingkat yaitu strata elit yang tinggi dan strata nonelit yang rendah.
Pareto membagi strata tertinggi adalah kelas pemerintah (mereka yang langsung atau tidak langsung memerintah) dan elit non pemerintah (bagian elit lainnya yang tidak ada dalam pemerintahan). Berbeda dengan Pareto, Gaetano Mosca memberikan sejumlah pernyataan yang berhubungan dengan konsepsi kekuasaan. Pertama, kelas penguasa jumlahnya lebih sedikit sementara kelas yang dikuasai lebih banyak dan terdominasi. Kedua, seandainya atau pada saat massa tidak terpuaskan, mereka dapat mempengaruhi kebijakan kelas penguasa. Ketiga, orang yang berada di pucuk pimpinan negara tidak dapat memerintah tanpa dukungan massa yang mampu menggulingkan kelas penguasa. Mosca mengakui bahwa terdapat adanya sirkulasi kelas atau elit dimana sebuah kelas lama digantikan oleh yang baru.
Mosca menambahkan bahwa sirkulasi elit dapat terjadi melalui asimilasi, kooptasi dan perubahan-perubahan moderat lainnya, seandainya melalui cara ini terhambat maka sirkulasi dapat pula terjadi melalui pemberontakan, revolusi, dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Kritik terhadap teori ini menyatakan bahwa teori demokrasi elitis melewatkan adanya kekuatan politik pemilihan umum dan partisipasi warga negara.
• Pluralisme dan Poliarki
Struktur kekuasaan terbagi-bagi, bukannya terorganisasi dalam satu pola hierarkis yang jelas. Ciri tatanan demokrasi ini adalah peluang-peluang bagi kemerdekaan pemikiran, konsensus dan perbedaan pendapat serta partisipasi politik, manajemen konflik secara damai dan pembatasan kekerasan serta luasnya kepercayaan dan loyalitas terhadap pemerintahan yang konstitusional dan demokratis.
Tiga konsep dari teori ini adalah : (1) Kelompok kepentingan; (2) Kekuasaan; (3) Konflik.
Pluralisme dan Sosialisme
Dahl berpendapat bahwa pluralisme tidak lagi terbatas pada pemikiran borjuis barat dan dibedakan menjadi dua yaitu pluralisme organisasional dan pluralisme konfliktif. Pluralisme organisasional menyiratkan suatu peningkatan otonomi relatif terhadap peningkatan jumlah organisasi. Sedangkan pluralisme konfliktif merujuk pada jumlah dan pola belahan-belahan yang relatif berkelanjutan, yang harus diperhitungkan dalam mencirikan konflik-konflik di antra orang-orang tertentu. Dahl menunjukkan bahwa pluralisme organisasional tidak harus secara eksklusif menjadi produk kapitalisme sebagaimana sering diasumsikan. Ia percaya bahwa ekonomi sosialis dapat sangat terdesentralisasi dan pluralistik dan bahwa suatu tatanan sosialis yang terdesentralisasi dapat menciptakan pluralisme organisasional sebanyak atau bahkan lebih dari tatanan non sosialis.
Pluralisme organisasional tidak bergantung pada apakah sebuah negara menganut kapitalis atau sosialis dalam kepemilikan cara-cara produksi secara pribadi atau sosial, namun bergantung pada sejauh mana keputusan-keputusan terdesentralisasi dan otonomi diperboleh-kan bagi badan-badan usaha. Teori-teori konflik dan konsensus berasumsi bahwa seluruh masyarakat secara tetap mengalami perubahan atau pencampuran antara konflik dan konsensus. Konflik menyiratkan suatu ketidaksepakatan tentang nilai-nilai dasar dalam masyarakat, sedangkan konsensus merujuk pada kesepakatan tentang nilai-nilai dasar. Derajat konflik dan konsensus dapat menetukan kestabilan atau ketidakstabilan masyarakat. Kaum pluralis pada umumnya beranggapan bahwa di Amerika Serikat dalam hal nilai-nilai dasar, konsensus jauh lebih besar daripada konflik.
Berbeda dengan Marxisme, ia lebih berfokus pada masyarakat kelas dimana beberapa orang secara pribadi memiliki cara-cara produksi dan merampas surplus pihak-pihak lain sehingga dibagi berdasarkan tenaga kerja yaitu antar pemilik dan para pekerja. Perjuangan elemen kelas bertentangan satu sama lain sehingga dalam pandangan Marx, kaum proletar mungkin dapat lebih kuat daripada para kapitalis karena mereka dianggap krusial dalam proses produksi. Di saat bersamaan para kapitalis meungkin menjadi lebih kuat karena mereka memiliki cara-cara produksi dan mengontrol mekanisme-mekanisme pemaksaan negara. Marx percaya bahwa perjuangan kaum proletar melawan kaum borjuis pada akhirnya akan menghasilkan penggantian masyarakat borjuis lama dengan sebuah masyarakat baru yang akan mengenyahkan kelas-kelas lewat perjuangan mereka.
Dengan demikian, pluralisme menggambarkan kekuasaan sebagai sebuah ciri kelompok-kelompok dalam masyarakat, sementara Marx memandang keseluruhan masya-rakat dimana kekuasaan dihubungkan dengan perkembangan mode produksi, ideologi, kelas dan perjuangan kelas
TEORI PLURALISME
Pluralisme merupakan kelompok dominan dari pemikiran teoritis dalam pembagian kekuasaan dalam demokrasi liberal. Dalam bentuk klasik, pluralisme berpendapat bahwa kekuasaan tersebar diseluruh masyarakat. Tidak ada satu kelompok yang memegang kekuasaan mutlak dan negara memutuskan diantara kepentingan‐kepentingan yang bersaing dalam perkembangan kebijakan. Sifat kunci dari pluralisme adalah :
• Membuka persaingan pemilihan diantara sejumlah partai politik.
• Kemampuan para individu untuk menata diri mereka sendiri kedalam kelompok penekan dan partai politik
• Kemampuan kelompok penekan untuk mengeluarkan pendapat mereka secara bebas
• Keterbukaan negara untuk melobi seluruh kelompok penekan
• Negara sebagai wasit yang netral dalam mengadili tuntutan‐tuntutan yang saling bersaing
• Meskipun masyarakat memiliki kelompok elit, tidak ada satu kelompok yang mendo-minasi sepanjang waktu
Untuk kalangan pluralis, kebijakan kesehatan muncul sebagai hasil dari konflik dan tawar menawar diantara sejumlah besar kelompok‐kelompok yang terbentuk untuk melindungi kepentingan khusus dari anggotanya. Negara memilih dari setiap gagasan dan usulan yang diajukan oleh kelompok berkepentingan sesuai dengan apa yang terbaik untuk masyarakat.
Pluralisme telah menjadi pokok skeptisme karena menggambarkan negara sebagai wasit netral dalam pembagian kekuasaan. Tantangan utama yang pertama kali muncul datang dari teori tentang pilihan masyarakat dan kedua dari teori elit
Teori Pluralisme
By: S. N. Dubey
Pluralisme bisa dikatakan salah satu reaksi dari konsep Hegelian tentang Negara, dimana Negara diangkat dari puncak mistikal laksana Tuhan yang memiliki dunia ini dan menobatkan legal para penguasa yang bermoral tinggi.
Disini terlihat bahwa Negara bisa diartikan sebuah asosiasi diantara para penguasa yang memiliki kemampuan dan autority yang terbatas. Teori ini terus berkembang sangat jauh oleh pakar – pakar politik; Dr. J. Neville Figgis, Harold J. Laski, A.D. Lindsay, Leon Duguit, Ernest Barker dan Miss M.P Follet.
Point utama dari teori pluralist menjelaskan bahwa Negara bukanlah sebuah asosiasi individual. Figgis menyatakan masyarakat bukanlah individual tumpukan pasir yang berelasi hanya melalui Negara, akan tetapi sebuah pendakian hirarki suatu kelompok hingga terbentuk.
Istilah lain Negara adalah sebuah asosiasi diatas asosiasi, masyarakat diatas masyarakat. Pluralist menganggap kelompok permanent didalam masyarakat memiliki kesadaran dan kemauan tersendiri, seperti perbedaan yg jelas diantara anggota secara individual. Mereka menegaskan setiap asosiasi kolektif memiliki personalitas tersendiri dan memutuskan bersama hukum secara terperinci.
Setiap kelompok merupakan organ yang original didalam pembentukan hukum, dan setiap aksi yang dilakukan oleh oknum agency dimana menjadi kepercayan umum merupakan kualitas bagi penemuan ekspresi mereka di dalam hukum yang sebenar – benarnya. Jadi Elaborasi legal role dalam Negara inn adalah asas, dan bukanlah exclusive.
McLver dalam pandangan kemajuan Negara modernnya terlihat serupa. Negara tegasnya merupakan sebuah asosiasi dalam diantara banyaknya komunitas. Ia memiliki karakter sifat – sifat berkoperasi. Ia memiliki batas yang jelas, kekuatan yang nyata begitu juga tanggung jawabnya. Layaknya corporation merupakan subject keadilan dan kewajiban dimana merupakan milik kesatuan atau bersama.
Landasan Epistemologi dan Teologi Pluralisme Agama
Oleh: Ruhullah Syams
Pluralisme agama mempunyai landasan epistemologis dan teologis. Bagian epistemo-logis dari teori ini menitikberatkan pada pembuktian kebenaran untuk semua agama-agama, sedangkan bagian teologisnya lebih banyak mengarah pada pengakuan keselamatan dan kebahagiaan para pengikut dari semua agama-agama. Demikian pula pluralisme agama dengan mengambil ilham dari filsafat Kant pemisahan nomen dengan phenomen, hermenetik Gadamer, teori kesatuan substansi agama-agama, kejamakan hakikat, teori pengalaman keagamaan, kesetaraan argumen, gradasi dan keberadaan batin hakikat, telah mengumumkan kesamaan agama-agama dalam meraih hakikat serta mendapatkan keselamatan. Dalam tulisan ini, pertama akan kami paparkan landasan epistemologi pluralisme agama dan melakukan telaah serta kritik terhadapnya dan kemudian memaparkan landasan teologinya serta telaah dan kritik terhadapnya.
1. Landasan Epistemologi Pluralisme Agama
Landasan epistemologi pluralisme agama, terbangun dengan mengambil ilham dari teori pemisahan nomen dan phenomen Kant, hermeneutik, khususnya hermeneutik filsafat Gadamer, dan bahasa agama (religious language). Sebagaimana diisyaratkan bahwa bagian penting dari landasan teoritis pluralisme agama ini menekankan pada pengafirmasian kebenaran bagi semua agama-agama. Yakni berupaya membuktikan bahwa semua agama-agama dari segi mencerap hakikat adalah sama dan setara. Tidak ada satu pun agama yang lebih utama dan sempurna dibanding semua agama-agama lainnya, sehingga ia dapat dipandang sebagai agama yang paling benar dan paling sempurna. Semua agama adalah sederajat dalam kesahihan dan kebenaran. Yang berbeda di antara mereka hanyalah lahiriahnya saja, tetapi batin dan substansinya adalah satu. Oleh karena itu, konsekuensi logis dari tinjauan ini adalah ketiadaan pemisahan dari dimensi kebenaran dan kebatilan antara proposisi-proposisi agama tauhid (monoteisme), trinitas, trimurti, politeisme, dan syirik.
2. Pemisahan Nomen dengan Phenomen
Landasan epistemologi yang sangat kuat mempengaruhi pluralisme agama datang dari pemikiran Immanuel Kant (1724-1804 M), seorang pemikir dan filosof berkebangsaan Jerman. Inti pemikiran Kant yang digunakan dalam pluralisme agama adalah pemisahan nomen dengan phenomen dalam dimensi membedakan antara makrifat agama dengan substansi agama. Dengan kata lain terdapat jurang pemisah yang dalam antara pengetahuan agama dan realitas agama. Pandangan ini kemudian menyebabkan pemisahan agama dengan pengetahuan agama, serta menafikan parameter kebenaran dan kesalahan dari proposisi-proposisi agama.
John Hick, dengan menggunakan pemisahan nomen dengan phenomen dalam maktab Kant, pada awalnya mengisyaratkan kepada wajah Tuhan yang sama dalam berbagai syariat. Akan tetapi, setelah itu dia menambahkan bahwa kesamaan ini dihasilkan oleh pandangan dari jauh. Apabila kita mendekat maka perbedaan-perbedaan akan menjadi jelas dan kesamaan akan tenggelam dalam kegelapan. Dia mengambil ilham dari pemisahan nomen dengan phenomen Kant dan membedakan antara Tuhan, maqam lâ isma dan rasm (maqam tak dikenal dan tak terdeskripsi), Tuhan dalam nisbahnya dengan kita, dan mengambil manifestasi Hak dalam mazhar-mazhar yang beragam sebagai rahasia perbedaan agama-agama dan sekaligus sebagai dalil kebenaran semua agama-agama. Dia menyatakan, agama-agama ini mungkin merupakan manifestasi, wajah, gambaran, dan tajalli satu Tuhan, mungkin merupakan sisi-sisi dan jalan-jalan yang berbeda-beda, di mana Tuhan menampakkan diri-Nya kepada manusia… Yehova (Yahudi), Allah (Islam), dan Tuhan Langit kaum Nasrani yang masing-masing merupakan pribadi ketuhanan dan kesejarahan, yang pada hakikatnya merupakan hasil yang sama dari manifestasi universal Ilahi dan campur tangan kekuatan konsepsi manusia dalam syarat-syarat khusus kesejarahan.[1]
John Hick dalam salah satu bukunya yang khusus membahas masalah pluralisme agama mengatakan, semua itu (gambaran beragam dari pengetahuan dan kesadaran agama) mengambil bentuk dikarenakan kehadiran realitas (hakikat) Ilahi, kehadiran seluruh sisi yang berasaskan kumpulan yang beragam dari pengertian-pengertian, konsepsi-konsepsi, dan struktur-struktur makna keagamaan yang berpengaruh dalam internal tradisi-tradisi kegamaan yang beragam, yang masuk dalam kesadaran dan pengetahuan kita.[2]
Apa yang menjadi sandaran penegasan dalam hal ini adalah membedakan antara sesuatu sebagaimana dia adanya (hakikatnya) dan sesuatu sebagaimana dia memanifestasi (zuhurnya), di mana ia berperan dalam membentuk landasan epistemologi agama yang melahirkan teori pemisahan pengetahuan keagamaan dari dzat agama. Dan ini adalah suatu bentuk relativisme dalam makrifat keagamaan tanpa pengingkaran terhadap keberadaan substansi agama.
Berdasarkan teori Kant bahwa sesuatu sebagaimana hakikatnya bukanlah sesuatu itu di sisi kita, karena itu realitas dan hakikat sesuatu yang tak terjamah tidak akan pernah sampai ke tangan kita, sebab ia tidak terjangkau oleh kemampuan persepsi kita. Akan tetapi apa yang kita persepsi di dalam sistem persepsi adalah sejumlah lokus-lokus yang ada sebelumnya dan telah terwarnai, karena itu manusia tidak pernah sampai kepada realitas sebagaimana ia adanya.
Hukum dan kaidah ini pasti berlaku juga bagi para nabi. Mereka dalam menjelaskan syuhud dan mukasyafahnya tentang wujud mutlak terpengaruh oleh faktor-faktor tertentu dan ini memestikan terjadinya perbedaan hasil mukasyafah di antara mereka satu sama lain. Dan dari jalan inilah muncul kejamakan agama, di mana pakaian hak dan batil tidak terkenakan pada salah satu pun dari mereka; sebab setiap dari mereka mengungkapkan penemuan dan hasil mukasyafahnya dalam maqam pengalaman keagamaan.
John Hick berkata dalam hal ini: Immanuel Kant (tanpa punya maksud melakukan ini) telah menyediakan kerangka filosofis, yang mana asumsi seperti ini dapat mendapatkan pengembangan dan kesempurnaan. Dia membedakan antara alam sebagaimana dia fii nafsihi (hakikatnya) dan alam sebagaimana zahir atas pengetahuan dan kesadaran manusia (zuhurnya).[3]
Teori Kant yang dipandang sebagai salah satu dari kebanggaan filosof Jerman ini, natijahnya tidak lebih dari membangun landasan skeptisisme dan relativisme. Kendatipun dia sendiri memandang dirinya adalah seorang realis, tetapi prinsip filsafat yang dikonstruksinya memberikan natijah kepada keraguan dan skeptis. Sebab berdasarkan pernyataannya, sesuatu di luar bukanlah sesuatu yang ada dalam persepsi kita, maka ketika prinsip ini adalah benar, bagaimana dapat dikatakan terdapat hakikat dan realitas di dunia luar dan kita mempunyai makrifat nisbi terhadapnya? Ketika seluruh persepsi dan konsepsi kita mengambil bentuk dengan satu rangkaian lokus-lokus dzihni (mind, mental), bagaimana bisa dikatakan apa yang ada di sisi kita –meskipun dalam bentuk nisbi- adalah itu juga yang ada di luar? Oleh karena itu, sistem filsafat Kant bisa dikatakan tidak mampu membuktikan sesuatu fii nafsihi (hakikat sesuatu) dan natijahnya berakhir kepada idealisme. Sebagaimana kaum idealis sesudah Kant seperti Nietzhe dan Hegel mengajukan isykalan terhadap Kant dan mengatakan, natijah sistem filsafat Kant adalah idealisme, bukan realisme. Nietzhe berkata, Kant meyakini (keberdaan) sesuatu fi nafsihi, yakni dia menghukumi keberadaan sesuatu fi nafsihi, tetapi dia memandang bahwa sesuatu itu tidak dapat diketahuii oleh lainnya, di mana qadiyyah ini dengan sendirinya adalah kontradiksi; sebab penghukuman terhadap keberadaan sesuatu fi nafsihi tidak lain adalah semacam pengenalan terhadap sesuatu fi nafsihi.[4]
3. Telaah dan Kritik
Kita dalam menelaah dan mengkritik teori Kant yang menjadi landasan epistemologi pluralisme agama ini, pertama mengisyaratkan serangkaian pengetahuan manusia yang sama sekali tidak diambilnya dari alam luar dirinya. Kalaupun diasumsikan diambil dari luar, pengetahuan-pengetahuan tersebut tidak terwarnai dan terwadahi dengan satu pun lokus-lokus dzihni (mental, mind) yang ada sebelumnya. Pengetahuan-pengetahuan tersebut seperti:
1. Prinsip non-kontradiksi;
2. Kebatilan daur dan tasalsul;
3. Tercegah berkumpulnya dua perkara atau sesuatu yang saling bertentangan;
4. Kebutuhan setiap akibat kepada sebab;
5. Kebutuhan imkan kepada wajib, dan lainnya.
Pengetahuan-pengetahuan ini merupakan serangkaian pengetahuan dalam hikmah nazhari (teoritis) yang selamanya tidak terwadahi dan terwarnai oleh salah satu dari lokus-lokus dzihni (mental, mind), dan karena itu berbentuk proposisi mutlak di mana dalam setiap zaman adalah benar. Oleh karena itu, di sini kita dapat mengajukan satu pertanyaan mendasar kepada Kant tentang pernyataannya itu, apakah perbedaan antara nomen dengan phenomen, dan sesuatu yang di luar yang masuk dalam wilayah persepsi kita dari jalan penginderaan dalam bentuk tidak terwarnai, teori ini sendiri masuk dalam kaidah ini atau tidak? Sebab dia dalam teori ini mendeskripsikan realitas luar yang pasti masuk dalam alat pikir melalui penginderaan dan pasti ia terhukumi dengan kaidah nomen dan phenomen. Dalam bentuk ini, pemikiran ini sendiri bukanlah gambaran realitas luar. Dan dengan kerelativisannya maka pemikiran ini tidak dapat memandang persepsi dan konsepsi manusia (seluruhnya) adalah relativ. Sebab jika ia mutlak, ia dapat menghukumi tentang mereka dan merelativkan semuanya, padahal pemikiran ini sendiri tidak mutlak dan relativ, karena itu ia tidak mampu menimpakan kerusakan kepada pemutlakan pandangan dan teori lainnya.
Di samping itu, Kant, berbeda dengan filosof empirisisme seperti Hume, dia berpan-dangan bahwa indera dan pengalaman bukan satu-satunya alat dan wasilah pengetahuan. Tetapi sebagaimana sebelumnya diisyaratkan, dia berkeyakinan bahwa pemberian-pemberian indera mengambil bentuk dengan perantaraan lokus-lokus dzihni hingga proses pengetahuan menjadi sempurna. Namun dia berpandangan juga bahwa indera dan pengalaman merupakan poin yang sangat urgen dalam pengetahuan dan bahkan melihatnya, tanpa dengannya maka tidak akan tercipta sama sekali pengetahuan manusia. Di sinilah awal letak ketergelinciran teori epistemologi Kant, sebab keberadaan hukum-hukum akal yang badihi seperti prinsip non-kontradiksi dan kemustahilan daur serta tasalsul berada di luar ruang lingkup indera dan pengalaman, karena itu tidak dapat diinderai dan dieksperimenkan. Di samping itu terdapat serangkaian penghukuman dan penilaian kita yang kendatipun tidak badihi tetapi juga tidak eksperimental. Seperti penghukuman dan penilaian kita tentang riwayat-riwayat sejarah dan hukum atas kesahihan dan kebohongan riwayat-riwayat tersebut, dimana ini tidak dihasilkan dari penginderaan dan eksperimen. Sebab kesahihan sebuah riwayat sejarah bersandar atas penelitian sanad-sanad dan serangkaian silogisme akal.[5] Dan isykal lain yang dapat diajukan terhadap teori Kant ini adalah, proposisi ini sendiri bahwa indera dan pengalaman satu-satunya wasilah pengetahuan, atau dengan ungkapan Kant, paling pertama tahapan pengetahuan, dari jalan apa dihasilkan? Suatu yang badihi bahwa kesahihan eksperimen tidak dapat diafirmasikan dengan jalan eksperimen, akan tetapi meminta jalan rasionalitas.[6] Oleh karena itu, kendatipun pengalaman merupakan salah satu dari prinsip yang memberikan keyakinan dan kepastian yang diperkenalkan dalam mantik Islami, akan tetapi dengan keberadaannya itu ia bukanlah pilar utama dalam konstruksi bangunan pengetahuan manusia, sebab sebelum ia terdapat serangkaian pengetahuan-pengetahuan badihi rasional yang kesahihannya tidak bergantung kepada pengalaman.
Sampai di sini, salah satu dari prinsip dan landasan epistemologi teori pluralisme agama di mana ia tegak atasnya telah ditelaah dan dikritik.
4. Teori Kant dan Pluralisme Agama
Teori Kant dalam bab makrifat telah menarik diskusi serius dalam wilayah makrifat agama, khususnya dalam medan pemikiran dan teologi agama. Pemisahan yang dilakukan Kant antara nomen dengan phenomen telah membuka jalan bagi terjadinya pemisahan agama dari makrifat agama. Yakni dengan jalan qiyas dan perbandingan terhadap keterangan Kant, di mana kita tidak mempunyai jangkauan persepsi kepada hakikat dan nafsul amr (fact-itself) sesuatu dan apa yang kita dapatkan adalah hasil dari campuran struktur dzihni kita dan efek sesuatu yang tidak diketahui (nomen) atas dzihni kita, dan karena itu kita tidak mengetahui kesesuaian antara phenomen dengan nomen. Dengan demikian dalam wilayah agama, sebagaimana kita tidak dapat menjangkau hakikat sesuatu sebagaimana ia adanya maka kita tidak dapat juga menjangkau substansi agama, dan pemahaman kita terhadap agama mengikuti kemestian-kemestian dzihni kita, karena itu kita tidak boleh mencampurkan antara agama dengan makrifat agama. Agama, adalah suatu perkara qudsi (suci), Ilahi, dan permanen, tetapi makrifat kita terhadap agama adalah perkara tidak suci, basyari (tidak Ilahi), dan tidak permanen. Lupa bahwa; pertama, dalam teori Kant persepsi phenomen setiap individu terhadap nomen (sesuatu sebagaimana ia adanya), adalah suatu persepsi yang satu dan sama, karena itu pluralisme dalam pembahasan ini tidak pada tempatnya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh para pemikir Barat bahwa, …buku kritik terhadap akal murni yang menjelaskan tentang potensi pengetahuan, sampai kepada hakikat ini bahwa kendatipun pengenalan kita dimulai dengan pengalaman penginderaan, akal manusia mampu membuat sekumpulan hukum-hukum yang secara mutlak sahih bagi pengalaman mungkin mendatang manusia.[7] Menelaah secara teliti kalimat “secara mutlak sahih bagi pengalaman mendatang manusia”, memberikan natijah penegasian terhadap pluralisme epistemologis.
Sesuai dengan pandangan Kant, persepsi phenomen, dikarenakan mengikuti konstruksi akal manusia dan setiap manusia berdasarkan konstruksi ini semuanya adalah sama maka persepsinya adalah sama, satu, dan tetap. Dengan demikian menafikan pandangan bahwa setiap orang mempunyai persepsi khusus terhadap nafsul amr (fact-itself) sesuatu, atau persepsi phenomen mengalami perubahan sesuai dengan zaman dan mengikuti perubahan ilmu dan falsafah. Oleh karena itu, orang-orang yang mengqiyaskan agama dan pemahaman agama dengan nomen dan phenomen, mengetengahkan pandangan bahwa persepsi phenomen dan sisi basyari (manusia) dari agama, timbul dikarenakan persepsi-persepsi tersebut mengikuti pengetahuan-pengetahuan sebelumnya dan pandangan dunia setiap orang, di mana ia adalah tidak satu dan sama pada semua orang dan dari suatu zaman ke zaman lainnya dan dari generasi ke generasi lainnya serta bahkan dari seorang ke orang lainnya adalah berbeda. Dengan memperhatikan perbedaan ini, menghasilkan warna kerelativan persepsi phenomen kita terhadap agama (dalam pandangan pemilik teori ini) menjadi lebih kental dan lebih jelas dinisbahkan relatifitas persepsi phenomen terhadap wujud sesuatu dalam tori makrifat Kant.
Kedua, dalam membandingkan antara kedua metode pemikiran ini (teori Kant dan pluralisme agama), kita mesti memperhatikan poin lainnya. Yaitu, antara agama dengan nafsul amr sesuatu terdapat perbedaan. Nomen atau sesuatu sebagaimana ia adanya dalam pandangan Kant, suatu perkara secara dzat adalah bukan dzihni (mental, subyektif) dan tidak diketahui, di mana pancaran gambarannya dalam dzihn disebut dengan phenomen, dan dengan ini maka dikatakan persepsi kita terhadap tabiat adalah persepsi phenomen. Penyerupaan agama dengan tabiat dan pemahaman kita terhadap agama dengan ilmu-ilmu seperti fisika, kimia, biologi, dan lainnya, merupakan suatu qiyas yang tidak pada tempatnya. Sebab, agama yang didefinisikan dalam bentuk ayat-ayat dan nash-nash kitab suci serta riwayat-riwayat yang qat’i (yakin dan pasti) keluar dari ucapan Nabi Saw dan imam-imam maksum As (dalam agama Islam, khususnya mazhab syi’ah 12 imam), semuanya ini merupakan jenis makrifat, karena itu berbeda dengan tabiat. Oleh kerena itu, kita tidak boleh berargumen bahwa sebagaimana tabiat adalah ‘diam’ dan para ilmuan ilmu-ilmu tabi’i dengan melakukan penelitian dan observasi terhadap alam tabiat maka tabiat dibawanya dalam kondisi seakan-akan berbicara dengan mengungkapkan hakikat dan rahasia yang dikandungnya maka para ulama ilmu-ilmu agama juga melakukan hal yang serupa, yakni ayat-ayat dan nash-nash kitab suci serta riwayat-riwayat yang qat’i keluar dari Rasulullah Saw dan imam-imam maksum As juga adalah ‘diam’ dan ‘munfa’il’ serta menunggu ditemukan oleh ulama ilmu-ilmu agama baru kemudian berbicara tentang hakikat dan rahasianya.
Tabiat, kenyataannya memang demikian, sebab ia adalah alam yang mempunyai sistem dan aturan materi yang keberadaannya di luar dzihn kita; karena itu ia diam dan bukan dari jenis makrifat. Berbeda dengan agama dan syariat, ia tidak dapat diqiyaskan dengan alam tabiat dan diasumsikan ‘diam’; sebab ia sendiri merupakan sekumpulan proposisi-proposisi makrifat yang diperoleh dari pengungkapan Nabi Saw, baik itu wahyu al-Qur’ani, maupun riwayat-riwayat qat’i yang keluar dari beliau Saw. Oleh karena itu, agama dan syariat tidak seperti tabiat yang merupakan suatu perkara phenomen sehingga ia sebagai phenomen dalam berhadapan dengan ilmu.
Berasaskan ini, teori pluralisme agama tidak dapat mengambil bantuan dari teori epistemologi Kant untuk beristidlal tentang teori dan pandangannya. Dan sebagaimana telah dijelaskan, perkara agama sendiri dari jenis makrifat, sehingga setiap orang yang beriman kepada agama, pertama membutuhkan mendengarkan proposisi-proposisi agama (yang datang dari nabi atau pembawa agama), kemudian menganalisa serta merenungkan tentang kesahihan dan kebohongan proposisi-proposisi tersebut, apakah ia sesuai realitas ataukah tidak, dan terakhir mengimani agama yang sahih dan benar. Dalam hal ini bisa saja seseorang salah dalam menentukan agama yang dipilihnya, sebab proposisi-priposisi tauhid, syirik, dan trinitas yang saling berlawanan, dapat membawa orang pada kesalahan dalam menyesuaikan antara teori yang ada dengan kenyataan yang ada. Tapi yang pasti salah satu dari proposisi-proposisi yang ada adalah sahih dan sesuai dengan realitas. Oleh karena itu, kepluralan dalam melihat dan membaca hakikat yang berdampak pluralisme agama, yang memandang semua agama adalah sahih dan benar, tidak memiliki tempat istidlal bagi teori epistemologi Kant.
[Sumber: www.wisdoms4all.com]
Bahan Bacaan :
[1] Abdul Karim Sorush, Sirathâ-ye Mustaqim, Hal. 19-22.
[2] John Hick, Mabâhes-e Pluralisme Dini, Hal. 80.
[3] John Hick, Falsafeh Din, Hal. 245
[4] Ja’far Subhani, Masâel-e Jadid dar Ilm-e Kalam, Hal. 322.
[5]Atâullah Karimi, Syenakht, Jld. 1, Hal. 119.
[6] Ja’far Subhani, Nazhariyyeh Kant wa Arzesy-e Ma’lumât, Majaleh Nur-e ‘Ilm, No. 11, Hal. 38.
[7] Menukil dari Farzâd Najafi, Tahlil Intiqâdi Mabâni Makrifat Syenâkht Pluralisme Dini, Hal. 110.
Posisi Minoritas dalam Pluralisme : Sebuah Diskursus Politik Pembebasan*
Eddie Riyadi Terre
Paradoks globalisasi dan politik internasionalisme adalah menguatnya politik identitas. Politik identitas berakar pada primordialisme. Primordialisme, mengikuti konsep polity Aristoteles, berarti “berperang ke luar” dan “konsolidasi ke dalam”. Karena itu, politik identitas selalu merayakan konflik baik bersiafat vis-à-vismaupun dialektik. Merayakan konflik berarti mendefinisi Diri (Self) sebagai Yang Sama dan Yang Lain. Yang Sama selalu bermakna mayor, sementara Yang Lain selalu bermakna minor. Itulah watak superior. Tetapi bisa juga sebaliknya, dan itulah watak inferior. Politik identitas selalu berada di rentang ketegangan antara superior dan inferior, antara Yang Sama dan Yang Lain, antara mayoritas dan minoritas. Politik identitas seolah menemukan kekuatannya dalam politik teori pluralisme. Dalam politik teori pluralisme, keberadaan minoritas berubah dari didiamkan dan dinafikan menjadi dipertanyakan sekaligus diperjuangkan.
Bahwa keberadaan minoritas itu faktual sudah tak dapat dipungkiri. Namun, bahwa “kesadaran” akan hal itu apakah setua keberadaannya, itu soal lain. Kesadaran yang dimaksud adalah kesadaran baik dari kelompok yang memandang dirinya minoritas, maupun dari kelompok yang mengakui keberadaan minoritas itu. Kesadaran untuk sebagian besarnya adalah kerja rasio. Rasiolah yang membuat kategori. Rasio tidak sekadar menyadari perbedaan, namun bahkan membuat perbedaan. Rasio juga yang menyadari kesamaan (dan juga kesetaraan), tetapi juga membuat kesamaan (dan kesetaraan). Rasio juga yang menyadari ketidakadilan (dan juga membuat ketidakadilan) dalam relasi kategorial itu.
Demikian juga pluralitas sebagai realitas tidak bisa dipungkiri. Memang, secara filosofis, banyak pemikir yang justru menolaknya. Parmenides adalah nenek moyang dari kaum monis itu, sementara Herakleitos persis berdiri di seberangnya. Hemat saya, tanpa memperpanjang debat abadi para pemikir itu, yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa dalam tataran praksis (etis) pluralitas dan perbedaan itu sangat tidak adil jika dinafikan. Sementara, penghargaan terhadap perbedaan itu dijamin oleh adanya semacam idealitas bersama akan hakikat dan martabat yang sama, sebuah pengakuan akan hakikat ontologis yang sama. Di sana akan terjadi perjumpaan, komunikasi-dialogis, dan empati. Inilah yang semestinya menjadi roh dari pluralisme.
Dengan kata lain, kesamaan hakikat ontologis itu hanya terjamin melalui pengakuan akan keberbedaan. Seorang wanita, saya perlakukan secara adil dengan menghargai keber-bedaannya dari saya, dan penghargaan itu didorong oleh adanya pengakuan tertinggi dalam diri saya bahwa secara ontologis dia adalah sama dengan saya. Tetapi kesamaan itu hanyalah sebuah asumsi hipotetis, sebuah keyakinan ontologis. Dengan itu, saya menghargai sang wanita sebagai “diriku yang lain” (alter ego). Kesamaan ontologis itu hanya bisa dicapai dengan menghargai keberbedaan itu, demikian juga penghargaan terhadap keberbedaan itu hanya bisa terjamin dengan adanya keyakinan akan kesamaan ontologis itu.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa diskursus tentang minoritas dan pluralisme ini menguat seiring lahirnya apa yang sering disebut sebagai “postmodernisme”. Boleh dibilang, justru dua hal itulah tema kunci yang diusung oleh postmodernisme. Postmodernisme, yang dalam diskursus resmi lahir sejak keluarnya buku J.F. Lyotard, The Postmodern Condition (1979),[1] menggugat keberadaan “narasi besar” (Grandnarrative) yang mengarah pada klaim-klaim universalitas, rasionalitas dan sentralisasi. Mengapa narasi? Lyotard menggambarkan relasi sosial manusia melalui konsep “narasi” yaitu cara bagaimana dunia dipresentasikan ke dalam pelbagai konsep, ide, gagasan, dan cerita lewat interpretasi terhadap dunia tersebut, yang membentuk “kesadaran kolektif” tentang sebuah dunia baik itu besar maupun kecil. Gugatan terhadap narasi besar atau pandangan dominan yang selain mengedepankan “universalitas” dan berwatak “totaliter”[2] terhadap dunia ini berarti mengizinkan tampilnya “narasi-narasi kecil”, yaitu narasi-narasi heterogen, yang diceritakan di dalam institusi-institusi lokal yang plural, dengan aturan main, keunikan dan determinasinya sendiri. Gugatan terhadap narasi besar di satu sisi dan pengakuan terhadap narasi kecil di sisi lain, dengan demikian, berarti pengakuan terhadap realitas plural. Pengakuan itu kemudian, ketika menjadi sebuah kesadaran rasional dan sebuah praksis, menjadi sebuah pandangan hidup. Itulah pluralisme.
Tulisan ini mencoba melihat posisi dan status minoritas dalam pluralisme. Di satu sisi tilikan terhadap posisinya ditempatkan dalam kerangka pluralitas, tetapi di sisi lain pluralisme menjadi pisau analitisnya. Analisis itu dibimbing oleh suatu semangat emanisipatoris, yang kita namakan politik pembebasan.
Pluralitas, Pluralisme dan Problemnya
Berbeda dengan pluralitas sebagai realitas faktual, pluralisme adalah soal realitas kesadaran akan realitas faktual itu. Kesadaran berarti cara pandang, cara hidup, dan idealitas serta pengakuan akan realitas itu. Dalam bahasa Richard J. Mouw dan Sandra Griffioen,[3] berbicara tentang pluralisme mestinya ditempatkan pada dua tataran: tataran deskriptif, yang sekadar mengakui keragaman dan tataran normatif-preskriptif yang tidak sekadar mengakui, tetapi juga mau memperjuangkan keragaman. Pada tataran deskriptif, pluralisme adalah fakta sosial yang tidak terelakkan, baik karena kondisi awal masyarakatnya sudah majemuk maupun karena proses pluralisasi kehidupan yang dibawa oleh arus modernisasi. Menurut Mouw dan Griffioen, pada tataran normatif-preskriptif, terdapat tiga ranah keragaman yaitu: konteks budaya (contextual pluralism), asosiasi-asosiasi kelembagaan (associational pluralism), dan sistem nilai yang memberi arahan pada kehidupan manusia (directional pluralism).[4]
Diskursus pluralisme yang menemukan gaungnya dalam bingkai postmodernisme bukannya tanpa masalah. Masalah itu berupa keprihatinan etis yang tersembunyi di balik teori-teori kaum postmodernis. Keprihatinan etis itu dapat diperiksa dalam dua kata kunci postmodernisme yang telah memprovokasi pluralisme dan pluralitas itu, yaitu : incommensurability dan the other.[5]
Yang dimaksudkan dengan incommensurability (ketaktersandingan), sebagaimana diperkenalkan pertama kali oleh Thomas Kuhn ke dalam publik akademis dalam kaitan dengan paradigma-paradigma yang berkompetisi dalam sains,[6] adalah bahwa masing-masing paradigma itu tidak bisa sepakat mengenai suatu hal. Pilihannya hanya antara bertahan, yang berarti membiarkan hal yang ditilik itu tetap dilihat secara berbeda sampai kapan pun, atau takluk pada lawannya.
Kalau masing-masing tetap mempertahankan pendiriannya, pluralitas memang dirayakan namun tak ada komunikasi, tak ada dialog, tak ada perjumpaan. Di sini tumbuh subur dua sikap ekstrem. Pertama adalah sikap tidak perduli sama sekali: silahkan Anda melakukan apa yang Anda suka dan anggap baik dan benar, saya juga demikian. Kedua adalah pertarungan kekuatan: di sini terjadi bahaya Hobbesian “bellum omnium contra omnes”, semua berperang melawan semua. Sikap ekstrem pertama tentu saja tidak manusiawi dan tidak etis,[7] sementara sikap ekstrem kedua justru melahirkan ketidakadilan dalam bentuk dominasi, hegemoni, dan opresi melalui situasi yang chaotic. Kemungkinan kedua adalah, sebagai varian dari sikap ekstrem kedua di atas, salah satu takluk secara sukarela pada yang lainnya. Baik pada sikap ekstrem kedua maupun kemungkinan penundukan sukarela, pluralitas yang dirayakan itu justru kemudian berakhir pada monisme, kebenaran tunggal. Irasionalitas pluralisme ini semakin berbahaya di tangan para pembela pandangan relativisme absolut yang sama tidak rasionalnya juga. Klaim relativisme absolut yang menafikan adanya suatu “kebenaran bersama” dengan mengatakan bahwa “kebenaran itu bersifat relatif” justru bersifat self-defeating: pernyataan itu menghancurkan dirinya sendiri.
Barangkali sebagai teori, pluralisme memang masih harus diperdebatkan secara serius. Yang jauh lebih penting untuk diangkat adalah keprihatinan etis yang berada di balik klaim-klaim pluralisme. Yang mau ditolak oleh klaim pluralisme adalah bahaya totaliter di balik klaim kebenaran tunggal Grandnarrative yang berwatak universal, netral, niscaya, objektif dan melampaui sejarah dan konteks. Karena itu, para pendukung pluralisme mengedepankan narasi-narasi kecil yang menghargai interpretasi yang berlainan. Di sinilah terletak pengakuan dan penghargaan terhadap Yang Lain (The Other). Inilah kata kunci kedua postmodernisme yang menyulut pluralisme itu.
Mengakui Yang Lain dalam keberlainannya, hemat saya, hanya terjamin sejauh Aku merasakan Yang Sama di dalam diri Yang Lain itu.[8] Berhadapan dengan Yang Lain sebagai “yang absolut lain” mendatangkan ketakutan, tetapi juga sikap altruistik yang narsis. Saya takut dengan ular, karena ular lain sekali dengan saya. Saya sayang dengan anjing peliharaan saya, meskipun ia lain sama sekali, tetapi anjing menjadi sarana pelampiasan naluri altruistik saya yang narsistik. Mencintai anjing peliharaan itu ekspresi narsisme yang hipokrit, karena saya mencintainya tanpa perlawanan darinya. Cinta tanpa perlawanan adalah bentuk hipokrit dari cinta diri yang berlebihan. Cinta narsistik ini kemudian di zaman modern ini bertransformasi menjadi cinta pada mainan. Cinta tanpa perlawanan. Jika sesama manusia dipandang sebagi Yang “Absolut” Lain, maka tidak akan ada juga perjumpaan dan komunikasi sejati. Yang adalah adalah ketakutan, dan karena itu kepedulian menjadi sesuatu yang tidak mungkin. Selain takut, juga ada hegemoni dan dominasi yang berangkat dari naluri altruistik-narsistik. Sang Aku (pria, misalnya) berada pada dua sikap ekstrem ketika berhadapan dengan wanita sebagai yang “absolut” lain: takut dan tidak peduli, atau mencintainya sepenuh hati tetapi dengan catatan tanpa perlawanan.
Karena itu, berbeda dengan kebanyakan para pemikir postmodernisme yang seolah-olah merayakan pluralisme dan disensus, dan menafikan sama sekali komunikasi dan konsensus, saya berpendirian bahwa “pengakuan terhadap Yang Lain hanya rasional dan etis sejauh Yang Lain itu dilihat sebagai diriku yang lain, alter ego”. Sebagaimana telah dikatakan pada bagian pengantar di atas, penghargaan terhadap perbedaan itu dijamin oleh adanya semacam idealitas bersama akan hakikat dan martabat yang sama, sebuah pengakuan akan hakikat ontologis yang sama. Di sana akan terjadi perjumpaan, komunikasi-dialogis, dan empati. Toleransi menjadi sesuatu yang inheren. Heterofobia, ketakutan akan yang lain, tereliminasi dari pentas sosialitas dan sosiabilitas manusia.
Posisi dan Status Minoritas dalam Pluralisme
Siapakah Minoritas? Dari kaca mata sosiologi, yang dimaksudkan dengan minoritas adalah kelompok-kelompok yang paling tidak memenuhi tiga gambaran berikut:[9] (1) anggotanya sangat tidak diuntungkan, sebagai akibat dari tindakan diskriminasi orang lain terhadap mereka; (2) anggotanya memiliki solidaritas kelompok dengan “rasa kepemilikan bersama”, dan mereka memandang dirinya sebagai “yang lain” sama sekali dari kelompok mayoritas; (3) biasanya secara fisik dan sosial terisolasi dari komunitas yang lebih besar.
Sementara dari kaca mata filsafat politik yang dibingkai dalam diskursus multikulturalisme – sejalan dengan tiga ranah pluralisme yang diajukan Mouw dan Griffioen pada tataran normatif-preskriptif – Will Kymlicka, dengan bertolak dari subjek hak yang bukan melulu individu sebagaimana menjadi arus utama dalam teori politik liberal melainkan kolektif, membagi kelompok minoritas atas tiga yaitu: (1) gerakan-gerakan sosial baru yang meliputi gerakan kaum homoseksual (gay dan lesbi), kaum miskin kota, para penyandang cacat, feminis, kelompok-kelompok atau aliran kepercayaan dan agama “baru”, dll; (2) minoritas-minoritas nasional yang meliputi suku-suku bangsa yang dulunya berdiri sendiri dan memiliki pemerintahan sendiri-sendiri namun kemudian melebur menjadi satu negara (dan “bangsa”); dan (3) kelompok-kelompok etnis yang meliputi kaum imigran yang meninggalkan komunitas nasionalnya di negeri asalnya dan masuk ke komunitas masyarakat lainnya yang mayoritas seperti etnis Tionghoa dan Arab di Indonesia, dll.[10]
Eksistensi ketiga kelompok ini membawa tuntutan masing-masingnya berupa hak spesifik, yaitu: hak untuk mendapatkan perwakilan khusus dalam lembaga politik bagi kelompok gerakan sosial baru; hak untuk menentukan nasib sendiri (right to self-determination atau self-government atau otonomi penuh) bagi minoritas nasional; dan hak-hak polietnis untuk tetap menghayati budaya dan keyakinan mereka yang dijamin oleh sistem hukum dan politik yang toleran. Di samping hak-hak spesifik tersebut, kelompok minoritas juga berhak untuk menikmati hak-hak mereka sebagai manusia (HAM) dan hak sebagai warga negara (dalam konteks politik), sama seperti kaum mayoritas.
Hemat saya, kategori dan pengelompokan minoritas yang berkembang hingga kini (sependek pengetahuan saya) lebih bersifat kuantitatif. Padahal yang jauh lebih penting, kendati sulit menentukan alat ukurnya, adalah pengelompokan yang bersifat kualitatif, selain kuantitatif. Sebagai misal, kaum perempuan yang secara kuantitaf merupakan mayoritas di negeri ini, secara kualitatif justru merupakan minoritas. Namun, meskipun demikian, hal itu tidak berarti bahwa keberadaan kelompok yang mungkin merasa belum termasuk di antara ketiganya tidak diakui. Pesan dari pegelompokkan dengan perspektif hak sosio-kultural dan sosio-politik ini adalah bahwa siapa pun dan apa pun kelompok minoritas itu, baik bertolok ukur kuantitatif maupun kualitatif, ia mempunyai hak baik sebagai individu maupun (terutama) sebagai kelompok. Penegasan ini menunjukkan status ontologis mereka sebagai Yang Lain dari Yang Sama namun tetap sama dengan Yang Sama itu. Namun, kesamaan status ontologis Yang Lain itu dengan Yang Sama tidak serta merta bermakna adanya perlakuan yang sama. Jika perlakuan yang sama malah berbuah ketidakadilan, maka perlakuan berbeda justru menjadi suatu tuntutan. Perlakuan berbeda yang dimaksud adalah perlakuan yang bersifat istimewa, mendahulukan, dan menguatkan. Suatu tindakan afirmasi (affirmative action)!
Karena itu, posisi minoritas dalam konstelasi sosial dan konfigurasi struktur politik, dengan diletakkan dalam bingkai pluralisme yang toleran dan komunikatif, harus tetap mengacu pada status ontologis mereka sebagai alter ego dari Yang Sama, tetapi tetap menghargai ke-Yang-Lain-annya.
Politik demokratis adalah politik yang memenuhi prinsip-prinsip etis. Prinsip etis mengedepankan otonomi dan kebebasan yang menjadi nyata dalam penghargaan terhadap pluralisme. Politik pluralisme adalah politik afirmasi dan keberpihakan pada yang lemah (preferential option for the poor).
Politik Pembebasan: Sebuah Catatan Penutup
Kita sudah mengikuti diskursus pluralisme secara epistemologis (analisis rasional), beserta posisi dan status minoritas di dalamnya. Juga sudah terselip keprihatian etis dan imbauan moralnya. Apakah masyarakat etis, adil dan toleran sudah dengan sendirinya tercipta? Jawabannya tidak. Yang diperlukan adalah praksis yaitu “tindakan politik”. Tindakan politik yang dimaksud adalah tindakan politik pembebasan.
Politik pembebasan, atau politik emansipasi, yang menimba inspirasinya pada Karl Marx, adalah “politik kesadaran”. Politik kesadaran berarti politik kritis yang siap menyingkap tabir-tabir ideologis di balik praktik-praktik penindasan dan totaliter, hegemoni dan dominasi. Politik kritis, yang merupakan implikasi praksis dari “Teori Kritis” Mazhab Frankfurt, berarti politik praksis. Politik praksis, berbeda dari pandangan umum, hemat saya merupakan politik wacana dan gerakan secara bersama-sama. Jadi, singkatnya, politik pembebasan atau emansipasi adalah politik kesadaran, adalah politik kritis, adalah politik praksis, adalah politik wacana dan gerakan secara bersama-sama.
Tidak ada jalan lain bagi pembebasan kaum minoritas dari hegemoni dan dominasi mayoritas selain melancarkan politik wacana yang kritis dan politik gerakan yang simultan tapi toleran. Intoleransi hanya berakibat pada irasionalitas dari gerakan itu sendiri. Toleransi beradab bertahta pada tindakan komunikasi yang dialogis dan emansipatoris. Semoga. (*)
Bahan Bacaan :
Paper ini dibuat khusus dan dipresentasikan pertama kali dalam Diskusi Bulanan Pluralisme dan Feminisme bertajuk “Perempuan, Politik Identitas dan Upaya Perdamaian dalam Kemajemukan”, dengan sub-tema “Posisi Minoritas dalam Pluralisme”, di Kapal Perempuan, Jakarta, 31 Agustus 2006.
a. [1] Lihat F.J. Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, Minnesota: The University of Minnesota, 1984 (diterjemahkan dari edisi aslinya dalam bahasa Perancis oleh Geoffrey Bennington dan Brian Massumi, dengan kata pengantar oleh Fredric Jameson, La Condition postmoderne: rapport sur le savoir, Les Editions de Minuit, 1979).
b. [2] Lihat Lyotard, ibid., hlm. 45.
c. [3] Richard J Mouw dan Sandra Griffioen, Pluralisms and Horizons: An Essay in Christian Public Philosophy, MI: Eerdmans Pub Co., 1993.
d. [4] Lihat pembagian kelompok minoritas menurut Will Kymlicka di bawah nanti.
e. [5] Untuk uraian analitik tentang dua konsep kunci ini dalam postmodernisme, silahkan baca F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003, Bab 12: “Pluralisme dan Komunikasi”, hlm. 197-199, yang merupakan parafrase dari uraian bernas Richard J. Bernstein, The New Constellation, The Ethical-Political Horizons of Modernity/Postmodernity, Cambridge: Polity Press, 1991.
f. [6] Lihat Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution, Chicago: Chicago University Press, 1970, hlm. 150.
g. [7] Dikatakan tidak manusiawi dalam arti tidak sesuai dengan hakikat sosial manusia, dan tidak etis karena manusia justru terpanggil melakukan kebaikan bagi sesama, pembenaran dirinya sebagai subjek etis terletak dalam praktik tanggung jawab etisnya.
h. [8] Penamaan “Yang Lain” dialamatkan oleh “Yang Sama”. Artinya, Yang Sama memandang dirinya mayoritas (baik kuantitatif maupun kualitatif), sementara yang dinamakan Yang Lain adalah kaum minoritas. Sebuah kelompok minoritas, katakanlah kaum lesbi di tengah masyarakat kita, akan menamakan sebagai Yang Lain juga kepada seorang perempuan bukan lesbi yang masuk ke dalam kelompok mereka. Dalam konteks itu, kaum lesbi telah memandang dirinya sebagai mayoritas terhadap perempuan bukan lesbi itu. Logika yang sama juga terjadi pada kasus-kasus lainnya: Ahmadiyah di tengah Islam mayoritas, seorang atau sekelompok Islam NU atau Muhamadiyah di tengah kelompok besar Ahmadiyah, dsb.
i. [9] Lihat Anthony Giddens, Sociology, second edition fully revised and updated, Cambridge: Polity Press, 1995, hlm. 253-254.
j. [10] Lihat Will Kymlicka, Kewargaan Multikultural, Jakarta: LP3ES, 2003 (terjemahan oleh Edlina Hafmini Eddin dari Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority, Oxford: Clarendon Press, 1996). Lihat juga Kata Pengantar dari F. Budi Hardiman, “Belajar dari Politik Multikulturalisme”, untuk edisi bahasa Indonesia buku tersebut.
Di Indonesia, pelajaran pluralisme memajukan budaya kedamaian
Para arsitek program ini berharap untuk menabur benih toleransi dan persaudaraan di tengah keragaman bangsa. (Oleh Okky David Feliantiar untuk Khabar Southeast Asia di Yogyakarta).
Indonesia diberkati dengan keragaman yang luar biasa, namun berkat itu juga merupakan sumber tantangan. Negara nusantara ini tertantang tidak hanya oleh beraneka ragam suku dan keyakinan agama, tetapi juga oleh geografinya yang luas, karena daerah-daerah terpencil telah terbukti menjadi lahan subur bagi pertumbuhan radikalisme.
• Para peserta dalam kursus pluralisme dan kewargaan yang pertama kalinya diadakan di Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta berpose untuk foto kelompok pada akhir program. [Okky D. Feliantiar/Khabar]
Tulisan Yang Berhubungan
• Pengalaman inspiratif bagi para guru muda
• Tidak diterima di Poso, militan mencari tempat baru
• Sebuah ucapan selamat hari raya yang lebih cepat dan mudah
• Penangkapan seorang putra mengejutkan keluarganya di Indonesia
Menyadari hal ini, Universitas Gadjah Mada, yang tertua di Indonesia, telah mulai menawarkan kursus singkat secara tahunan tentang pluralisme dan kewargaan melalui Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya. Sesi perdana berlangsung pada tanggal 11-23 Februari.
Kursus ini terbuka untuk para penggiat, pembuat kebijakan, guru dan peneliti dari mana saja di Indonesia "yang berkomitmen untuk mengembangkan dan menggabungkan teori serta praktek pluralisme" dalam pekerjaan mereka, menurut situs webnya. Orang-orang yang ikut mata pelajaran itu menerima beasiswa yang mencakup makanan, penginapan dan biaya perjalanan ke dan dari Yogyakarta.
Fransiskus Faimau, seorang guru dari Kefamenanu, Nusa Tenggara Timur, yang ikut serta dalam kursus tersebut, berkata hal ini akan berguna dalam pekerjaan dengan para muridnya. "Saya seorang guru di sebuah SMP, dan saya pikir program ini benar-benar berguna untuk mengatasi berbagai konflik lokal yang sering terjadi di daerah-daerah terpencil di Kefamenanu," kata Fransiskus kepada Khabar Southeast Asia. Sejarah Nusa Tenggara Timur adalah kompleks. Pada 1999-2001, setelah suatu referendum menciptakan negara merdeka Timor-Leste, ribuan pengungsi membanjiri Provinsi Timor Barat di Indonesia, memicu konflik atas tanah dan perairan, sementara para penduduk setempat memutuskan apakah mereka orang Timor atau Indonesia.
Fransiskus berharap bahwa lebih banyak orang dari Nusa Tenggara Timur dan daerah-daerah rawan konflik lainnya akan mengambil kursus ini. "Saya harap, saya bisa menerapkan apa yang telah saya pelajari bagi komunitas saya di Kefamenanu," tambahnya.
Advokasi multi budaya
Program ini bertujuan untuk mempertemukan orang-orang yang tinggal dan bekerja di tengah keragaman dengan akademisi yang mempelajarinya, dan untuk memperkuat kemampuan organisasi masyarakat sipil untuk memajukan dan melindungi pluralisme. Dua puluh sembilan orang dari berbagai wilayah di Indonesia, termasuk Aceh, Ambon, Sumatra Barat, Jawa, Nusa Tenggara Timur, Makasar (Sulawesi Selatan) dan Kalimantan, menghadiri kursus gelombang pertama.
Mustaghfirah Rahayu, dekan program ini, berharap mereka akan menggunakan apa yang mereka pelajari untuk mendidik orang-orang lainnya. Sebelum kelas dimulai, dia berkata, "para aktivis akan diundang untuk mempelajari cara melakukan penelitian yang benar mengenai advokasi multi budaya ... Mereka juga akan dilatih mengenai keterampilan advokasi untuk berbagai kasus pluralisme di Indonesia. Ketika mereka kembali dari sini, kami akan mengharapkan mereka memiliki kemampuan untuk memahami isu-isu pluralisme."
Dia menyebutkan contoh-contoh berbagai intoleransi agama, menyebutkan diskriminasi terhadap minoritas Syiah dan Ahmadiyah yang mengancam Indonesia. Para peserta kursus akan didorong untuk menggunakan kemampuan baru mereka untuk membela minoritas, katanya.
Menyebarkan berita :
Para peserta program ini bersemangat untuk membawa pulang apa yang mereka pelajari. Teuku Muhammad Jafar Sulaiman (dipanggil Jafar), manajer advokasi dan jaringan di The Aceh Institute tak jauh di luar Banda Aceh, mengatakan ia ingin meningkatkan toleransi beragama.
"Kami akan berjuang untuk penganut agama-agama selain Islam untuk membangun rumah ibadah di Aceh," katanya kepada Khabar. "Kursus ini akan membantu saya. Kursus ini memajukan pluralisme dalam pelaksanaannya."
Menurut Jafar, sejak Aceh menerapkan undang-undang otonomi khusus bersama dengan hukum Syariah, sulit untuk membangun rumah ibadah bagi agama-agama selain Islam.
"Saat ini di Aceh, sangat sulit untuk mendirikan gereja-gereja dan biara-biara," kata Jafar. Selly Widiyanti, warga asli Depok, Jawa Barat yang berusia 26 tahun dan merupakan mahasiswi pascasarjana Universitas Gadjah Mada, berkata bahwa program tersebut harus ditiru di universitas-universitas lain.
"Saya pikir generasi kita membutuhkan sebuah program seperti ini. Ini akan menghasilkan kesadaran akan isu-isu dan mendidik kita mengenai advokasi," katanya kepada Khabar. "Ya, saya telah melihat minoritas Syiah diserang di Jawa Barat, seperti juga gereja GKI-Yasmin, di mana para anggotanya tidak bisa berdoa di gereja mereka selama bertahun-tahun," jelasnya.
"Saya berharap jenis pendidikan seperti ini akan menghasilkan lebih banyak praktisi untuk menjembatani semua kesulitan dalam masyarakat kita," katanya.
Teori Humanisme Agama Vs Pluralisme Agama 2
Ketahuilah, egoisme kebenaran ada dua yaitu egoisme kebenaran relatif dan egoisme kebenaran mutlak. Aturan ini berlaku untuk semua agama.
Bagi agama Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah sangat menghargai perbedaan pada egoisme kebenaran relatif karena masalah furu’iyah (dalam intern Islam). Dan egoisme kebenaran mutlak adalah harga mati dan sesama agama tidak boleh beda. Contoh: orang Islam sepakat menganggap kafir orang agama lain dan agama lain sepakat menganggap kafir orang Islam. Harus perlu perhatikan, walau ada egoisme kebenaran relatif dalam hal-hal furu’iyah namun ini juga ada tingkatannya pula. Lebih baik mana, kalau ada kebenaran hasil ijma para mujtahid dengan kebenaran pribadi mujtahid? Dan ungkapan imam madzhab bahwa “bisa saja pendapat saya yang salah dan pendapat anda yang benar” adalah adab mujtahid untuk menghilangkan/mencegah hati sombong dan tidak bisa menjadi dasar untuk meragukan hasil ijtihadnya sendiri karena kebenaran ilmu adalah dengan keyakinan (bersifat ego).
Semua manusia termasuk Anda adalah egois. Dan keegoisan adalah hal fitrah yang bisa baik atau buruk. Maka kebenaran berdasarkan egois manusia hanyalah pemenuhan fitrah manusia yang punya ego dan tentunya untuk pemantapan keyakinan. Apapun pendapatnya, entah benar atau salah kalau sudah ego yang berbicara maka menjadi kebenaran kecuali ada faktor X yang merubah ego
Suatu ego ternyata hampa, hambar, tidak sadar seperti orang gila, tidak mengerti seperti anak kecil, dan liar seperti hewan liar. Maka dari itu, ego manusia itu mencari suatu ikatan hidup yang akan diyakininya sehingga masuklah pada hukum kesosialan yaitu agama (agama pada hakekatnya untuk manusia dalam bersosial walau nawaitunya ila robbi) yang sebagai ikatan keyakinan ego manusia termasuk Anda. Sekalipun orang itu ateis, anti agama, sekuler tetapi pada hakekatnya mereka tidak bisa lepas dari nilai-nilai agama khususnya pada Sang Pembuat Hukum Kesosialan.
Agama kebenaran sebagai aturan kesosialan pada hakekatnya hanya satu dan hakekat agama-agama lain hanyalah jelmaan baru karena sudah menyimpang dari jalan kebenaran. Terserah, agama apa yang menyimpang dan agama yang benar tergantung egoisme manusia yang meyakini.
Ingatah, agama apapun mengajarkan kebenaran ketuhanan dan utusan menurut perbedaan pandangan masing-masing ego penganut agama mengenai hakekat ketuhanan dan utusan.
Ingatlah, jangan lupakan masalah ego manusia dalam hal ini. Maka dengan ini, logikanya adalah sama-sama berdiri hidup tetapi arah penglihatan jalannya berbeda.
Bicara Islam maka hakekat kebenaran ketuhanan dan utusan adalah mempercayai bahwa hakekat Tuhan adalah Allah dan Nabi Mukhammad SAW adalah dasar arah jalan untuk kebenaran keyakinan ketuhanan dan utusan yang semua utusan memberikan khabar "dasar arah jalan kebenaran" Nabi Mukhammad SAW
Antara egois manusia dan kesosialannya serta agama yang memiliki peran penting pada keduanya maka dihimpunlah dalam wadah "Humanisme Agama". Humanisme Agama lebih kepada kebutuhan ego dan kesosialan manusia bersama agama dan Pluralisme Agama adalah lawannya yang perlu dihindari bahkan dimatikan.(Baca Tanya-Jawab Ilmu: Pluralisme Agama VS Humanisme Agama 1)
HE PLURALIST THEORY OF THE STATE (TEORI PLURALIS TENTANG NEGARA)
Oktober 17, 2010ilham76Tinggalkan KomentarGo to comments
Teori Pluralis Tentang Negara
“kedaulatan pluralis” menolak adanya kedaulatan tunggal “kedaulatan monistik” dan mutlak dalam negara. Negara dilihat sebagai suatu hubungan antara kelompok dengan kelompok yang lainnya, kelompok-kelompok tersebut harus mandiri (independent) dan membuat kebijakan tanpa kontrol dari negara (m ilham h, 2010)”
Tokoh : Léon Duguit, Hugo Krabbe, and Harold J. Laski
1. Permasalah Kedaulatan
Komponen yang penting dari argumentasi pluralis adalah serangan terhadap “kedaulatan monistik” yang terpusat. Dan, adanya pendapat bahwa diperlukannya penyebaran kewenangan dan kekuasaan untuk kelompok-kelompok. Teori pluralis ini adalah reksi terhadap pedapat Bodin, Hobbes, Austin dan sebagainya.
Bodin adalah orang pertama yang menggunakan istilah tersebut secara sistematis dalam pemikiran Eropa dan dapat dikatakan bahwa ia mengindentifikasikan hal tersebut dengan negara. Kedaulatan menyiratkan “kekuatan tertinggi atas warga negara tidak dibatasi (kebebasan) oleh hukum. Para pemikir absolutis menyatakan bahwa hal ini penting untuk setiap negara commonwealth untuk memiliki gagasan seperti itu. Bahkan, teori kedaulatan dinyatakan sebagai poros untuk teori absolut.
Dalam negara terdapat kedaulatan, sesuatu yang sifatnya alamiah mutlak, abadi, tak terpisahkan dan tidak dapat dicabut (dihilangkan). Pemenggang kekuasaan (yang berdaulat) -dasarnya kedaulatan absolutisme-, adalah sesuatu yang tertinggi di setiap Negara. Ini awalnya seseorang atau orang, memiliki sumber dari semua hukum dan otoritas. Jadi pemenggang kekuasaan (yang berdaulat) tidak dapat dilawan secara hukum. Perlawanan Hukum adalah sebuah kontradiksi, karena harus memiliki legitimasi dari yang berdaulat. Jadi raja berdaulat sering disebut sebagai hukum yang hidup.
Hobbes, Bodin dan Austin memiliki dasar argumen yang berbeda. Menurut Hobbes dalam pandangannya, menggambarkan kelompok sebagai ‘worms in the entrails’ dari tubuh politik. Grup (kelompok) dipandang sebagai kumpulan individu. Kelompok adalah entitas buatan, keberadaannya hanya sebagai konsesi (kerelaan) dari yang berdaulat. Mereka ada karena alasan kemauan dari yang berdaulat dan dapat dihentikan atas kemauan yang berdaulat pula. Ini hal logis dari kedaulatan terpusat. Meskipun variasi dan elaborasi, khususnya dengan kemajuan kedaulatan rakyat, pandangan kedaulatan monistik tetap mejadi diskusi pada abad kedelapan belas dan kesembilan belas.
Kedaulatan memberikan penjelasan tentang keutuhan yang diperlukan negara. Salah satu sarjana berpendapat, ‘Teori kedaulatan ini merupakan hasil dari kebutuhan untuk membernarkan beberapa teoritis dasar adanya persatuan (unity).” Dengan demikian teori kedaulatan adalah teori persatuan (unity). Adanya elaborasi (pembahasan – uraian yang panjang) dari dasar kedaulatan merupakan indikasi adanya kebutuhan untuk persatuan tersebut.
Gierke dan Figgis mengidentifikasi sumber dari prinsip kedaulatan dengan hukum Romawi. Doktrin ‘plenitude of power’ (plenitudo potestatis) diambilnya dari pemikiran Paus. Doktrin‘plenitude of power’ (plenitudo potestatis) diadaptasi oleh Paus untuk membenarkan klaim absolut mereka. Figgis mengutip Hobbes, mengatakan bahwa dalam Paus kita melihat ‘The ghost of the Roman Empire sitting crowned on its grave’. Untuk Figgis, Paus bisa mengatakanL’Eglise c’est moi merupakan kebenaran dari Louis XIV. Dan, Louis XIV bisa saja mengatakan dia adalah negara.
Pada perkembangnnya, lahir pemikiran pluralis, yang berlanjut hingga abad kedua puluh. Menurut pluralis, tidak menjadi permasalahan apakah negara demokratis, diperintah oleh Paus atau kedaulan absolut, jika kedaulatan dianggap sebagai hal mutlak dan indivisable, maka dapat merusak persatuan skala kecil. Menurut Figgis, The great Leviathan of Hobbes, the plenitude potestatis of the canonists, the arcana imperii, dan teori kedaulatan Austin, semua itu merupakan hal yang sama yakni kekuasaan takterbatas dan takterhingga yang diberikan oleh hukum di dalam Negara.
Pembahasan yang penting yakni terhadap pertanyaan mengapa pluralis menolak doktrin kedaulatan? Sepeti apa yang telah di jelaskan di atas. Jawaban atas pertanyaan ini sebenarnya cukup rumit dan kompleks, yakni :
1. Terutama, para pluralis menolak adanya ide kedaulatan hukum. inti dari masalah ini adalah bahwa Negara tidak menciptakan hukum. Pluralis keberatan adanya ide bahwa hukum dan hak hanyalah tidak lebih merupakan perintah yang berdaulat. Gierke berpendapat, dalam tradisi dan sejarah common-law yang kuat, individu bukan hanya sebagai manusia, tetapi individu sebagai anggota masyarakat (bangsa) yang hadir sebagai pembawa hak. Dan, hukum rakyat buka a law (sebuah hukum), tetapi the law(hukum yang sebenarnya). Hukum berasal dari kelompok masyarakat, bukan merupakan perintah dari yang berdaulat. Dengan demikian, negara terikat untuk menghormati kepribadian otonom dari setiap kelompok. Negara dapat mengakui dan mengesahkan hukum yang ada, tetapi tidak menciptakannya (de novo).
2. Pluralis menolak adanya kedaulatan politik, yaitu gagasan bahwa harus ada kekuasaan tunggal dalam setiap tatanan sosial yang menjadi acuan utama. Gagasan seperti ini menurut Laski sebagai hal yang tidak dapat dipertahankan. Karena adanya kukuatan sentran dalam setuap negara merupakan kenyataan yang palsu. Studi politik sering didominasi oleh mitos kontrol kekuasan pusat. Hal ini mengabaikan hak-hak yang melekat pada kelompok untuk menjadi mandiri. Dan, berakibat salah dalam memahami konsep kekuasaan.
3. Bahaya lain kedaulatan hukum dan politik adalah bahwa, dalam teori negara tertentu, mengarah pada klaim kedaulatan moral, di mana Negara dianggap sebagai perwujudan dari kebaikan semua warganya. Pluralis menolak gagasan kedaulatan moral. kedaulatan Moral mengandung arti bahwa individu-individu dan kelompok tidak bisa memiliki penilaian mandiri (independen) atas diri mereka sendiri, hal ini merusak kebebasan mereka. Kehidupan moral individu adalah madiri independen dari pemerintah.
Secara keseluruhan, menurut pluralisme bahwa kedaulatan monistik dipandang sebagai hal yang fiktif yang konsekuensi berbahaya jika dilakukan secara serius di bidang politik, hukum atau moral. Akan tetapi, pluralis tidak menganjurkan meninggalkan kedaulatan secara total (menyeluruh). Otoritas dapat muncul dalam banyaknya kelompok sosial. Pluralisme terdiri dalam pengakuan atas klaim kedaulatan kelompok lain selain Negara. Negara menurut pluralisme masih tetap ada, meskipun sifatnya perlu diperiksa dengan hati-hati.
Tidak mungkin ada keseragam yang akan diwakili oleh yang berdaulat. Manusia akan selalu dikaitkan dengan kelompok. Jadi pluralisme melihat keterwakilan yang tidak hanya fenomena individualistik, tetapi juga keterwakilan kelompok fungsional. Ini adalah dasar dari ide-ide mereka untuk mereformasi praktek-praktek demokratis. Dengan demikian jelaslah bahwa visi Rousseau kedaulatan rakyat “kedaulatan umum” adalah bertentangan dengan gagasan pluralistik kelompok. Pluralis menyarankan reorientasi demokrasi untuk mencerminkan kepentingan kelompok fungsional. Bahkan keterwakilan teritorial sendiri, yang menggap orang-orang dapat diwakili secara individual, menurut pluralis tidak cukup.
Cole mengatakan ‘Tidak ada kedaulatan universal dalam masyarakat, karena kumpulan individu yang membentuk masyarakat tidak dapat sepenuhnya diwakili oleh bentuk asosiasi. Untuk tujuan yang berbeda, mereka jatuh ke dalam kelompok yang berbeda, dan kedaulatan ada hanya dalam aksi dan interaksi kelompok-kelompok.
Namun demikian, sulit untuk memahami ide-ide didalam pluralis. Karena, pada titik tertentu ada keinginan kuat untuk meninggalkan hampir semua diskusi mengenai konsep kedaulatan. Namun, disisi lain terdapat aspek lain dari argumen pluralis, yakni tentang desentralisasi kekuasaan dan wewenang untuk kelompok. Desentralisasi ini sangat berhubungan dengan pengakuan kepribadian hukum dari kelompok. Kadang-kadang, pluralis berbicara tentang desentralisasi kedaulatan. Setiap kelompok terlihat memiliki status hukum sendiri secara independen. Akan tetapi terdapat permasalahan, bagaimana seluruh rangkaian kepentingan kelompok dibagi sama-sama tinggi? Di sisi lain, argumen kedaulatan plural tidak lebih masuk akal dari klaim kedaulatan rakyat. Apakah masuk akal mengklaim bahwa semua orang berdaulat dari serangkaian kelompok-kelompok?
2. Negara Pluralitas
Teori pluralis muncul dalam konteks penilaian negatif dari adanya teori monistik. Pluralis, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, mengkritik tentang gagasan kedaulatan, negara dan hukum. Hal ini sering melahirkan bahwa para pendukung teori pluralis tidak bisa memiliki teori Negara. Namun dalam kenyataannya para pendukung teori ini tidak sepenuhnya menolak Negara. Mereka mencoba melahirkan teori tentang ide Negara yang menggabungkan keanekaragaman maksimal kehidupan kelompok dan beberapa bentuk otoritas pusat.
Gierke misalnya, menyatakan bahwa Negara merupakan hal yang tertinggi dan paling inklusif di antara entitas kolektif, tidak berwujud tapi secara intelektual dikenali sebagai hal yang “nyata”, dimana eksistensi (keberadaannya) manusia sosial ditegakkan atas eksistensi individu. Baginya entitas kolektif adalah sesuatu yang abadi, hidup, sadar (rela), dan bertindak sebagai kesatuan yang dibentuk oleh seluruh rakyat. Negara, menurut Gierke, berbeda dengan asosiasi lain atau kelompok orang. Dengan kata lain, Gierke memikirkan negara sebagai hal yang berdaulat. Dia juga melihat adanya batas-batas antara kelompok dan Negara sangat fleksibel. Menurut Gierke masalah dan kompetensi otoritas politik akan selalu memproyeksikan diri ke dalam setiap bidang kehidupan sosial manusia. Para pendukung teori pluralis di Inggris tidak tidak berbeda jaug dengan pendapat Gierke, mereka menerima bahwa ada konsep pluralis Negara. Ada dua masalah utama dalam negara pluralis dalam teori.
1. Pertama, terlepas dari kesepakan para pendukung negara pluralis tentang pengertian kebebasan melalui kehidupan kelompok, kedaulatan jamak dan kepribadian kelompok, pluralis masih kurang tepat dalam terminologi mereka tentang Negara.
2. Kedua, para penganut prluralis berbeda dalam menentukan nial yang sebenarnya tentang apa yang dimaksud Negara.
Ketidakakuratan dalam terminologi yang dugunakan dalam konsep masyarakat, Negara dan pemerintah. Untuk beberapa pluralis, Negara tampaknya diarikan singkatan sebagai bagian pemerintah. Laski berpendapat, Teori negara pada dasarnya merupakan sebuah teori tindakan pemerintah. Hal penting dalam pandangan ini, Negara secara minimal dipahami dan diidentifikasi dengan lembaga-lembaga politik dan proses pemerintahan. Hal ini juga berbeda dari pengertian masyarakat. Masyarakat biasanya menunjukkan seluruh kumpulan kelompok fungsional yang terkait. Cole, membedakan “communit’ dengan “‘society”. Didalam negara “society berada pada communit”. “society”, adalah mekanisme kehendak umum, akan tetapi kehendak akan berada di “community”. Cole juga berbicara Negara hanyalah organisasi politik yang berbasis teritorial, politik mewakili warga negara secara keseluruhan.
Negara menurut padangan Figgis, dianggap sebagai “society of societies”. Negara, dipahami sebagai kolektivitas hidup kesatuan kelompok dalam sebuah entitas politik tunggal. Negara tidak setara dengan pemerintah. Negara merupakan kekuatan masyarakat dari seluruh kumpulan kelompok. Akan tetapi perlu diutarakan pula Figgis sendiri tidak sepenuhnya mejelaskan mengenai hal ini.
Kurangnya ketepatan bahasa tentang apa sebenarnya Negara. Kita dapat lihat pendapat Cole. Cole dalam karyaya, Self-government in Industry (1917), Negara didefinisikan sebagai “mesin politik pemerintah dalam masyarakat (the political machinery of government in a community). Seluruh kompleks institusi untuk aksi bersama dalam komunitas (community) adalah masyarakat. Menurutnya Negara adalah satu kumpulan dari banyak kelompok.
Laski, sepertihanya Cole, dalam tulisan-tulisan awalnya, negara kurang lebih diidentifikasi dengan mesin yang memerintah, tetapi perbedaannya adalah negara dilihat sebagai salah satu asosiasi di antara banyak asosiasilainnya. Negara tidak berbeda secara substansi dari sebuah serikat buruh atau Gereja. Kekuatan adalah pedekatan persuasi bukan pada kekerasan langsung. Kepribadian sesungguhnya dari sebuah kelompok menegasikan peran sentral untuk Negara. Teapi menurut Laski negara bukalnah kepribadian.
Laski berpendapat bahwa keinginan Negara tidak lebih dari sebuah kompetisi dari kehendak kelompok lain. Di lain waktu ia menunjukkan bahwa kehendak negara dibentuk oleh perjuangan yang terjadi antara persaingan kehendak. Laski curiga terhadap segala bentuk statisme yang terpusat dan birokrasi apakah itu Fabianism, Marxisme atau Liberalisme Baru (lihat Deane, 1955, hlm 59-72). Laski berpendapat bahwa esensi Negara adalah kemampuannya untuk menegakkan norma-norma dimana semua orang yang tinggal dalam batas-batasnya.
Pemikiran Figgis merupakan pemikiran yang paling dekat dengan ide Negara pluralis. Figgis menyatakan masalah utamanya sebagai hubungan komunitas-komunitas kecil “communitas communitatum” yang sebut negara. Untuk Figgis, tidak seperti Laski awal dan Cole, Negara berbeda dari semua jenis asosiasi atau kelompok. Figgis tidak benar-benar jelas apa yang dimasudnya, tetapi apa yang ia katakan adalah bahwa Negara harus dipahami dalam arti yang kompleks. Terutama, itu adalah sintesis dari kemauan hidup (synthesis of living wills).
Adalah penting untuk menyadari bahwa intrinsik entitas kolektif ini adalah pengakuan terhadap kelompok independen. Jadi tidak ada argumen yang dapat digunakan untuk membenarkan dominasi total pemerintah. Pemerintah juga tidak identik dengan Negara. Sebaliknya, Hobson berpendapat, ia membawa otoritas seluruh Negara pada tingkat tertinggi dan umum. Sistem total dari kehendak disalurkan ke dalam kehendak tunggal untuk mencegah ketidakadilan yang dilakukan oleh individu atau kelompok, untuk mengamankan hak-hak dasar, mengakui dan mengatur kelompok.
Figgis membayangkan Negara seperti menggabungkan, masyarakat, semua kelompok dan individu dalam suatu wilayah. Fokusnya akan muncul di lembaga-lembaga pemerintahan tertentu. Namun, yang merupakan kehendak Negara adalah pluralitas kelompok independen. Dapat dikatakan di sini bahwa Figgis mengakui bahwa Negara bisa dipahami dalam baik luas dan arti sempit. Ide yang luas adalah totalitas kelompok, yang “sintesis kemauan hidup” (synthesis of living wills), pemahaman sempit adalah fokus yang “sintesis dalam pemerintahan” (synthesis in government).
Negara pluralis tidak berdaulat dalam pengertian konvensional. Fungsi badan bukan untuk menjalankan kekuasaan, melainkan untuk mengawasi dan mengatur hubungan antara kelompok dan individu demi kepentingan keadilan, ketertiban dan kebebasan. Suatu Negara pluralis mewujudkan perdebatan kritik, terus-menerus dan kompromi antara kelompok-kelompok. Ini adalah asosiasi dari individu-individu, yang bersatu dalam berbagai kelompok masing-masing dengan hidup bersama, dalam sebuah kelompok lebih yang lanjut dan lebih tinggi dan lebih merangkul tujuan bersama’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar