Minggu, 15 Mei 2016


Mengenal Teori Komunikasi Antarbudaya Berdasar Tradisi Perspektif Ilmu Komunikasi A. Pendahuluan Menurut Gudykunst(1983), dalam tradisi ilmu komunikasi dikenal lima pendekatan teoritis yang dapat membantu kita dalam menelaah fenomena komunikasi antarbudaya: • Teori komunikasi berdasarkan analisis kebudayaan implisit; • Teori analisis kaidah peran; • Teori analisis interaksi antabudaya; • Teori yang bersumber dari tradisi retorika; • Teori yang bersumber pada teori sistem. Dari kelima pendekatan itu, hanya tiga pendekatan yang pertama dengan varian-variannya yang akan kita bahas dalam bab ini. 1. Teori Analisis Kebudayaan Implisit Kebudayaan Implisit, di sini diartikan sebagai kebudayaan imaterial, yaitu kebudayaan yang bentuknya tidak nampak sebagai suatu “benda” namun dia “tersirat” dalam nilai dan norma budaya suatu masyarakat, misalnya bahasa. Setiap manusia telah menjadikan bahasa sebagai kebudayaan implisit tersebut untuk mengungkapkan skema kognitifnya. Yang dimaksud dengan skema kognitif di sini adalah skema pikiran, gagasan, pandangan dan pengalaman manusia tentang dunia. Manusia memakai bahasa untuk berkomunikasi guna mempertahankan hubungan antarpribadi maupun hubungan antarpribadi dengan suatu institusi dalam masyarakat. Dalam bahasa itu simbol-simbol verbal dengan suatu aturan tertentu diorganisasikan menjadi “kode-kode sosio-linguistik”. Kode-kode sosio-linguistik inilah yang nantinya akan menjadi karakteristik utama suatu masyarakat dengan budaya lisan. Ini artinya, kode linguistik menjadi bagian dari kebudayaan, sehingga logislah jika kode-kode itu juga dipengaruhi oleh kebudayaan yang pada akhirnya menjelma menjadi bahasa verbal. Para ahli sosio-linguistiklah yang pada mulanya tertarik untuk menelaah komunikasi antarbudaya dengan pendekatan bahasa. Frake (1968) misalnya, pernah meneliti tentang hubungan antara kebudayaan dengan cara anggota kebudayaan itu membentuk kata-kata. Dia menyimpulkan, bahwa setiap kata pasti mewakili konsep tertentu dan konsep itu merupakan skema kognitif individu. Dia juga menerangkan bahwa struktur skema kognitif individu, yang tercermin dalam komunikasi lewat bahasa, berasal dari dan dipengaruhi oleh latar belakang kebudayaan tertentu, dalam hal ini kebudayaan implisit-nya. Seorang peneliti lain, yakni Halliday (1978), berpendapat bahwa bahasa merupakan satu alat yang terbaik untuk mengkonseptualisasikan semua ikhwal tentang dunia secara objektif. Halliday melakukan penelitian tentang fungsi bahasa yang kemudian sampai pada kesimpulan bahwa fungsi utama bahasa berkaitan dengan pilihan strategi tindakan manusia. Menurutnya ada beberapa fungsi utama bahasa yang dapat dipakai sebagai pedoman di dalam tindakan manusia,di antaranya adalah fungsi : pribadi, kontrol, referensial, imajinatif, dan manajemen identitas. Fungsi pribadi di sini nampak dalam tindakan mengelaborasi perasaan subjektif, motif, kebutuhan, perspektif negosiasi, atau perundingan. Fungsi kontrol dapat terekspresi dalam mempengaruhi cara orang berfikir dan bertindak. Fungsi referensial mengambarkan objek dan relasi objektif antara manusia dengan dunia luar. Fungsi imajinatif terlihat dari kemampuan suatu bahasa dalam menciptakan cara-cara baru melihat dunia luar. Fungsi manajemen identitas terlihat dari kemampuan bahasa untuk menciptakan identitas individu. Hasil penelitian lain tentang bahasa dalam kasus-kasus komunikasi lintas budaya menunjukkan bahwa pemerkayaan bahasa mampu memperluas pemahaman terhadap struktur objek kebudayaan,tipe-tipe strategi tindakan manusia dalam konteks komunikasi antarbudaya. Menutup catatan kita tentang teori analisis kebudayaan implisit ini dapat kita garis bawahi bahwa pendekatan kebudayaan implisit memuat beberapa asumsi dasar yaitu : • Bahwa kebudayaan mempengaruhi skema kognitif; • Kebudayaan mempengaruhi organisasi tujuan dan strategi tindakan; • Kebudayaan mempengaruhi pengorganisasian skema interaksi; dan • Kebudayaan mempengaruhi proses komunikasi. 2. Teori Analisis Kaidah Peran Selain terdapat berbagai versi aplikasi teori kaidah peran, dalam berbagai literatur komunikasi yang membahas tentang kaidah peranpun telah mendefinisikan konsep kaidah peran ini secara beragam. Namun secara umum konsep kaidah peran ini dapat digambarkan sebagai berikut : bahwa setiap peran manusia mempunyai “kaidah peran” tertentu sehingga satu peran akan diikuti oleh peran lain, satu perilaku akan diikuti oleh perilaku lain (Rom Harre dalam Pearce 1976). Misalnya, jika terjadi X maka orang biasanya akan melakukan Y, oleh karena itu orang akan mempunyai peluang melakukan Y.Akibatnya kita dapat meramalkan bentuk-bentuk perilaku individu. Berikut ini beberapa contoh penelitian yang mendasarkan pada teori kaidah peran dan dipakai dalam konteks komunikasi antarbudaya : Penelitian Ekman dan Friesen terhadap beberapa kelompok budaya menunjukkan bahwaperanan ekspresi wajah menggambarkan emosi yang selalu berubah secara teratur. Perubahan-perubahan itu memberikan informasi tentang tingkat emosi manusia. Morris dkk, dalam Pierce (1976), yang meneliti makna mimik komunikasi lintas budaya juga mendapati bahwa setiap perilaku gerakan tubuh mengikuti pola yang teratur. Dia juga menemukan ada perbedaan makna gerakan tubuh antarbudaya. Kesimpulan Morris, perilaku non-verbal antarbudaya mempunyai regularitas tertentu di mana satu perilaku diikuti oleh perilaku yang lain. Penelitian tentang kaidah peran oleh Cushman dan Pearce (dalam Pierce 1976), menunjukkan bahwa kaidah peran ternyata juga membentuk perilaku.Mereka menyimpulkan bahwa pelaku(kaidah peran) sadar bahwa yang ia lakukan pasti mempunyai dampak tertentu.Jadi misalkan, Si A menginginkan Y.Si A tahu bahwa dia harus melakukan X kalau mau dapat Y.Karena itu si A menyiapkan tindakan tertentu untuk mendapatkan Y. 3. Teori Analisis Interaksi Antarbudaya Di bawah payung teori analisis interaksi antarbudaya terdapat beberapa pendekatan yang sering digunakan : a) Pendekatan jaringan metateoritikal; b) Teori pertukaran; c) Teori pengurangan tingkat ketidakpuasan; d) Pendekatan psikologi humanistik; e) Pendekatan etnografi dan deskripsi kaidah peran; f) Pendekatan adaptif; Coordinated Management of Meaning/CMM Approach. (1) Pendekatan jaringan metateoritikal Teori ini memfokuskan pada tema hubungan antarpribadi dengan tekanan utama pertentangan atau ketegangan mental akibat individu yang mempertahankan “prinsip otonomi pribadi ”dengan “ ketergantungan antarpribadi”. Pada mulanya teori ini memang berawal dari kajian para ahli psikologi. Bohcner (1967) misalnya, pernah meneliti tentang persaingan individu dalam sebuah organisasi. Ia menemukan, bahwa ketegangan individu dapat dijelaskan dengan melihat sifat hubungan antarpribadi para karyawan.Bila hubungan antarpribadi “tertutup”, maka tiap karyawan akan merasa tegang.Sebaliknya, semakin “terbuka”, maka ketegangan mereka akan berkurang. Ernest Becker(1971) meneliti tentang hubungan antara otonomi pribadi dengan ketergantungan pada sesama. Becker menemukan semacam paradoks otonomi individu. Proses ini bermula sejak anak-anak yang dalam pendidikan dalam keluarganya senantiasa diliputi oleh larangan ini dan itu. Pada mulanya, si anak akan melanggar kontrol orang tuanya, namun kemudian anak tersebut sampai pada titik di mana dia selalu ragu-ragu dalam bertindak. Akhirnya, setiap kali akan melakukan sesuatu anak tersebut berada pada dilema antara mempertahankan otonomi individu atau bergantung pada orang tuanya. Dialektika seperti ini akan terbawa sampai dewasa dan menentukan daya kontrol terhadap relasi antarpribadi. Bagaimana teori ini ketika diterapkan dalam komunikasi antarbudaya? Lewat konstruksi teori yang kita pahami di atas maka kita bisa menganalisis tindakan komunikasi dengan memperhatikan pada tingkat mana individu memiliki otonomi dan pada tingkat mana individu masih bergantung pada orang lain. Artinya dua faktor di atas menjadi variabel-variabel yang juga mempengaruhi komunikasi antarbudaya. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan dengan pendekatan di atas menemukan bahwa dalam kebudayaan Barat, yang mempunyai struktur kaidah relasi antarpribadi yang ketat sangat mempengaruhi derajad relasi, yakni relasi yang sangat terbatas dan tertutup. Hal itu nampak dalam frekuensi komunikasi dan tingkat pertukaran informasi antarpribadi. Data-data dari berbagai hubungan antarbudaya menunjukkan bahwa orang Amerika berkulit hitam lebih membutuhkan informasi tentang kelanjutan hubungan daripada orang Amerika kulit putih. Kesimpulan dari pendekatan metateoritikal ini adalah bahwa nilai-nilai kebudayaan suatu masyarakat sangat menentukan otonomi individu, ketergantungan individu dengan orang lain dalam rangka menciptakan derajad hubungan antarpribadi. (2) Teori Pertukaran Teori pertukaran atau exchange theory, pada mulanya dikembangkan oleh para peneliti sosiologi. Thibaut dan Kellylah (dalam Liliweri,1991) yang mengembangkan teori ini. Inti teori ini mengatakan bahwa hubungan antarpribadi bisa diteruskan dan dihentikan. Hal ini dikarenakan dalam perkembangan hubungan antarpribadi, setiap orang mempunyai penga-laman tertentu sehingga dia dapat membandingkan faktor-faktor motivasi dan sasaran hubungan antarpribadi yang dilakukan di antara beberapa orang. Makin besar keuntungan yang diperoleh dari hubungan antarpribadi, makin besar peluang hubungan tersebut diteruskan. Begitu juga sebaliknya. Wood (1982) mengidentifikasi 12 karakeristik pendekatan pertukaran tersebut : 1) Prinsip Individual Komunikasi memasuki tahap awal. Antara individu yang memprakarsai hubungan antarpribadi berharap kualitas hubungan meningkat. Apabila memburuk maka hubungan antarpribadi dihentikan. 2) Komunikasi coba-coba Tiap individu melakukan uji coba dalam hubungan antarpribadi dengan cara mencari informasi di antara masing-masing pihak. Apakah hubungan akan berlanjut bergantung pada informasi yang diperoleh,apakah informasi itu dapat meningkatkan loyalitas hubungan atau justru menambah keragu-raguan. 3) Komunikasi eksplorasi Hampir sama dengan komunikasi coba-coba hanya saja sifatnya lebih mendalam. Informasi dari berbagai sumber digali makin dalam.Individu yang terlibat di sini akan meneliti ulang tiap informasi yang didapatkan dan tidak begitu mudah mengambil keputusan. 4) Komunikasi ephoria Di sini, masing-masing individu sudah meleburkan kepentingan yang berbeda dan membentuk suatu hubunganbaru atas dasar yang sama. Fungsi komunikasi tahap ini : (1) Mengubah individu dari suatu peran sosial ke peran sosial yang baru dan menjadikan peran baru itu sebagai dasar hubungan yang baru; (2) Membiarkan dasar hubungan yang sudah disepakati berlangsung terus; (3) Memberikan informasi tentang pribadi kepada partisipan komunikasi; (4) Membiarkan empaty dengan mengambil peran komunikan, 5) Komunikasi yang memperbaiki. Pada tahap ini komunikasi berfungsi memperbaiki dan mengevaluasi kembali hubungan antarpribadi, keputusan yang diambil biasanya adalah terus melanjutkan hubungan antarpribadi. 6) Komunikasi pertalian. Dua pihak menetapkan bersama waktu dan tempat kesinambungan komunikasi. 7) Komunikasi sebagai pengemudi. Tahap ini ditandai dengan tahap keluwesan kontrol atas kebiasaan-kebiasaan hubungan antarpribadi. Daya kontrol telah tercipta sedemikian rupa sehingga menghasilkan kaidah peran bersama. 8) Komunikasi yang membedakan. Ini adalah tahap di mana individu justru kembali berusaha menekan karakteristik individu. Individu kembali menegaskan perbedaan-perbnedaan pola kebudayaan dan kemudian meneruskan relasi dengan cara lain. 9) Komunikasi yang disintegratif. Komunikasi mulai menemukan titik-titik perbedaan antar pribadi sehingga berpotensi munculnya disintegrasi. Dua pihak mulai mengingkari budaya masing-masing, kaidah-kaidah relasi mulai di rusak sehingga derajad hubungan diperenggang. Komunikasi antarpribadi hanya berlangsung kalau menyangkut tema-tema tertentu, jarak sosial antarpribadi semakin besar. 10) Komunikasi yang macet. Komunikasi masuk pada tahap di mana masing-masing pihak mencari peluang dengan menciptakan masalah dan waktu/kesempatan yang cocok agar hubungan antarpribadi dihentikan. Relasi antarpribadi hanya akan berlangsung pada konteks-konteks yang benar-benar pribadi. 11) Pengakhiran Komunikasi. Hubungan antar pribadi memasuki tahap perundingan tentang perhentian interaksi antarpribadi. 12) Individualis. Komunikasi memasuki tahap akhir, di mana suasana hubungan antarpribadi tidak pasti, masing-masing pihak menyendiri dan tidak tahu dari mana komunikasi harus dimulai. (3) Teori Pengurangan Tingkat Ketidakpuasan Teori ini dikembangkan oleh Berger (1982). Dia mengemukakan bahwa salah satu fungsi komunikasi adalah fungsi mencari informasi dalam upaya mengurangi tingkat ketidak-puasan komunikator dan komunikan. Menurut Berger, setiap individu berkomunikiasi antarpribadi hanya untuk mendapatkan kepastian.Kepastian membuat seorang individu merasa yakin dan percaya kepada sesama. Keinginan untuk mencari kepastian ini makin kuat ketika : a) Perilaku pihak lain menyimpang dari kebiasaan umum; b) Kita mengantisipasi perulangan interaksi; dan c) Ada peluang untuk memperoleh ganjaran dan hukuman dari pihak lain. Berger mengajukan strategi mencari informasi agar individu mengurangi tingkat ketidakpuasan tentang pihak lain: 1) Mengamati pihak lain secara pasif; 2) Menyelidiki atau menelusuri pihak lain; 3) Menanyakan informasi melalui pihak ketiga; 4) Penanganan lingkungan terhadap pihak lain; 5) Interogasi ; 6) Membuka diri . Teori ini telah begitu sering diterapkan ke dalam strategi komunikasi antarbudaya, misalnya untuk menyusun strategi mengurangi tingkat ketidakpastian dalam hubungan antara individu-individu yang saling beda kebudayaan atau bangsanya. (4) Pendekatan Psikologi Humanistik Teori atau pendekatan psikologi humanistik senantiasa menekankan bahwa jika setiap pribadi dari berbagai budaya yang berbeda membuka pribadinya bagi sesama maka dia pun akan dikenal dan mengenal sesama. Beberapa penelitian tentang “keterbukaan” pernah dilakukan, di antaranya oleh Park (dalam Gudykunst), Walter Kaufman(1980), McNamee (1980), kemudian Cissna dan Sieberg, Harris dkk (dalam Gudykunst). Penelitian-penelitian tersebut menemukan bahwa pada umumnya setiap individu selalu berusaha membuka diri, derajad keterbukaan pribadi itu dipengaruhi oleh siatuasi dan kondisi, waktu dan kesempatan, siapa yang dijadikan objek relasi, jenis media yang dipilih dan lain-lain. Sebuah teori lain yang mirip dengan ini dikemukakan oleh Johari yang kemudian dikenal dengan teori self disclosure atau sering disebut teori “Johari Window”. Asumsi dasar teori ini mengatakan kalau setiap individu bisa memahami diri sendiri maka dia bisa mengendalikan sikap dan tingkah lakunya di saat berhubungan dengan orang lain. (5) Pendekatan peran berdasarkan deskripsi etnis Teori ini dirumuskan di antaranya oleh Wallace (1961) yang mengatakan bahwa komunikasi antarpribadi ditentukan oleh pendekatan peran berdasarkan deskripsi etnografi. Teori ini masih dekat dengan teori/pendekatan metateoritikal yang berbicara soal otonomi individu dan ketergantungan antarpribadi. Bila diterapkan dalam konteks komunikasi antarbudaya maka pertanyaan inti pendekatan peran berasarkan deskripsi etografi ini adalah, apakah setiap norma kelompok etnik memberikan peluang terbentuknya otonomi individu dan ketergantungan pribadi. Dalam suatu masyarakat arkais, tingkat otonomi individunya kecil sehingga deskripsi etnografi masyarakat arkais senantiasa digambarkan memiliki sikap kolektif. Dan ketika jumlah masyarakat arkais telah berkurang atau nilai-nilai kolektivitas pada masyarakat tersebut memudar maka terjadi kecenderungan meningkatnya tingkat otonomi individu. Faktor terakhir inilah yang sangat mempengaruhi hubungan antarbudaya, karena itu kita memerlukan deskripsi etnografi yang mendalam terhadap individu. (6) Pendekatan adaptasi Teori ini diperkenalkan oleh Ellingwoorth (dalam Gudykunst 1983), dia mengatakan bahwa setiap individu dikaruniai kemampuan untuk beradaptasi antarpribadi. Adaptasi nilai dan norma antarpribadi termasuk antarbudaya sangat ditentukan oleh dua faktor, yakni pilihan untuk mengadaptasi nilai dan norma yang fungsional atau mendukung hubungan antarpribadi. Atau nilai dan norma yang disfungsional atau tidak mendukung hubungan antarpribadi. Beberapa penelitian Ellingworth berkisar pada pertukaran nilai yang diinformasikan melalui perilaku pesan verbal dan non-verbal. Pendekatan ini banyak diadopsi dalam komunikasi antarbudaya di negara-negara berkembang. (7) Pendekatan Manajemen Koordinasi Makna Teori ini mengkhususkan diri pada “metapora pesan” dan diperkenalkan oleh Pearce dan Cronen (dalam Gudykunst, 1983). Pendekatan ini mengajukan beberapa argumentasi sebagai berikut : Bahwa hubungan antara pola-pola komunikasi akan dinilai berkualitas tinggi kalau hubungan itu dilakukan pada konteks hubungan antarpribadi yang dilandasi oleh konsep diri (self concept) atau konsep kebudayaan sendiri (self culture). Asumsinya, semua tindakan menghasilkan konteks dan konteks menghasilkan tindakan. Terdapat lima tingkat konteks dalam pendekatan manajemen koordinasi makna : a. Konteks perilaku verbal dan Nonverbal, diasumsikan bahwa pesan yang ditukar oleh mereka yang terlibat dalam komunikasi antarpribadi selalu memilih konteks yang sesuai dengan penerapan pesan verbal dan nonverbal. b. Konteks Aktivitas Komunikasi Verbal, konteks ini selalu dikaitkan dengan tingkat pemahaman bersama atas makna. c. Konteks Episode, konteks ini selalu menggambarkan situasi yang memudahkan penampilan dan pengembangan pola-pola perilaku timbal balik yang secara teratur di terima. d. Konteks Relationship, adalah konteks yang menggambarkan situasi bentuk sosial antara dua orang atau lebih. e. Konteks Life Scripting, adalah konteks yang mementingkan penghayatan atas “konsep diri” dalam pelbagai tindakan relasi antarpribadi. f. Konteks Pola-pola Budaya, konteks yang memberi kemungkinan individu untuk mengetahui dan memilih tindakan dan makna relasi antarpribadi yang diterima oleh masyarakat secara kolektif. Referensi : • Berger & Chaffee (Eds) Handbook of Communication Science. Beverly Hills, Calivornia: Sage,1987 • Gudykunst,William B.(Ed) “Intercultural Communication Theory “ Beverly Hills, California : Sage Publications, 1983 • Liliweri, Alo. Gatra-gatra Komunikasi Antarbudaya,Pustaka Pelajar,Yogyakarta, 2001 Teori Etnosentrisme Masyarakat majemuk yang memiliki latarkebudayaan yang berbeda akan selalu menghadapi masalah etnosentrisme. Perbedaan itu merupakan akibat dari perbedaan folkways yang dimiliki. Keberbedaan ini dapat memicu adanya perpecahan yang mengarah ke disintegrasi antarbudaya. Hal inilah yang kemudian dirasa perlu untuk mempelajari lebih dalam tentang makna-makna yang sama dalam memahami setiap pesan dalam komunikasi antarbudaya. 1. Konteks Historis Istilah antarbudaya pertama kali diperkenalkan oleh Edward T. Hall pada tahun 1959 dalam bukunya The Silent Language. Perbedaan antarbudaya dalam berkomunikasi baru dijelaskan oleh David K. Berlo (1960) melalui bukunya “The Process of Communication” (an introduction to theory and practice). Barlo (1960) menggambarkan proses komunikasi dalam model yang diciptakannya. Menurutnya, komunikasi akan tercapai jika kita memperhatikan faktor-faktor SMCR (Sources, Message, Channel, and Receiver). Antara sources dengan receiver yang diperhatikan adalah kemampuan berkomunikasi, sikap, pengetahuan sistem sosial, dan kebudaayaan. Namun, dalam hal ini, komunikasi antarbudaya yang dijelaskan melalui teori etnosentrisme ini berbasis pada konteks komunikasi kelompok (etnik). Rumusan objek formal komunikasi antarbudaya baru dipikirkan pada 1970-1980-an. Pada saat yang sama, para ahli ilmu sosial sedang sibuk membahas komunikasi internasional yang disponsori oleh Speech Communication Associaton, sebuah komisi yang merupakan bagian Asosiasi Komunikasi Internasional dan Antarbudaya yang berpusat di Amerika Serikat. “Annual” tentang komunikasi antarbudaya yang disponsori oleh badan itu terbit pertama kali pada 1974 oleh Fred Casmir dalam The International and Intercultural Communication Annual. Kemudian Landis menguatkan konsep komunikasi antarbudaya dalam Internaional Journal of Intercultural Relations pada 1977. Pada tahun 1979 Molefi Asante, Cecil Blake dan Eileen Newmark menerbitkan sebuah buku yang membicarakan komunikasi antarbudaya, yakni The Handbook of Intercultural Communication. Sejak itu banyak ahli mulai melakukan studi tentang komunikasi antarbudaya, misalnya penelitian Asante dan kawan-kawan pada 1980-an. Akhir tahun 1983, terbitlah International dan Intercultural Communication Annual yang dalam setiap volumenya mulai menempatkan rubrik khusus untuk menampung tulisan tentang komunikasi antarbudaya. Tema pertama tentang “Teori Komunikasi Antarbudaya” diluncurkan tahun 1983 oleh Gundykunst, disusul tahun 1988 oleh Kim dan Gundykunst, sedangkan tema metode penelitian ditulis oleh Gundykunst dan Kim tahun 1984.Edisi lain tentang komunikasi, kebudayaan, proses kerjasama antarbudaya ditulis pula oleh Gundykunst, Stewart, dan Tim Toomey tahun 1985, komunikasi antaretnik oleh Kim tahun 1986, adaptasi lintas budaya oleh Kim dan Gundykust tahun 1988, dan terakhir komunikasi/bahasa dan kebudayaan oleh Ting Toomey dan Korzenny tahun 1988. Pada tahun 1990-an, studi-studi komunikasi antarbudaya diperluas meliputi pula studi komunikasi antarbangsa, misalnya Penelitian Komunikasi Kemanusiaan, Monograf Komunikasi, Jurnal Komunikasi, Jurnal Komunikasi Internasional dan Relasi Antarbudaya, Jurnal Studi tentang Orang Kulit Hitam, dan Jurnal Bahasa dan Psikologi Sosial. Mc Luhan merupakan orang pertama yang memberikan tekanan ulasan pada hubungan komunikasi antarbangsa karena melihat adanya gejala ketergantungan antarbangsa. Dari gagasannya, muncullah konsep “Tatanan Komunikasi dan Informasi Dunia baru” yang mempengaruhi perkembangan sejumlah penelitian tentang perbedaan budaya antaretnik, rasial, dan golongan di semua bangsa. Faktor-faktor tersebut memantik pesatnya perkembangan teori dan penelitian yang berkaitan dengan komunikasi antarbudaya. 2. Metateori Komunikasi Antarbudaya Ada banyak cara memetakan suatu kajian komunikasi antarbudaya. Kajian tersebut dijelaskan dalam pelbagai teori yang tidak hanya berasal dari teori yang pernah dikaji sebelumnya, tetapi juga dari disiplin ilmu sosial lainnya. Teori-teori yang dipinjam dari ilmu-ilmu sosial lainya itu tentunya yang mirip dan bisa menjelaskan proses sosial yang dialami manusia. Tinjauan ini akan dimulaidengan perspektif psikologis dan sosiologi untuk menerangkan masyarakat majemuk. Herbert Spencer dianggap sebgai orang pemula yang memperkenalkan perspektif evolusi dalam menerangkan perkembangan suatu masyarakat. 3. Konsep Penting dalam Komunikasi Antarbudaya a. Kebudayaan Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan simbol, pemaknaan, dan penggam-baran (imej), struktur aturan, kebiasaan, nilai, pemrosesan informasi, dan pengalihan pola-pola konvensi antara para anggota suatu sistem sosial dan kelomppok sosial. b. Etnosentrisme Konsep etnosentrisme seringkali dipakai secara bersama-sama dengan rasisme. Konsep ini mewakili sebuah pengertian bahwa setiap kelompok etnik atau ras mempunyai semangat bahwa kelompoknyalah yang lebih superior dari kelompok lain. c. Prasangka Prasangka adalah sikap antipati yang didasarkan pada kesalahan generalisasi ataua generalisasi yang tidak luwes yang diekspresikan lewat perasaan. Prasangka merupakan sikap negatif atas suatu kelompok tertentu dengan tanpa alasan dan pengetahuan atas seseuatu sebelumnya. Prasangka ini juga terkadang digunakan untk mengevaluasi sesuatu tanpa adanya argument atau informasi yang masuk. Efeknya adalah menjadikan orang lain sebagai sasaran, misalnya mengkambinghitamkan sasaran melalui streotip, diskriminasi, dan penciptaan jarak sosial (Bennet da Janet, 1996). d. Streotip Streotip berasal dari kecenderungan untuk mengorganisasikan sejumlah fenomena yang sama atau sejenis yang dimiliki oleh sekelompok orang ke dalam kategori tertentu yang bermakna. Streotip berkaitan dengan konstruksi imej yang telah ada dan terbentuk secara turun-temurun menurut sugesti. Ia tidak hanya mengacu pada imej negatif tetapi juga positif. Misalnya masyarakat Batak yang memiliki streotip yang kasar dan tegas sedangkan masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang luwes, lemah-lembut, dan penurut. 4. Teori Pendukung : 1) Teori Pertukaran; 2) Teori Pengurangan Tingkat Ketidakpastian; 3) Teori Analisis Kaidah Peran; 4) Teori Analisis Interaksi Antarbudaya; 5) Teori Analisis Kebudayaan Implisit. 5. Teori Etnosentrisme William Graham Sumner menilai bahwa masyarakat tetap memiliki sifat heterogen ( pengikut aliran evolusi). Menurut Sumner (1906), manusia pada dasarnya seorang yang individualis yang cenderung mengikuti naluri biologis mementingkan diri sendiri sehingga menghasilkan hubungan di antara manusia yang bersifat antagonistic (pertentangan yang menceraiberaikan). Agar pertentangan dapat dicegah maka perlu adanya folkways yang bersumber pada pola-pola tertentu. Pola-pola itu merupakan kebiasaan (habits), lama-kelamaan, menjadi adat istiadat (customs), kemudian menjadi norma-norma susila (mores), akhirnya menjadi hukum (laws). Kerjasama antar individu dalam masyarakat pada umumnya bersifat antagonictic cooperation (kerjasama antarpihak yang berprinsip pertentangan). Akibatnya, manusia mementingkan kelompok dan dirinya atau orang lain. Lahirlah rasa ingroups atau we groups yang berla-wanan dengan rasa outgroups atau they groups yang bermuara pada sikap etnosentris. Sumner dalam Veeger (1990) sendiri yang memberikan istilah etnosentris. Dengan sikap itu, maka setiap kelompok merasa folkwaysnya yang paling unggul dan benar. Seperti yang dikutip oleh LeVine, dkk (1972), teori etnosentrisme Sumner mempunyai tiga segi, yaitu: (1) sejumlah masyarakat memiliki sejumlah ciri kehidupan sosial yang dapat dihipotesiskan sebagai sindrom, (2) sindrom-sindrom etnosentrisme secara fungsional berhubungan dengan susunan dan keberadaan kelompok serta persaingan antarkelompok, dan (3) adanya generalisasi bahwa semua kelompok menunjukkan sindrom tersebut. Ia menyebutkan sindrom itu seperti: kelompok intra yang aman (ingroups) sementara kelompok lain (outgroups) diremehkan atau malah tidak aman. Zatrow (1989) menyebutkan bahwa setiap kelompok etnik memiliki keterikatan etnik yang tinggi melalui sikap etnosentrisme. Etnosentrisme merupakan suatu kecenderungan untuk memandang norma-norma dan nilai dalam kelompok budayanya sebagai yang absolute dan digunakan sebagai standar untuk mengukur dan bertindak terhadap semua kebudayaan yang lain. Sehingga etnosentrisme memunculkan sikap prasangka dan streotip negatif terhadap etnik atau kelompok lain. Komunikasi antarbudaya dapat dijelaskan dengan teori etnosentrisme seperti diungkapkan oleh Samovar dan Porter (1976). Katanya, ada banyak variable yang mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbuadaya, salah satunya adalah sikap. Sikap mempengaruhi komunikasi antarbuadaya, misalnya terlihat dalam etnosentrisme , pandangan hidup , nilai-nilai yang absolute, prasangka, dan streotip. 6. Aplikasi Teori Etnosentrisme pada Fenomena Sosial di Indonesia a. Konflik dan Kepentingan Sosial Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia memiliki potensi untuk terjadinya perpecahan. Hal ini terjadi karena adanya sikap etnosenris dan memandang kelompok lain dengan ukuran yang sama-sekali tidak ada konsesus atasnya. Terdapat lebih dari 200 suku dan 300 bahasa. Sehingga Indonesia adalah negara yang sangat kaya ada-istiadat. Namun, kekayaan itu akan menjadi lumpuh ketika perbedaan di antaranya tidak diperkuat oleh sikap nasionalisme. Hal bisa dilhat dari banyaknya konflik antaretnis di tahun 1990-an. Seperti tragedi Sampit, antar suku Madura dan Dayak. Dimana terdapat kecemburuan ekonomi antara Madura sebagai pendatang dan Dayak sebagai penduduk asli. Tragedi Pos, Ambon, dan Perang adat di Papua. Sebagai contoh di Papua. Seperti yang diberitakan Kompas Juli 2002, ada 312 suku yang menghuni Papua. Suku-suku ini merupakan penjabaran dari suku-suku asli yaitu Dani, Mee, Paniai, Amungme, Kamoro, biak, Ansus, Waropen, Bauzi, Asmat, Sentani, Nafri, Meyakh, Amaru, dan Iha. Setiap suku memiliki bahasa daerah (bahasa ibu) yang berbeda. Sehingga saat ini tedapat 312 bahasa di sana. Tempat-tempat pemukiman suku-suku di Papua terbagi secara tradisional dengan corak kehidupan sosial ekonomi dan budaya sendiri. Suku-suku yang mendiami pantai, gunung, dan hutan memiliki karakteristik kebudayaan dan kebiasaan berbeda.. Hal ini pula berimbas pada nilai, norma, ukuran, agama, dan cara hidup yang beranekaragam pula. Keanekaragaman ini sering memicu konflik antarsuku. Misalnya yang terjadi pada tahun 2001, dimana terdapat perang adat antara suku Asmat dan Dani. Masing-masing-masing-masing suku merasa sukunyalah yang paling benar dan harus dihormati. Perang adat berlangsung bertahun-tahun. Karena sebelum adanya salah satu pihak yang kalah atau semakin kuat dan melebihi pihak yang lain, maka perang pun tidak akan pernah berakhir. Fenomena yang sama juga banyak terjadi di kota-kota besar misalnya Yogyakarta. Sebagai kota multikultur, banyak sekali pendatang dari penjuru nusantara dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda masing-masing membawa kepentingan dan nilai dari daerah masing-masing. Kekhawatiran yang kemudian muncul adalah adalnya sentiment primordial dan etnosentris. Misalnya mahasiswayang berasal dari Medan (suku Batak) akan selalu berkras pada pendirian dan sikap yang menyebut dirinya sebagai orang yang tegas, berpendirian, dan kasar (kasar dalam artian tegas). Sedangkan Melayu dikatakan pemalu, relijius, dan merasa lebih bisa diterima di mana pun berada. Sedangkan Jawa, akibat pengaruh orde baru, menganggap dirinya paling maju dari daerah lain. Sehingga ketika berhubungan dengan orang luar Jawa, maka stigma yang terbentuk adalah stigma negatif seperti malas, kasar, dan pemberontak. Daftar Pustaka : • Beamer, Linda dan Iris Varner. (2001). Intercultural Communication in The Global Workplace. New York: McGraw Hill Companies, Inc • Effendy, Onong Uchjana. (1992). Spektrum Komunikasi. Bandung: Penerbit Mandar Maju • Effendy, Onong Uchjana. (2003). Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya • Griffin, EM. (2003). A First Look at Communication Theory, 5th Edition. USA: McGraw-Hill • Liliweri, Alo. (2001). Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Yogyakarta • Liliweri, Alo. (2002). Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKis Yogyakarta • Liliweri, Alo. (2003). Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Yogyakarta • Littlejohn, Stephen W. (2002). Theories of Human Communication. USA: Wadsworth Group • Miller, Katherine. (2002). Communication Theories: Perspectives, Processes, and Contexts. USA: McGraw Hill • Mulyana, Deddy. (2003). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Komunikasi antarbudaya Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda (bisa beda ras, etnik atau sosio ekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan ini. [1] Menurut Stewart L. Tubbs, komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya (baik dalam arti ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan sosio ekonomi). Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang serta berlangsung dari generasi ke generasi.[1] Hamid Mowlana menyebutkan komunikasi antarbudaya sebagai human flow across national boundaries. Misalnya; dalam keterlibatan suatu konfrensi internasional dimana bangsa-bangsa dari berbagai negara berkumpul dan berkomunikasi satu sama lain.[2] Sedangkan Fred E. Jandt mengartikan komunikasi antarbudaya sebagai interaksi tatap muka di antara orang-orang yang berbeda budaya.[3] Intercultural communication generally refers to face-to-face interaction among people of diverse culture.[3] Guo-Ming Chen dan William J. Sartosa mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok.[4] Selanjutnya komunikasi antarbudaya itu dilakukan : 1. Dengan negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya mempunyai makna tetapi dia dapat berarti ke dalam satu konteks dan makna-makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan;[4] 2. Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung dari persetujuan antar subjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama;[4] 3. Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita;[4] 4. Menunjukkan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain dan mengidentifikasinya dengan pelbagai cara.[4] Hakikat Komunikasi Antarbudaya Enkulturasi Tarian adalah salah satu bentuk enkulturasi budaya yang ditransmisikan sejak kecil Enkulturasi mengacu pada proses dengan mana kultur (budaya) ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kita mempelajari kultur, bukan mewarisinya. Kultur ditransmisikan melalui proses belajar, bukan melalui gen. Orang tua, kelompok, teman, sekolah, lembaga keagamaan, dan lembaga pemerintahan merupakan guru-guru utama dibidang kultur. Enkulturasi terjadi melalui mereka.[5] Akulturasi Cina dan Inggris yang berakulturasi Akulturasi mengacu pada proses dimana kultur seseorang dimodifikasi melalui kontak atau pemaparan langsung dengan kultur lain.[5] Misalnya, bila sekelompok imigran kemudian berdiam di Amerika Serikat(kultur tuan rumah), kultur mereka sendiri akan dipengaruhi oleh kultur tuan rumah ini. Berangsur-angsur, nilai-nilai, cara berperilaku, serta kepercayaan dari kultur tuan rumah akan menjadi bagian dari kultur kelompok imigran itu. Pada waktu yang sama, kultur tuan rumah pun ikut berubah.[5] Fungsi-Fungsi Komunikasi Antarbudaya Fungsi Pribadi Fungsi pribadi adalah fungsi-fungsi komunikasi yang ditunjukkan melalui perilaku komunikasi yang bersumber dari seorang individu.[4] Pendeta Budha Jepang menyatakan identitas melalui baju yang dikenakan • Menyatakan Identitas Sosial[4] Dalam proses komunikasi antarbudaya terdapat beberapa perilaku komunikasi individu yang digunakan untuk menyatakan identitas sosial. Perilaku itu dinyatakan melalui tindakan berbahasa baik secara verbal dan nonverbal. Dari perilaku berbahasa itulah dapat diketahui identitas diri maupun sosial, misalnya dapat diketahui asal usul suku bangsa, agama, maupun tingkat pendidikan seseorang. • Menyatakan Integrasi Sosial[4] Inti konsep integrasi sosial adalah menerima kesatuan dan persatuan antarpribadi, antarkelompok namun tetap mengakui perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh setiap unsur. Perlu dipahami bahwa salah satu tujuan komunikasi adalah memberikan makna yang sama atas pesan yang dibagi antara komunikator dan komunikan. Dalam kasus komunikasi antarbudaya yang melibatkan perbedaan budaya antar komunikator dengan komunikan, maka integrasi sosial merupakan tujuan utama komunikasi. Dan prinsip utama dalam proses pertukaran pesan komunikasi antarbudaya adalah: saya memperlakukan anda sebagaimana kebudayaan anda memperlakukan anda dan bukan sebagaimana yang saya kehendaki. Dengan demikian komunikator dan komunikan dapat meningkatkan integrasi sosial atas relasi mereka. • Menambah Pengetahuan[4] Seringkali komunikasi antarpribadi maupun antarbudaya menambah pengetahuan bersama, saling mempelajari kebudayaan masing-masing. • Melepaskan Diri atau Jalan Keluar[4] Kadang-kadang kita berkomunikasi dengan orang lain untuk melepaskan diri atau mencri jalan keluar atas masalah yang sedang kita hadapi. Pilihan komunikasi seperti itu kita namakan komunikasi yang berfungsi menciptakan hubungan yang komplementer dan hubungan yang simetris. Hubungan komplementer selalu dilakukan oleh dua pihak mempunyai perlaku yang berbeda.[4] Perilaku seseorang berfungsi sebagai stimulus perilaku komplementer dari yang lain. Dalam hubungan komplementer, perbedaan di antara dua pihak dimaksimum-kan.[4] Sebaliknya hubungan yang simetris dilakukan oleh dua orang yang saling bercermin pada perilaku lainnya.[4] Perilaku satu orang tercermin pada perilaku yang lainnya.[4] Fungsi Sosial • Pengawasan[4] Funsi sosial yang pertama adalah pengawasan. Praktek komunikasi antarbudaya di antara komunikator dan komunikan yang berbada kebudayaan berfungsi saling mengawasi. Dalam setiap proses komunikasi antarbudaya fungsi ini bermanfaat untuk menginformasikan "perkembangan" tentang lingkungan. Fungsi ini lebih banyak dilakukan oleh media massa yang menyebarlusakan secara rutin perkembangan peristiwa yang terjadi disekitar kita meskipun peristiwa itu terjadi dalam sebuah konteks kebudayaan yang berbeda. • Menjembatani[4] Dalam proses komunikasi antarbudaya, maka fungsi komunikasi yang dilakukan antara dua orang yang berbeda budaya itu merupakan jembatan atas perbedaan di antara mereka. Fungsi menjembatani itu dapat terkontrol melalui pesan-pesan yang mereka pertukarkan, keduanya saling menjelaskan perbedaan tafsir atas sebuah pesan sehingga menghasilkan makna yang sama. Fungsi ini dijalankan pula oleh pelbagai konteks komunikasi termasuk komunikasi massa. • Sosialisasi Nilai[4] Fungsi sosialisasi merupakan fungsi untuk mengajarkan dan memperkenalkan nilai-nilai kebudayaan suatu masyarakat kepada masyarakat lain. • Menghibur[4] Fungsi menghibur juga sering tampil dalam proses komunikasi antarbudaya. Misalnya menonton tarian hula-hula dan "Hawaian" di taman kota yang terletak di depan Honolulu Zaw, Honolulu,Hawai. Hiburan tersebut termasuk dalam kategori hiburan antarbudaya. Prinsip-Prinsip Komunikasi Antarbudaya • Relativitas Bahasa[5] : Gagasan umum bahwa bahasa memengaruhi pemikiran dan perilaku paling banyak disuarakan oleh para antropologis linguistik. Pada akhir tahun 1920-an dan disepanjang tahun 1930-an, dirumuskan bahwa karakteristik bahasa memengaruhi proses kognitif kita. Dan karena bahasa-bahasa di dunia sangat berbeda-beda dalam hal karakteristik semantik dan strukturnya, tampaknya masuk akal untuk mengatakan bahwa orang yang mengguna-kan bahasa yang berbeda juga akan berbeda dalam cara mereka memandang dan berpikir tentang dunia. • Bahasa Sebagai Cermin Budaya[5] : Bahasa mencerminkan budaya. Makin besar perbedaan budaya, makin perbedaan komunikasi baik dalam bahasa maupun dalam isyarat-isyarat nonverbal. Makin besar perbedaan antara budaya (dan, karenanya, makin besar perbedaan komunikasi), makin sulit komunikasi dilakukan.Kesulitan ini dapat mengakibatkan, misalnya, lebih banyak kesalahan komunikasi, lebih banyak kesalahan kalimat, lebih besar kemungkinan salah paham, makin banyak salah persepsi, dan makin banyak potong kompas (bypassing). • Mengurangi Ketidak-pastian[5]: Makin besar perbedaan antarbudaya, makin besarlah ketidak-pastian dam ambiguitas dalam komunikasi. Banyak dari komunikasi kita berusaha mengurangi ketidak-pastian ini sehingga kita dapat lebih baik menguraikan, memprediksi, dan menjelaskan perilaku orang lain. Karena letidak-pasrtian dan ambiguitas yang lebih besar ini, diperlukan lebih banyak waktu dan upaya untuk mengurangi ketidak-pastian dan untuk berkomunikasi secara lebih bermakna. • Kesadaran Diri dan Perbedaan Antarbudaya[5]: Makin besar perbedaan antarbudaya, makin besar kesadaran diri (mindfulness) para partisipan selama komunikasi. Ini mempunyai konsekuensi positif dan negatif. Positifnya, kesadaran diri ini barangkali membuat kita lebih waspada. ini mencegah kita mengatakan hal-hal yang mungkin terasa tidak peka atau tidak patut. Negatifnya, ini membuat kita terlalu berhati-hati, tidak spontan, dan kurang percaya diri. • Interaksi Awal dan Perbedaan Antarbudaya[5] : Perbedaan antarbudaya terutama penting dalam interaksi awal dan secara berangsur berkurang tingkat kepentingannya ketika hubungan menjadi lebih akrab. Walaupun kita selalu menghadapi kemungkinan salah persepsi dan salah menilai orang lain, kemungkinan ini khususnya besar dalam situasi komunikasi antarbudaya. • Memaksimalkan Hasil Interaksi[5] : Dalam komunikasi antarbudaya - seperti dalam semua komunikasi-kita berusaha memaksimalkan hasil interaksi. Tiga konsekuensi yang dibahas oleh Sunnafrank (1989) mengisyaratkan implikasi yang penting bagi komunikasi antar-budaya. Sebagai contoh, orang akan berintraksi dengan orang lain yang mereka perkirakan akan memberikan hasil positif. Karena komunikasi antarbudaya itu sulit, anda mungkin menghindarinya. Dengan demikian, misalnya anda akan memilih berbicara dengan rekan sekelas yang banyak kemiripannya dengan anda ketimbang orang yang sangat berbeda. Kedua, bila kita mendapatkan hasil yang positif, kita terus melibatkan diri dan meningkatkan komunikasi kita.[5] Bila kita memperoleh hasil negatif, kita mulai menarik diri dan mengurangi komunikasi.[5] Ketiga, kita mebuat prediksi tentang mana perilaku kita yang akan menghasilkan hasil positif.[5] dalam komunikasi, anda mencoba memprediksi hasil dari, misalnya, pilihan topik, posisisi yang anda ambil, perilaku nonverbal yang anda tunjukkan, dan sebagainya.[5] Anda kemudian melakukan apa yang menurut anda akan memberikan hasil positif dan berusaha tidak melakkan apa yang menurut anda akan memberikan hasil negatif.[5] Refenrensi 1. Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss. Human Communication :Konteks-konteks Komunikasi. 1996. Bandung. Remaja Rosdakarya. Hal. 236-238 2. Andrik Purwasito. Komunikasi Multikultural. 2003. Surakarta. Universitas Muham-madiyah Surakarta. Hal. 123 3. Fred E. Jandt. Intercultural Communication, An Introduction. 1998. London. Sage Publication. Hal. 36 4. Alo Liliweri. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. 2003. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Hal. 11-12,36-42 5. Joseph A. Devito. Komunikasi Antarmanusia. Kuliah Dasar. Jakarta. Professional Books. Hal. 479-488 KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA A. Pendahuluan Komunikasi antarbudaya adalah merupakan bagian dalam ilmu komunikasi. Ribuan tahun yang lalu, para tokoh dan filsuf menekankan betapa pentingnya berbicara dengan bahasa orang lain melalui teknik-teknik berkomunikasi yang memperhatikan latar belakang audiens. Semua itu tidak lepas dari tujuan komunikasi dalam mencapai komunikasi yang efektif. Keefektifan itu akan berhasil jika mampu memilih dan menjalankan teknik-teknik berkomunikasi serta menggunakan bahasa yang sesuai dengan latar belakang orang tersebut. Komunikasi antarbudaya sebenarnya telah ada sejak dulu, berlangsung sepanjang kehidupan manusia. Sebuah teori, termasuk teori komunikasi hanya dapat diterapkan dalam suatu lingkungan atau situasi tertentu. Asumsi sebuah teori komunikasi merupakan seperangkat pernyataan yang menggambarkan sebuah lingkungan yang valid, tempat dimana sebuah teori komunikasi dapat diterapkan atau diaplikasikan. Maka dapat dikatakan, asumsi sebuah teori komunikasi antarbudaya merupakan seperangkat pernyataan yang menggambarkan sebuah lingkungan yang valid tempat dimana teori komunikasi antarbudaya itu dapat diterapkan. Untuk memahami kajian komunikasi antarbudaya, maka kita harus mengenal beberapa asumsi, yaitu: - Komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepasi antara komunikator dengan komunikan. - Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi. - Gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi. - Komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian. - Komunikasi berpusat pada kebudayaan. - Efektifitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya. Untuk lebih jelasnya mengenai enam hal di atas, kami akan menguraikannya secara lebih rinci dalam makalah ini. B. Pembahasan ► Perbedaan konsep antara komunikator dengan komunikan Komunikator dalam komunikasi antarbudaya adalah pihak yang mengawali komu-nikasi, dalam artian ia memulai pengiriman pesan tertentu kapada orang lain yang disebut komunikan.Komunikan sendiri berarti pihak yang menerima pesan tertentu sekaligus menjadi sasaran komunikasi dari komunikator. Dalam komunikasi antarbudaya, komunikasi terjadi antara dua orang yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Penyampai pesan adalah anggota dari suatu budaya dan penerima pesannya juga merupakan anggota suatu budaya lainnya. Karena perbedaan iklim budaya tersebut lah yang menjadi sebuah titik perhatian adalah mengenai pesan-pesan yang menghubungkan individu atau kelompok yang berbeda budaya. Perbedaan karakteristik antarbudaya antara lain ditentukan oleh latar belakang ras dan etnis, usia dan jenis kelamin, latar belakang sistem politik, kepercayaan, minat dan kebiasaan, status, kemampuan berbicara dan menulis, bentuk-bentuk dialek, dan sebagainya. Komunikasi yang baik adalah komunikasi yang efektif, dimana pesan yang disampaikan penyampai (komunikator) dapat diperhatikan, diterima dan dipahami oleh penerima (komunikan) secara menyeluruh. Setiap proses komunikasi berupaya untuk mencapai keefektifan dalam berkomunikasi. Dalam komunikasi antarbudaya, perbedaan budaya secara alamiah dianggap suatu hal yang terkadang menjadi jurang pemisah antara komunikator dan komunikan. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam perbedaan tersebut umumnya mengimplikasikan bahwa hambatan komunikasi antarbudaya seringkali berupa perbedaan persepsi terhadap norma-norma budaya, pola-pola berpikir, struktur budaya, dan sistem budaya. (Alo Liliweri, Komunikasi Antarbudaya, 2007). Pada intinya, komunikasi antarbudaya pun menginginkan terjadinya komunikasi yang baik dan efektif. Oleh karena itu, jika ingin menjadikan komunikasi antarbudaya berhasil, maka hendaklah setiap orang mengakui, menerima, dan memahami berbagai perbedaan budaya sebagaimana adanya, bukan sebaliknya memaksakan budaya tertentu yang kita kehendaki untuk diterima dan dipahami orang lain. ► Komunikasi antarbudaya mengandung isi dan relasi antarpribadi Proses komunikasi antarbudaya berakar dari relasi sosial antarbudaya yang menghen-daki dan berkeinginan menwujudkan adanya interaksi sosial. Relasi antarmanusia yang berbeda budaya tersebut sangat mempengaruhi bagaimana isi dan makna dari sebuah pesan yang disampaikan diinterpretasi. Watzlawick, Beavin, dan Jackson (1967) menekankan bahwa isi (content of communication) komunikasi tidak berada dalam sebuah ruang yang terisolasi. Isi (content) dan makna (meaning) adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, dua hal yang juga esensial dalam membentuk relasi. (Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, 2007). Perbedaan budaya yang dimiliki oleh dua orang atau dua kelompok yang memiliki hubungan relasi tertentu, akan memberikan pengaruh bagaimana pesan tersebut diinterprestasikan oleh lawan bicara. Seperti pada contoh berikut, seorang teman sebaya anda meminta tolong ambilkan sebuah buku di mejanya dengan berkata “apakah anda dapat mengambilkan buku di atas meja saya?”. Maka yang anda interpretasikan adalah sebuah pesan permintaan yang tidak begitu mendesak. Anda menganggap seorang teman yang sedang meminta bantuan anda. Berbeda dengan ketika kalimat tersebut dilontarkan oleh seorang dosen anda, maka anda akan menginterpretasikan sebuah pesan tersebut adalah sebuah perintah dan harus dilakukan dengan segera. Hubungan relasi antara anda dengan teman anda dan anda dengan dosen anda menjadi sebuah alasan mengapa terdapat perbedaan dalam menginterpretasi pesan. Meskipun terdapat makna (meaning) atas isi pesan yang sama, yaitu “mengambil buku”, namun karena terdapat hubungan relasi tertentu yang berbeda, maka kalimat itu bisa diinterpretasikan juga secara berbeda, yaitu sebagai permintaan batuan atau sebuah perintah. ► Gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa komunikasi antarbudaya pada intinya bermakna proses komunikasi antarpribadi (komunikator dan komunikan) yang berbeda latar belakang budaya. Secara normatif, komunikasi antarpribadi itu mengandalkan gaya berkomunikasi yang dihubungkan dengan nilai-nilai yang dianut orang. Nilai-nilai itu berbeda diantara kelompok etnik yang dapat menunjang atau mungkin merusak perhatian tatkala orang berkomunikasi. Di sini, gaya itu bisa berkaitan dengana individu maupun gaya dari sekelompok etnik. Begitulah pendapat Candia Elliot (1999) yang menjelaskan bagaimana pengaruh gaya personal. Dalam komunikasi antarbudaya, gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi. Komunikasi antarpribadi akan terlihat efektif atau tidak melalui pengaruh gaya personal komunikator atau komunikan dalam menyampaikan atau menerima pesan. Gaya komunikasi personal dapat ditunjukkan dengan cara kognitif maupun sosial. Banyak sekali tipe atau gaya personal yang dimiliki manusia dalam melakukan proses komunikasi. Diantaranya, terdapat orang yang senang bercakap dengan menampakkan wajah senang atau penuh dengan kehangatan, namun ada pula orang yang bercakap dengan wajah dingin dan kurang bersahabat, inilah yang biasanya kemudian lawan bicaranya memiliki perasaan kurang enak. Terkadang juga dapat berhadapan dengan orang yang bersikap otoriter, namun akan ditemui pula orang yang bersikap sangat demokratis. Ada orang yang menghargai lawan bicara dengan cara menatap mata, namun ada pula yang bersikap acuh dan menatap ke segala arah saat proses komunikasi berlangsung. Ada yang berkomunikasi dengan nada suara tinggi, namun ada pula yang bicara cukup dengan suara lembut. Contoh lainnya, Gudykunst dan Kim (1992) memberi contoh sebagai berikut: perhatikan kunjungan seorang asing yang menganut budaya bahwa kontak mata selama berkomunikasi adalah tabu di Amerika Utara. Bila si orang asing berbicara kepada penduduk Amerika Utara dengan menghindari kontak mata, maka ia dianggap menyembunyikan sesuatu atau tidak berkata benar. Banyak sekali gaya personal dalam berkomunikasi. Pengalaman sosial dalam berkomunikasi yang kita dapatkan, terutama dalam komunikasi antarbudaya yang menghadapi bermacam-macam lawan bicara dari berbagai latar belakang budaya membuat pengalaman kita semakin bertambah. Bahkan mungkin saja kita dapat berpendapat, mengavaluasi secara kognitif tentang gaya personal maupun gaya kelompok tertentu dalam berkomunikasi. ► Tujuan komunikasi antarbudaya Salah satu hal yang paling ditekankan adalah tujuan dari komunikasi antarbudaya adalah mengurangi tingkat ketidakpastian tentang orang lain. Mungkin saja pertemuan antardua orang menimbulkan permasalahan mengenai relasi dan muncullah beberapa pertanyaan seperti: bagaimana perasaan dia terhadap saya, bagaimana sikap dia terhadap saya, apa yang akan saya peroleh jika saya berkomunikasi dengan dia, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Kebingungan yang dituangkan dalam pertanyaan tadi akan membuat orang merasa harus berkomunikasi, sehingga permasalahan relasi terjawab dan kita merasa diri berada dalam suasana relasi yang juga lebih pasti. Selanjutnya setelah berkomunikasi, seseorang akan mengambil sebuah keputusan untuk meneruskan atau menghentikan komunikasi tersebut. Dalam teori informasi, yang juga kajian komunikasi, tingkat ketidaktentuan atau ketidakpastian itu akan berkurang ketika orang mampu melakukan proses komunikasi secara tepat. Biasanya, semakin besar derajat perbedaan antarbudaya, maka akan semakin besar pula kemungkinan kehilangan peluang untuk merumuskan suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif. Hal ini disebabkan karena ketika berkomunikasi dengan seseorang dari kebudayaan yang berbeda, maka dipastikan akan memiliki perbedaan pula dalam sejumlah hal. Gudykunstt dan Kim (1984) menunjukkan bahwa orang-orang yang kita tidak kenal selalu berusaha mengurangi tingkat ketidakpastian melalui peramalan yang tepat atas relasi antarpribadi. Usaha untuk mengurangi ketidakpastian itu dapat dilakukan melalui tiga tahap interaksi, yaitu : 1.) Pra-kontak atau tahap pembentukan kesan melalui simbol verbal maupun non verbal. Dalam artian sebuah pertanyaan apakah komunikan suka berkomunikasi atau malah sebaliknya menghindari komunikasi, 2.) Initial contact and impression, yakni sebuah tanggapan lanjutan atas kesan yang ditimbulkan atau muncul dari kontak pertama tersebut., seperti bertanya pada diri sendiri: apa saya seperti dia, apa dia mengerti saya, apa merugikan waktu saya jika berkomunikasi dengan dia, atau pertanyaan lainnya yang serupa, 3.) Closure, mulai membuka diri yang semula tertutup, melalui atribusi dan pengembangan kepribadian. Teori atribusi sendiri menganjurkan agar kita lebih mengerti dan memahami perilaku orang lain dengan menyelidiki motivasi atas suatu perilaku atau tindakan dari dia (lawan bicara). Pertanyaan yang relevan adalah apa yang mendorong dia berkata, berpikir, atau bertindak demikian. Jika seseorang menampilkan tindakan yang positif, maka kita akan memberikan atribusi motivasi yang positif kepada orang tersebut, karena alasan dia bernilai bagi relasi kita. Sebaliknya, jika seorang itu menampilkan tindakan yang negatif, maka kita akan memberikan atribusi motivasi yang negatif pula. Sementara itu, kita juga dapat mengembangkan sebuah kesan terhadap orang itu melalui evaluasi atas kehadiran sebuah kepribadian implisit. Karena di saat awal komunikasi atau pada bagian pra-kontak, telah memberikan kesan bahwa orang itu baik, maka semua sifat positifnya akan mengikuti dia, misalnya karena dia baik maka beranggapan bahwa dia pun jujur, ramah, setia kawan, penolong, tidak sombong, dan lainnya. (Alo Liliweri, Komunikasi Antarbudaya, 2007). ► Komunikasi berpusat pada kebudayaan Gatewood (1999) menjelaskan bahwa kebudayaan yang meliputi seluruh kemanusiaan itu sangatlah banyak. Hal tersebut meliputi seluruh periode waktu dan tempat. Dalam artian, jika komunikasi merupakan bentuk, metode, teknik, proses sosial dari kehidupan manusia yang terus membudaya, maka komunikasi juga merupakan sarana bagi transmisi kebudayaan. Oleh karenanya, kebudayaan itu sendiri merupakan sebuah komunikasi. Kebudayaan sendiri adalah sesuatu yang dapat dipelajari, dapat ditukar, dan dapat berubah. Itu pun terjadi hanya jika ada interaksi antarmanusia dalam bentuk komunikasi antarpribadi maupun antarkelompok budaya (berbeda latar belakang budaya) secara terus-menerus. Kebudayaan diartikan sebagai sebuah kompleksitas total dari seluruh pikiran, perasaan, dan perbuatan manusia , maka untuk mendapatkannya dibutuhkan sebuah usaha yang selalu berurusan dengan orang lain. Pada akhirnya muncul pertanyaan mengenai hubungan antara komunikasi dengan kebudayaan; apakah komunikasi ada dalam kebudayaan atau kebudayaan merupakan bagian komunikasi?. Smith (1976) menjawabnya dengan kalimat “komunikasi dan budaya tidak dapat dipisahkan”. Dan tokoh lainnya, Edward T. Hall mengatakan bahwa komunikasi adalah kebudayaan dan kebudayaan adalah komunikasi. Dua hal yang setidaknya memberi jawaban; pertama, dalam kebudayaan ada sistem dan dinamika yang mengatur tata cara pertukaran simbol-simbol komunikasi, dan kedua, hanya dengan komunikasi maka pertukaran simbol-simbol dapat dilakukan dan kebudayaan akan tetap eksis jika ada komunikasi. Pada hakikatnya, proses komunikasi antarbudaya berproses sama seperti komunikasi lainnya, yaitu secara interaktif dan transaksional serta dinamis. Komunikasi antarbudaya yang interaktif adalah komunikasi yang dilakukan olh komunikator dengan komunikan dalam dua arah atau two way communication, namun masih berada pada tahap rendah ( Wahlstrom, 1992). Jika proses komunikasi atau pertukaran pesan tersebut telah sampai pada bentuk saling mengerti, memahami perasaan dan tindakan bersama maka komunikasi itu telah memasuki tahap lebih tinggi dengan kata lain telah ada pada tahap transaksional (Hybels dan Sandra, 1992). Tiga unsur penting yang meliputi komunikasi transaksional adalah; pertama, keterli-batan emosional yang tinggi, berlangsung secara terus menerus dan berkesinambungan atas pertukaran pesan, kedua, peristiwa komunikasi tersebut meliputi seri waktu, yaitu berkaitan dengan masa lalu, kini, dan yang akan datang, dan yang terakhir adalah partisipan dalam komunikasi antarbudaya yang sedang berlangsung menjalankan peran tertentu. Komunikasi interaktif maupun transaksional keduanya berproses yang bersifat dinamis. Alasannya, karena proses tersebut berlangsung dalam konteks sosial yang hidup, berkembang dan bahkan berubah berdasarkan waktu, situasi, dan kondisi tertentu. Karena proses komunikasi yang dilakukan merupakan merupakan komunikasi antarbudaya maka kebudayaan merupakan dinamisator atau dengan kata lain sebagai penghidup bagi proses komunikasi yang sedang berlangsung. ► Efektifitas komunikasi antarbudaya Kenyataan dan kehidupan sosial telah membuktikan bahwa manusia di muka bumi tidak dapat hidup sendiri. Mereka pasti melakukan interaksi sosial dan selalu berhubungan satu sama lain. Dan interaksi itu tidak akan terjadi tanpa adanya proses komunikasi. Itu artinya, dalam komunikasi antarbudaya, interaksi antarbudaya pun tidak akan pernah ada jika tidak ada komunikasi antarbudaya. Segala kefektivan dalam interaksi antarbudaya tergantung pada komunikasi antarbudaya. Gudykunst menyakini bahwa kecemasan dan ketidakpastian adalah dasar penyebab dari kegagalan komunikasi pada situasi antarbudaya. Konsep diatas sekaligus menekankan bahwa segala tujuan komunikasi antarbudaya akan tercapai dan dikatakan berhasil jika bentuk-bentuk hubungan antarbudaya menggam-barkan upaya dari peserta komunikasi untuk memperbaharui relasi antar komunikator dan komunikan, menciptakan dan memperbaharui sebuah manajemen komunikasi yang efektif, lahirnya sikap dan semangat kesetiakawanan, persahabatan, pertemanan, kekerabata, hingga kepada pengurangan konflik antar keduanya. Dengan pemahaman mengenai komunikasi antar budaya dan bagaimana komunikasi dapat dilakukan, maka kita dapat melihat bagaimana komunikasi dapat mewujudkan perdamaian dan meredam konflik di tengah-tengah masyarakat. Dengan komunikasi yang intens kita dapat memahami akar permasalahan sebuah konflik, membatasi dan mengurangi kesalahpahaman, komunikasi dapat mengurangi konflik sosial. Menurut Charles E Snare bahwa usaha meredam konflik dan mendorong terciptanya perdamaian tergantung bagaimana cara kita mendefinisikan situasi orang lain agar kita dapat mencapai perdamaian dan kerjasama. Untuk mencapai komunikasi antar budaya yang efektif, individu seharusnya mengembangkan kompetensi antar budaya; merujuk pada keterampilan yang dibutuhkan untuk mencapai komunikasi antar budaya yang efektif Jandt (1998, 2004) mengidentifi-kasikan empat keterampilan sebagai bagian dari kompetensi antar budaya, yaitu personality strength, communication skills, psychological adjustment and cultural awareness. Tidak dapat diragukan bahwa kompetensi antar budaya adalah sebuah hal yang sangat penting saat ini. Seperti halnya pendatang sementara yang disebut sojourners, yaitu sekelompok orang asing (stranger) yang tinggal dalam sebuah negara yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda dengan negara tempat mereka berasal. C. Kesimpulan Komunikasi antarbudaya merupakan pertukaran pesan antara komunikator dengan komunikan yang berasal dari latar belakang budaya berbeda. Komunikator dalam komunikasi antarbudaya adalah pihak yang mengawali komunikasi, dalam artian ia memulai pengiriman pesan tertentu kapada orang lain yang disebut komunikan. Komunikan sendiri berarti pihak yang menerima pesan tertentu sekaligus menjadi sasaran komunikasi dari komunikator. Perbedaan karakteristik antarbudaya antara lain ditentukan oleh latar belakang ras dan etnis, usia dan jenis kelamin, latar belakang sistem politik, kepercayaan, minat dan kebiasaan, status, kemampuan berbicara dan menulis, bentuk-bentuk dialek, dan sebagainya. Dalam komunikasi antarbudaya, setiap proses komunikasinya mengandung isi dan relasi antar pribadi. Relasi antar pribadi atau kelompok sangat mempengaruhi bagaimana nantinya pesan itu diinterpretasi. Meski terdapat isi dan makna yang sama, namun relasi menjadi pengaruh terhadap penginterpretasian pesan yang disampaikan kepada lawan bicara. Watzlawick, Beavin, dan Jackson (1967) menekankan bahwa isi (content of communication) komunikasi tidak berada dalam sebuah ruang yang terisolasi. Isi (content) dan makna (meaning) adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, dua hal yang juga esensial dalam membentuk relasi. Perbedaan budaya yang dimiliki oleh dua orang atau dua kelompok yang memiliki hubungan relasi tertentu, akan memberikan pengaruh bagaimana pesan tersebut diinterprestasikan oleh lawan bicara. Ternyata, dalam komunikasi yang berlangsung antarbudaya juga mengenal gaya personal dalam berkomunikasi. Gaya personal yang dimiliki masing-masing orang memberikan pengaruh terhadap proses komunikasi tersebut. Komunikasi antarpribadi akan terlihat efektif atau tidak melalui pengaruh gaya personal komunikator atau komunikan dalam menyampaikan atau menerima pesan. Bagaimana nantinya komunikasi tersebut berlangsung harmonis atau malah sebaliknya. Secara normatif, komunikasi antarpribadi itu mengandalkan gaya berkomunikasi yang dihubungkan dengan nilai-nilai yang dianut orang. Nilai-nilai itu berbeda diantara kelompok etnik yang dapat menunjang atau mungkin merusak perhatian tatkala orang berkomunikasi. Di sini, gaya itu bisa berkaitan dengan individu maupun gaya dari sekelompok etnik. Salah satu tujuan komunikasi antarbudaya yang kami bahas adalah mengurangi tingkat ketidakpastian, ketidaktentuan, ataupun kebingungan. Permasalahan relasi biasanya akan lebih pasti ketika seseorang telah melakukan proses komunikasi. Setelah berkomunikasi, seseorang akan mengambil sebuah keputusan untuk meneruskan atau menghentikan komunikasi tersebut. Dalam teori informasi, yang juga kajian komunikasi, tingkat ketidak-tentuan atau ketidakpastian itu akan berkurang ketika orang mampu melakukan proses komunikasi secara tepat. Pada dasarnya, setiap proses komunikasi berpusat pada kebudayaan. Bahkan ada jawaban yang menyatakan bahwa komunikasi adalah kebudayaan dan kebudayaan adalah komunikasi. Jelas, keduanya tidak dapat dipisahkan. Gatewood (1999) menjelaskan jika komunikasi merupakan bentuk, metode, teknik, proses sosial dari kehidupan manusia yang terus membudaya , maka komunikasi juga merupakan sarana bagi transmisi kebudayaan. Oleh karenanya, kebudayaan itu sendiri merupakan sebuah komunikasi. Terakhir yang akan kami simpulkan, bahwa komunikasi antarbudaya pun memiliki berbagai tujuan yang menjadikan komunikasi tersebut efektif dan dikatakan berhasil. Kenyataan dan kehidupan sosial telah membuktikan bahwa manusia di muka bumi tidak dapat hidup sendiri. Mereka pasti melakukan interaksi sosial dan selalu berhubungan satu sama lain. Dan interaksi itu tidak akan terjadi tanpa adanya proses komunikasi. Itu artinya, dalam komunikasi antarbudaya, interaksi antarbudaya pun tidak akan pernah ada jika tidak ada komunikasi antarbudaya. Segala kefektivan dalam interaksi antarbudaya tergantung pada komunikasi antarbudaya. Konsep diatas sekaligus menekankan bahwa segala tujuan komunikasi antarbudaya akan tercapai dan dikatakan berhasil jika bentuk-bentuk hubungan antarbudaya menggam-barkan upaya dari peserta komunikasi untuk memperbaharui relasi antar komunikator dan komunikan, menciptakan dan memperbaharui sebuah manajemen komunikasi yang efektif, lahirnya sikap dan semangat kesetiakawanan, persahabatan, pertemanan, kekerabata, hingga kepada pengurangan konflik antar keduanya. Penelitian Komunikasi Antar Budaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di daerah pesisir ada banyak kegiatan para masyarakat yang sedang berlangsung. Kegiatan yang dilakukan juga bermacam-macam, bercengkrama dengan sesama masyarakat sembari menunggu kegiatan mereka akan melaut pada setiap harinya. Disemua kegiatan yang berlangsung diantara masyarakat- masyarakat pesisir tersebut terjadi interaksi komunikasi dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda. Dari setiap budaya tersebut memiliki bahasa yang berbeda sehingga keberagaman budayakomunikasi yang dilakukan oleh masyarakat pesisir juga memiliki keragaman bahasa. Hubungan komunikasi antar budaya mampu memberikan keuntungan dalam aktualiasasinya misalnya terhadap peningkatan pengetahuan dan cara pandang seseorang tentang dunia melalui orang-orang baru dari budaya yang baru dijumpai. Menurut Ting Toomey (1953), budaya sebagai komponen dari usaha manusia untuk bertahan hidup dan berkembang dalam lingkungan partikular mereka. The Ecological Adaptation Function yaitu fungsi budaya dalam memfasilitasi proses-proses adaptasi di antara diri, komunitas kultural dan lingkungan yang lebih besar, The Cultural Communication Function yaitu koordinasi antara budaya dengan komunikasi, budaya mempengaruhi komunikasi dan komunikasi mempengaruhi budaya. Ringkasnya, budaya diciptakan, dibentuk, ditransmisikan dan dipelajari melalui komunikasi. Di samping itu, bagaimana cara kita untuk menjelaskan tentang diri kita sendiri di hadapan orang yang berbeda latar budaya juga memberikan tantangan tersendiri. Alasan-alasan itulah yang kemudian akan membentuk pola komunikasi dan hubungan antar budaya seseorang. Dari teori bahasa dapat diketahui bahwa bahasa merupakan alat komunikasi dan interaksi manusia yang di dalamnya terdapat simbol-simbol bunyi yang mandiri dan unik yang digunakan dalam suatu latar budaya tertentu. . Komunikasi adalah cara untuk berdialektika dalam konteks hubungan antar budaya. Kita harus memulai untuk memikirkan bagaimana cara yang tepat untuk melangsungkan komunikasi ketika kita sedang berada dalam lawan bicara yang berbeda latar belakang budaya dengan kita. Yang paling utama adalah bahasa.Bahasa mempengaruhi pemikiran dan perilaku. Bahasa mempengaruhi proses kognitif kita. Oleh sebab, bahasa-bahasa di dunia memiliki banyak keanekaragaman yang unik dari yang lainnya baik dalam hal karakteristik semantik maupun strukturnya, maka dapat juga disimpulan bahwa orang yang menggunakan bahasa yang berbeda juga akan berbeda dalam cara mereka memandang dan berpikir tentang dunia. Bahasa mencerminkan budaya. Makin besar perbedaan budaya, makin perbedaan komunikasi baik dalam bahasa maupun dalam isyarat-isyarat nonverbal.Makin besar perbedaan antara budaya (dan, karenanya, makin besar perbedaan komunikasi), makin sulit komunikasi dilakukan.Semakin besar perbedaan antarbudaya maka semakin besar pula ketidak-pastian dan ambiguitas dalam komunikasi. Terdapat 3 (tiga) fase dalam proses membangun hubungan antar budaya diantaranya : 1) Fase initial attraction (tahap pengenalan awal), 2) Exploration (tahap eksplorasi lanjutan), 3) Stabilization (tahap menstabilkan hubungan). Setiap budaya memiliki variasi dan cara nya masing-masing yang berbeda dan unik dalam setiap fase membangun hubungan tersebut. Perbedaan cara pandang budaya dalam hubungan dapat disebabkan oleh adanya identitas dan nilai-nilai yang dianut masyarakat tertentu. Misalkan perbedaan antara budayadi Pasar Pantai Bengkulu dari setiap daerah yang bersifat individualistik dan ada juga bersifat kolektif. Hubungan dalam budaya masya-rakat daerah pesisir kolektif lebih cenderung bertahan dalam jangka panjang, dan tidak individual serta mengikutsertakan berbagai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi untuk mempertahankan suatu hubungan. Hubungan antar budaya juga tidak bisa dilepaskan dari berbagai tantangan misalnya perbedaan-perbedaan idiosinkratik tidak akan banyak menimbulkan efek ketika hubungan antar budaya tersebut dibangun pada tahapan awal. Namun, ketika akan memasuki tahapan yang lebih intim/mendalam, maka terciptalah proses negosiasi dan interaksi antara perbedaan-perbedaan dengan persamaan-persamaan yang ada. Selain itu, perbedaan- kultural sudah menjadi suatu hal yang pasti dan diberikan secara turun temurun, sehingga tantangannya adalah bagaimana cara menemukan dan membangun kesamaan-kesamaan dibalik berbagai perbedaan misalnya dengan membangun rasa ketertarikan atau kepentingan bersama, aktivitas, kepercayaan dan tujuan akhir yang sama. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang ada pada latar belakang diatas maka didapatkan rumusan masalah yaitu “Bagaimana pola interaksi penggunaan bahasa pada interaksi sosial masyarakat pesisir ?” 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Melihat interaksi komunikasi yang terjadi antar masyarakat daerah pesisir. peneliti ingin melakukan riset terhadap keberagaman budaya khususnya bahasa yang digunakan oleh masyarakat dalam berinteraksi di lingkungan daerah pesisir. 1.3.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pola interaksi penggunaan bahasa pada interaksi sosial masyarakat pesisir . 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan memperkaya penelitian tentang keberagaman budaya bahasa pada khususnya dan padamasyarakat daerah pesisir pada umumnya dengan metodologi kualitatif, danberguna untuk penelitian selanjutnya. 1.4.2 Manfaat Praktis Penelitian ini selanjutnya diharapkan berguna bagi praktisi komunikasi khususnya dosen Ilmu Komunikasi, mahasiswa Ilmu Komunikasi dan peneliti selanjutnya . BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Penelitian Terdahulu Dalam membuat penelitian ini penulis melihat beberapa referensi penelitian terdahulu yang bisa menjadi bahan acuan bagi penulis. Beberapa hasil penelitian terdahulu dan pernyataan yang dianggap relevan dengan penelitian ini, penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Ismail Kusmayadi (2001) dimana ia lebih mengkaji ragam bahasa di Indonesia. Dimana ia melihat ragam bahasa dari segi daerah dan pemakaiannya. Bahasa mempunyai ragam yang disesuaikan dengan keperluan, tempat asal, tempat dimana berinteraksi dengan orang lain atau bidang lainnya. Karena biasanya keragamaan bahasa mempunyai sejumlah kosakata khusus yang di gunakan di masing-masing daerah. Kemudian penelitian terdahulu oleh Adi Tahajudin (2005) dimana ia mengkaji penelitian dengan judul Dialektika bahasa di Kecamatan Pulomerak Kota Cilegon Banten. Dialek merupakan variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok masyarakat pada suatu tempat atau suatu waktu, dan ragam yang merupakan variasi bahasa yang digunakan untuk situasi tertentu (formal dan nonformal). Penelitian ini, yakni berusaha menggambarkan secara objektif dan tepat aspek keanekaragaman bahasa yang ada di daerah banten. Sumber datanya adalah penduduk yang ada di daerah Kecamatan Pulomerak Kota Cilegon Banten. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh dialek kebahasaan dalam bahasa daerah yang dipergunakan masyarakat di seluruh desa Kecamatan Pulomerak berupa aspek keanekara-gaman bahasa yang ada di Banten. 2.2. Teori yang digunakan 2.2.1 Teori Dramaturgi dan Masyarakat Pasar Pantai Bengkulu Teori Dramaturgi dipilih karena dalam penelitian ini penulis ingin melihat bagaimana masyarakat daerah pesisir yang berasal dari berbagai daerah mengkondisikan dirinya agar bisa dengan mudah menyesuaikan diri dan diterima oleh masyarakat di sekitar lingkungan daerah pesisir. Dramaturgis merupakan pandangan tentang kehidupan sosial sebagai serentetan pertunjukan drama dalam sebuah pentas. Istilah Dramaturgi kental dengan pengaruh drama atau teater atau pertunjukan fiksi diatas panggung dimana seorang aktor memainkan karakter manusia-manusia yang lain sehingga penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh tersebut dan mampu mengikuti alur cerita dari drama yang disajikan. Dalam Dramaturgi terdiri dari Front stage (panggung depan) dan Back Stage(panggung belakang). Front Stage yaitu bagian pertunjukan yang berfungsi mendefinisikan situasi penyaksi pertunjukan. Front stage dibagi menjadi 2 bagian, Setting yaitu pemandangan fisik yang harus ada jika sang actor memainkan perannya. Dan Front Personal yaitu berbagai macam perlengkapan sebagai pembahasa perasaan dari sang actor.Front personal masih terbagi menjadi dua bagian, yaitu Penampilan yang terdiri dari berbagai jenis barang yang mengenalkan status social actor. Dan Gaya yang berarti mengenalkan peran macam apa yang dimainkan actor dalam situasi tertentu. Back stage(panggung belakang) yaitu ruang dimana disitulah berjalan scenario pertunjukan oleh “tim” (masyarakat rahasia yang mengatur pementasan masing-masing actor). Goffman (1956) mendalami dramaturgi dari segi sosiologi. Beliau menggali segala macam perilaku interaksi yang kita lakukan dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari yang menampilkan diri kita sendiri dalam cara yang sama dengan cara seorang aktor menampilkan karakter orang lain dalam sebuah pertunjukan drama. Cara yang sama ini berarti mengacu kepada kesamaan yang berarti ada pertunjukan yang ditampilkan. Goffman mengacu pada pertunjukan sosiologi. Pertunjukan yang terjadi di masyarakat untuk memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan. Tujuan dari presentasi dari Diri – Goffman ini adalah penerimaan penonton akan manipulasi. Bila seorang aktor berhasil, maka penonton akan melihat aktor sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan oleh aktor tersebut. Aktor akan semakin mudah untuk membawa penonton untuk mencapai tujuan dari pertunjukan tersebut. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari komunikasi. Komunikasi sebenarnya adalah alat untuk mencapai tujuan. Bila dalam komunikasi konvensional manusia berbicara tentang bagaimana memaksimalkan indera verbal dan non-verbal untuk mencapai tujuan akhir komunikasi, agar orang lain mengikuti kemauan kita. Maka dalam dramaturgis, yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh bagaimana kita menghayati peran sehingga dapat memberikan feedback sesuai yang kita mau. Perlu diingat, dramatugis mempelajari konteks dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut. Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan tersebut. 2.2.3 Teori Interaksi Simbolik dalam Interaksi Sosial Masyarakat Pasar Pantai Bengkulu Peneliti memilih teori ini karena dalam proses komunikasi yang terjadi khususnya dalam berbagai macam interaksi yang dilakukan oleh masyarakat Pasar Pantai Bengkulu mengandung banyaknya hal-hal yang dipertukarkan termasuk dalam gaya, bahasa, cara berpakain dan lain sebagainya yang mengandung makna dari setiap simbol-simbol yang digunakan oleh masyarakat setempat. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Menurut teori interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara ringkas, interkasionisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut: pertama, individu merespons suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Ketiga, makna diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial. Komunikasi yang efektif tergantung pada tingkat kesamaan makna yang didapat partisipan yang saling bertukar pesan. Fisher berpendapat, untuk mengatakan bahwa makna dalam komunikasi tidak pernah secara total sama untuk semua komunikator, adalah dengan tidak mengatakan bahwa komunikasi adalah sesuatu yang tak mungkin atau bahkan sulit tapi karena komunikasi tidak sempurna (Gudykunst dan Kim, 2003: 269-270). Jadi untuk mengatakan bahwa dua orang berkomunikasi secara efektif maka keduanya harus meraih makna yang relatif sama dari pesan yang dikirim dan diterima (mereka menginterpretasikan pesan secara sama). 2.3. Kerangka Pemikiran Disemua kegiatan pada masyarakat- masyarakat pesisir tersebut terjadi interaksi komunikasi dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda. Dari setiap budaya tersebut memiliki bahasa yang berbeda sehingga keberagaman budaya komunikasi yang dilakukan oleh masyarakat pesisir juga memiliki keragaman bahasa. Dari keberagaman bahasa dan budaya yang dibawa oleh masyarakat yang berasal tidak hanya dari Bengkulu apakah pola interaksi antar masyarakat akan berbeda juga atau malah sebaliknya. Peneliti melalukan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana pola interaksi masyarakat pesisir pantai terhadap adanya keberagaman bahasa dan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori dramaturgis dan teori interaksi simbolik untuk membantu peneliti pada saat, sebelum dan nantinya penelitian ini diselesaikan. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3. 1. Paradigma Penelitian Paradigma penelitian yang saya gunakan adalah paradigma konstruktivis, karena peneliti menggunakan teori dramaturgi dan interaksi simbolik sebagai pendekatannya. Dan teori dramaturgi dan interaksi simbolik termasuk dalam ranah wilayah konstruktivis. 3.2. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian adalah interpretice kualitatif karena peneliti mencoba menginterpretasikan apa Saja yang dinyatakan oleh sasaran penelitian berdasarkan fikiran dan perasaan penelitian itu sendiri. 3.3. Metode Penelitian Senada dengan tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini, yakni berusaha menggambarkan secara objektif dan tepat aspek keanekaragaman budaya bahasa yang ada di ruang lingkup masyarakat daerah pesisir. Maka penelitian ini bersifat deskriptif. Perlu dicatat bahwa penelitian ini tidak mempertimbangkan benar dan salahnya penggunaan bahasa oleh penuturnya sehingga data bahasa tersaji apa adanya. Latar belakang dan masalah yang muncul dalam penelitian ini adalah masalah-masalah aktual. Maksudnya, masalah berbahasa adalah masalah yang sedang dihadapi oleh pemakai bahasa Indonesia sekarang. Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif bersifat deskriptif. Data yang dihasilkannya berupa kata-kata dan kalimat-kalimat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Dengan metodi ini peneliti mencoba menyajikan data penelitian melalui uraian-uraian, verifikasi, dan sumber-sumber data penelitian menjadi rangkaian kalimat yang utuh. Metode penelitian deskriptif kualitatif dipilih karena penulis mengidentifikasi serta mendeskripsikan masalah-masalah yang berkenaan dengan keberagaman budaya bahasa masyarakat daerah pesisir melalui wawancara. Selanjutnya, penulis memperoleh data bagaimana persepsi yang muncul dari para penutur bahasa Indonesia ketika menerima tuturan yang tidak santun. 3.4. Subyek Obyek Penelitian (Informan penelitian) 3.4.1 Informan pokok Pada penelitian ini informan pokoknya adalah pedagang di kawasan Pasar Pantai Bengkulu dan sekaligus menjadi obyek penelitian. 3.4.2 Informan kunci Pada penelitian ini, peneliti juga memilih pedagang lainnya di kawasan Pasar Pantai Bengkulu sebagai informan kunci namun bukanlah menjadi objek dalam penelitian ini. 3.5 Teknik pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi, wawancara, dan teknik catat. Penulis terlebih dahulu mengobservasi dengan mengamati situasi dan keadaan lingkungan, kemudian melakukan wawancara kepada pedagang, untuk mendapatkan informasi yang relevan. Terakhir langkah dilakukan dengan teknik catat, yaitu mencatat semua informasi yang diberikan dari mahasiswa yang telah diwawancara .Selanjutnya, proses pengumpulan data sebagai berikut: 3.5.1 Teknik Observasi Observasi partisipasi akan dilakukan sepanjang, pada saat, dan sebelum proses penelitian berlangsung di kawasan pasar pantai pesisir Bengkulu dengan cara wawancara bertahap maksudnya ialah peneliti mencoba melakukan pendekatan dengan pedagang dengan cara turut serta membeli dagangan yang dijual oleh si pedagang terus menerus selama proses penelitian. Setelah data didapatkan, selanjutnya mengobservasi situasi dan keadaan. Melalui teknik ini peneliti akan mendapatkan data tentang keberagaman budaya bahasa antar masyarakat di daerah Pasar Pantai Bengkulu. 3.5.2 Teknik Wawancara Setelah hasilnya ditranskripsi selanjutnya dengan mewawancaraimasyarakat yang berada di daerah Pasar Pantai Bengkulu. 3.5.3 Teknik Catat Hasil dari proses wawancara tersebut kemudian ditranskripsi beserta konteks yang dituturkan oleh informan. Setelah itu, akan didapatkan data tentang wujud keberagaman budaya bahasa antar masyarakat di daerah Pasar Pantai Bengkulu. 3.6 Teknik Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini peneliti lakukan dengan analisis data model interaktif. Artinya sebagai peneliti kualitatif sebenarnya analisis telah dilakukan sejak mula tema penelitian ini dikeluarkan, dirancang, dicari datanya dilapangan dan setelah semua data terkumpul. 3.7 Teknik Pengolahan Data Pengolahan data dilakukan dengan menganalisis data, kemudian data hasil wawancara yang telah didapat selanjutnya data hasil wawancara tersebut diklasifikasikan berdasarkan aspek keanekaragaman bahasa yang terjadi pada masyarakat daerah Pasar Pantai Bengkulu. 3.7.1. Tabel Kegiatan Penelitian Kegiatan Hasil : a). Penyusunan Draf Penelitian; b) Pengumpulan data; c). Pemilahan Informan; d) Pengambilan data; e) Wawancara; f.) Mengidentifikasikan perbedaan pada tataran keanekaragaman bahasamasyarakat daerah pesisir. 3.8 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di kawasan Pasar Pantai Bengkulu sehingga penelitian ini dapat menjadi gambaran tentang keberagamaan budaya bahasa yang terdapat pada masyarakat setempat dengan alasan di daerah pasar pantai Bengkulu banyaknya masyarakat yang berasal dari berbagai macam daerah, tidak hanya dari daerah asli Bengkulu saja. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi wilayah penelitian Penelitian yang kami lakukan ini terletak di wilayah pesisir pantai Bengkulu, lebih tepatnya di daerah Pasar Pantai Bengkulu. Adapun wilayah penelitian kami tersebut lebih didominasi oleh para pedagang dan para nelayan tetapi kami berfokus kepada para pedagang di daerah kawasan pesisir pantai Bengkulu. Daerah Pasar Pantai Bengkulu yang menjadi tempat penelitian kami ini selalu ramai dilalui kendaraan karena terletak dekat dengan obyek wisata pantai panjang kota Bengkulu. 4.2 Profile Informan Penelitian Profile informan dari penelitian yang kami lakukan ini berfokus kepada pedagang di kawasan pasar pantai pesisir Bengkulu. Informan 1 : Informan ini adalah seorang wanita bernama Nurhidayah bertubuh luas, berkulit agak gelap berumur 42 tahun dan pekerjaannya sehari-hari adalah pedagang makanan di daerah kawasan pantai pesisir Bengkulu. Ia menjual udang goreng, kepiting goreng, tahu goreng dan masih banyak lagi. Wanita ini merupakan masyarakat asli pesisir pantai Bengkulu, yang sudah lama tinggal dan menetap disana. Ia tinggal persis dipinggiran jalan tepat di pasar pantai Bengkulu. Tempat berdagang yang ia gunakan sekaligus menjadi tempat tinggalnya dan keluarganya. Informan 2 : Informan kedua ini bernama ibu Ngudiah berumur 48 tahun bertubuh luas, berambut ikal dan berkulit gelap. Ia merupakan pedagang lotek dan berbagai macam gorengan di kawasan Pasar Pantai Bengkulu. Ia merupakan transmigran dari pulau Jawa dan sudah 4 tahun menetap di pasar pantai Bengkulu dan berprofesi sebagai pedagang. 4.3 Temuan hasil penelitian 4.3.1 Pola penggunaan bahasa pada interaksi sosial masyarakat pasar pantai Bengkulu. Dari wawancara yang kami lakukan selama beberapa hari di kawasan Pasar Pantai Bengkulu, kami dapat mendeskripsikan hasil dari penelitian kami mengenai “Pola Pengguna-an Bahasa Pada Masyarakat Daerah Pesisir” dimana menurut informan yang telah kami wawancarai bahwa penduduk di daerah kawasan pasar pantai Bengkulu tersebut tidak semuanya berdomisili asli orang Bengkulu, melainkan ada juga orang-orang dari luar daerah Bengkulu atau transmigrasi. Tidak hanya berasal dari pulau Sumatera saja, melainkan ada yang berasal dari pulau Jawa. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakaat di kawasan pasar pantai pesisir Bengkulu saling menghargai dan menghormati satu sama lain, dan mereka juga menyesuaikan bagaimana cara berbicara dan bertutur kata dalam penggunaan bahasa di daerah pasar pantai Bengkulu walaupun banyak juga terdapat orang-orang berasal dari luar kota bengkulu namun masyarakat tidak menemukan kesulitan dalam berinteraksi satu sama lainnya. Masyarakat di kawasan pasar pantai Bengkulu tersebut tidak begitu sulit memahami dan berinteraksi dengan anggota masyarakat lainnya di kawasan tersebut, karena mereka juga sudah lebih dulu mengenal karakteristik masyarakat di kawasan tersebut, jadi dalam penggunaan bahasa tidak begitu sulit untuk mereka pahami satu sama lain. 4.3.2. Pembahasan. Dari hasil penelitian ini, kami menemukan bahwa masyarakat di kawasan Pasar Pantai Bengkulu saling menghormati. Mereka hidup dengan damai. Tidak saling menyakiti satu sama lain. Para pendatang dari luar daerah saling menyesuaikan diri dengan penduduk asal. Pada saat berinteraksi dengan masyarakat asli di sekitar pemukiman, mereka melakukan dramaturgi, dimana pada saat berbicara dengan masyarakat sekitar atau dengan para pembeli mereka tetap menggunakan bahasa Bengkulu, tetapi jika sedang berada di rumah dan berbicara dengan keluarganya mereka sering kali menggunakan bahasa daerahnya. Contohnya pada informan kedua, ibu Ngudiah yang merupakan transmigran dari pulau Jawa, saat berbicara dengan masyarakat sekitar kawasan pasar pantai Bengkulu atau ketika sedang melayani pembeli (termasuk peneliti) ia menggunakan bahasa bengkulu atau bahasa Indonesia, tetapi jika berada di rumah di lingkungan keluarganya atau berkomunikasi dengan anggota keluarga , ia menggunakan bahasa jawa walaupun itu pada saat berdagang. Mereka mengikuti kebiasaan masyarakat sekitar agar bisa diterima dengan baik dan mencoba bertukar simbol – simbol dengan masyarakat yang lainnya. Tetapi pada saat mereka berkomunikasi dengan anggota keluarganya mereka menggunakan bahasa daerah asal. Mereka melakukan ambivalensi dengan tujuan agar mereka tidak kehilangan kebudayaan asli mereka. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Setelah melakukan penelitian peneliti menyimpulkan bahwa masyarakat Pasar Pantai Bengkulu saling berinteraksi menggunakan bahasa asli masyarakat pesisir pasar pantai bengkulu. Tetapi, ketika mereka berkomunikasi dengan anggota komunitasnya (orang – orang yang berasal dari satu daerah), mereka menggunakan bahasa asli daerah mereka. Saat masyarakat pendatang melakukan interaksi dengan orang diluar komunitasnya (masyarakat asli atau dengan komunitas yang lainnya) mereka mencoba untuk menghilangkan kebiasaan asli mereka. Mereka melakukan dramaturgis agar bisa diterima dan membaur dengan masyarakat asli daerah Pasar Pantai Bengkulu. 5.2. Saran Sehubungan dengan masalah yang peneliti temukan selama penelitian, maka peneliti menyarankan agar masyarakat Pasar Pantai Bengkulu tetap berinteraksi dengan baik antar satu sama lain. DAFTAR PUSTAKA • Effendy, Onong Uchjana. 1993. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra Aditya Bakti. • Tubbs, Stewart L., Sylvia Moss. 2004. Human Communication, Konteks-Konteks Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. • Prista. 2011. Teori Dramaturgi Erving Goffman.http://pristality.wordpress.com/2011/11/29/teori-dramaturgi-erving-goffman/ • Mulyana, deddy. 2010. Ilmu Komunikasi. Suatu Pengantar. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. • Mulyana, Deddy., Solatun. 2008. Metode Penelitian Kualitatif, Contoh-contoh Metode Penelitian Kualitatif Dengan pendekatan Praktis. Bandung : PT Remaja Rosdakarya • Mulyana, Deddy. 2010. Metode Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. • www.google.com Budaya Nasional Budaya Indonesia adalah seluruh kebudayaan nasional, kebudayaan lokal, maupun kebudayaan asal asing yang telah ada di Indonesia sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945. Kebudayaan nasional adalah kebudayaan yang diakui sebagai identitas nasional. Definisi kebudayaan nasional menurut TAP MPR No.II tahun 1998, yakni : “ Kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila adalah perwujudan cipta, karya dan karsa bangsa Indonesia dan merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa, serta diarahkan untuk memberikan wawasan dan makna pada pembangunan nasional dalam segenap bidang kehidupan bangsa. Dengan demikian Pembangunan Nasional merupakan pembangunan yang berbudaya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Wujud, Arti dan Puncak-Puncak Kebudayaan Lama dan Asli bagi Masyarakat Pendukungnya, Semarang: P&K, 199 ” Kebudayaan nasional dalam pandangan Ki Hajar Dewantara adalah “puncak-puncak dari kebudayaan daerah”. Kutipan pernyataan ini merujuk pada paham kesatuan makin dimantapkan, sehingga ketunggalikaan makin lebih dirasakan daripada kebhinekaan. Wujudnya berupa negara kesatuan, ekonomi nasional, hukum nasional, serta bahasa nasional. Definisi yang diberikan oleh Koentjaraningrat dapat dilihat dari peryataannya: “yang khas dan bermutu dari suku bangsa mana pun asalnya, asal bisa mengidentifikasikan diri dan menimbulkan rasa bangga, itulah kebudayaan nasional”. Pernyataan ini merujuk pada puncak-puncak kebudayaan daerah dan kebudayaan suku bangsa yang bisa menimbulkan rasa bangga bagi orang Indonesia jika ditampilkan untuk mewakili identitas bersama. Nunus Supriadi, “Kebudayaan Daerah dan Kebudayaan Nasional” Pernyataan yang tertera pada GBHN tersebut merupakan penjabaran dari UUD 1945 Pasal 32. Dewasa ini tokoh-tokoh kebudayaan Indonesia sedang mempersoalkan eksistensi kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional terkait dihapuskannya tiga kalimat penjelasan pada pasal 32 dan munculnya ayat yang baru. Mereka mempersoalkan adanya kemungkinan perpecahan oleh kebudayaan daerah jika batasan mengenai kebudayaan nasional tidak dijelaskan secara gamblang. Sebelum di amandemen, UUD 1945 menggunakan dua istilah untuk mengidentifikasi kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional. Kebudayaan bangsa, ialah kebudayaan-kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagi puncak-puncak di daerah-daerah di seluruh Indonesia, sedangkan kebudayaan nasional sendiri dipahami sebagai kebudayaan bangsa yang sudah berada pada posisi yang memiliki makna bagi seluruh bangsa Indonesia. Dalam kebudayaan nasional terdapat unsur pemersatu dari Banga Indonesia yang sudah sadar dan mengalami persebaran secara nasional. Di dalamnya terdapat unsur kebudayaan bangsa dan unsur kebudayaan asing, serta unsur kreasi baru atau hasil invensi nasional.[1] Kebudayaan Daerah Unsur Budaya Nasional Definisi Budaya Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk dan, adat istiadat, perkakas, dan karya. sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha ber dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistime-waannya sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti "individualisme kasar" di "keselarasan individu dengan " d dan "kepatuhan kolektif" di . Citra budaya yang brsifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dan nilai yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermar-tabat dan pertalian dengan hidup mereka. Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkin-kannya meramalkan perilaku orang lain. Kebudayaan nasional adalah kebudayaan yang diakui sebagai identitas nasional. Definisi kebudayaan nasional menurut TAP MPR No.II tahun 1998, yakni: “ Kebudayaan nasional yang berlandaskan adalah perwujudan cipta, karya dan karsa bangsa dan merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa, serta diarahkan untuk memberikan wawasan dan makna pada pembangunan nasional dalam segenap bidang kehidupan bangsa. Dengan demikian Pembangunan Nasional merupakan pembangunan yang berbudaya.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Wujud, Arti dan Puncak-Puncak Kebudayaan Lama dan Asli bai Masyarakat Pendukukungnya, Semarang: P&K, 199 ” Kebudayaan nasional dalam pandangan adalah “puncak-puncak dari kebudayaan daerah”. Kutipan pernyataan ini merujuk pada paham kesatuan makin dimantapkan, sehingga ketunggalikaan makin lebih dirasakan daripada kebhinekaan. Wujudnya berupa negara kesatuan, ekonomi nasional, hukum nasional, serta. Definisi yang diberikan oleh Koentja-raningrat dapat dilihat dari peryataannya: “yang khas dan bermutu dari suku bangsa mana pun asalnya, asal bisa mengidentifikasikan diri dan menimbulkan rasa bangga, itulah kebudayaan nasional”. Pernyataan ini merujuk pada puncak-puncak kebudayaan daerah dan kebudayaan suku bangsa yang bisa menimbulkan rasa bangga bagi orang Indonesia jika ditampilkan untuk mewakili identitas bersama. Nunus Supriadi, “Kebudayaan Daerah dan Kebudayaan Nasional” Pernyataan yang tertera pada tersebut merupakan penjabaran dari Pasal 32. Dewasa ini tokoh-tokoh kebudayaan Indonesia sedang mempersoalkan eksistensi kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional terkait dihapuskannya tiga kalimat penjelasan pada pasal 32 dan munculnya ayat yang baru. Mereka mempersoalkan adanya kemungkinan perpecahan oleh kebudayaan daerah jika batasan mengenai kebudayaan nasional tidak dijelaskan secara gamblang. Sebelum di amandemen, menggunakan dua istilah untuk mengidentifikasi kebudayaan daerah dan . Kebudayaan bangsa, ialah kebudayaan-kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagi puncak-puncak di daerah-daerah di seluruh Indonesia, sedangkan kebudayaan nasional sendiri dipahami sebagai kebudayaan angsa yang sudah berada pada posisi yang memiliki makna bagi seluruh bangsa Indonesia. Dalam kebudayaan nasional terdapat unsur pemersatu dari Banga Indonesia yang sudah sadar dan menglami persebaran secara nasional. Di dalamnya terdapat unsur kebudayaan bangsa dan unsur kebudayaan asing, serta unsur kreasi baru atau hasil invensi nasional. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradsional, Kongres Kebudayaan 1991: Kebudayaan Nasional Kini dan di Masa Depan, Kebudayaan daerah diartikan sebagai kebudayaan yang khas yang terdapat pada wilayah tersebut. Kebudayaan daerah di Indonesia di Indonesia sangatlah beragam. Menurut Koentjaraningrat kebudayaan daerah sama dengan konsep suku bangsa. Suatu kebudayaan tidak terlepas dari pola kegiatan masyarakat. Keragaman budaya daerah bergantung pada faktor geografis. Semakin besar wilayahnya, maka makin komplek perbedaan kebudayaan satu dengan yang lain. Jika kita melihat dari ujung pulau Sumatera sampai ke pulau Irian tercatat sekitar 300 suku bangsa dengan bahasa, adat-istiadat, dan agama yang berbeda. Konsep Suku Bangsa / Kebudayaan Daerah. Tiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang dapat berwujud sebagai komunitas desa, sebagai kota, sebagai kelompok kekerabatan, atau kelompok adat yang lain, bisa menampilkan suatu corak khas yang terutama terlihat orang luar yang bukan warga masyarakat bersangkutan. Sebaliknya, terhadap kebudayaan tetangganya, ia dapat melihat corak khasnya, terutama unsur-unsur yang berbeda menyolok dengan kebudayaannya sendiri. Pola khas tersebut berupa wujud sistem sosial dan sistem kebendaan. Pola khas dari suatu kebudayaan bisa tampil karena kebudayaan itu menghasilkan suatu unsur yang kecil berupa berupa suatu unsur kebudayaan fisik dengan bentuk yang khusus yang tidak terdapat pada kebudayaan lain. Indonesia memiliki banyak suku bangsa dengan perbedaan-perbedaan kebudayaan, yang tercermin pada pola dan gaya hidup masing-masing. Menurut Clifford Geertz, di Indonesia terdapat 300 suku bangsa dan menggunakan kurang lebih 250 bahasa daerah. Akan tetapi apabila ditelusuri, maka sesungguhnya berasal dari rumpun bahasa Melayu Austronesia. Kriteria yang menentukan batas-batas dari masyarakat suku bangsa yang menjadi pokok dan lokasi nyata suatu uraian tentang kebudayaan daerah atau suku bangsa (etnografi) adalah sebagai berikut: • Kesatuan masyarakat yang dibatasi oleh satu desa atau lebih. • Kesatuan masyarakat yang batasnya ditentukan oleh identitas penduduk sendiri. • Kesatuan masyarakat yang ditentukan oleh wilayah geografis (wilayah secara fisik) • Kesatuan masyarakat yang ditentukan oleh kesatuan ekologis. • Kesatuan masyarakat dengan penduduk yang mempunyai pengalaman sejarah yang sama. • Kesatuan penduduk yang interaksi di antara mereka sangat dalam. • Kesatuan masyarakat dengan sistem sosial yang seragam. Perbedaan-perbedaan ini menimbulkan berbagai kebudayaan daerah yang berlainan, terutama yang berkaitan dengan pola kegiatan ekonomi mereka dan perwujudan kebudayaan yang dihasilkan untuk mendukung kegiatan ekonomi tersebut (cultural activities), misalnya nelayan, pertanian, perdagangan, dan lain-lain. Pulau yang terdiri dari daerah pegunungan dan daerah dataran rendah yang dipisahkan oleh laut dan selat, akan menyebabkan terisolasinya masyarakat yang ada pada wilayah tersebut. Akhirnya mereka akan mengembangkan corak kebudayaan yang khas dan cocok dengan lingkungan geografis setempat. Dengan beribu-ribu gugus kepulauan, beraneka ragam kekayaan serta keunikan kebudayaan, menjadikan masyarakat Indonesia yang hidup diberbagai kepulauan itu mempunyai ciri dan coraknya masing-masing. Hal tersebut membawa akibat pada adanya perbedaan latar belakang, kebudayaan, corak kehidupan, dan termasuk juga pola pemikiran masyarakatnya. Kenyataan ini menyebabkan Indonesia terdiri dari masyarakat yang beragam latar belakang budaya, etnik, agama yang merupakan kekayaan budaya nasional dengan kata lain bisa dikatakan sebagai masyarakat multikultural. Secara fisik penduduk Indonesia dibagi menjadi beberapa golongan : o Golongan orang Papua Melanosoid. Golongan penduduk ini bermukim di pulau Papua, Kei, dan Aru. Mereka mempunyai ciri fisik seperti rambut keriting, bibir tebal, dan berkulit hitam. o Golongan orang Mongoloid. Berdiam di sebagian besar kepulauan Indonesia, khususnya di kepulauan Sunda Besar (kawasan Indonesia barat), dengan ciri-ciri rambut ikal dan lurus, muka agak bulat, kulit putih hingga sawo matang. o Golongan Vedoid, antara lain orang-orang Kubu, Sakai, Mentawai, Enggano, dan Tomura, dengan ciri-ciri fisik bertubuh relatif kecil, kulit sawo matang, dan rambut berombak. Dari perbedaan golongan tersebut, ada pola sistem yang khas dari bangsa Indonesia. Untuk kebudayaan nasional bisa dihubungkan dengan kebudayaan timur yang menjadi dasar landasan kebudayaan daerah. Kebudayaan nasional dapat dilihat dari pola sistem hidup masyarakatnya, seperti sifat keramah-tamahan, kekeluargaan, kerakyatan , kemanusiaan dan gotong royong. Sifat-sifat inilah yang dapat dilihat dari kebudayaan nasional yang dilihat oleh bangsa lain sebagai ciri kebudayaan Indonesia. Meskipun gotong royong setiap daerah istilahnya berbeda, tetapi secara pengertian sama artinya. Bangsa Indonesia mempunyai peribahasa berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, sama rata sama rasa. Ungkapan ini mencerminkan bangsa Indonesia sejak dulu menjunjung tinggi kebersamaan dalam melaksanakan pekerjaan, dan menikmati hasilnya. Sumber: http://redu4nebarkaoi.wordpress.com/2008/05/07/kebudayaan-daerah-dan-kebudayaan-nasional/ Ciri khas budaya indonesia dan berkepribadian pancasila • Budaya Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya Indonesia adalah seluruh kebudayaan nasional, kebudayaan lokal, maupun kebudayaan asal asing yang telah ada di Indonesia sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945. Kebudayaan daerah tercermin dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di seluruh daerah di Indonesia. Setiap daerah memilki ciri khas kebudayaan yang berbeda. Kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila adalah perwujudan cipta, karya dan karsa bangsa Indonesia dan merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa, serta diarahkan untuk memberikan wawasan dan makna pada pembangunan nasional dalam segenap bidang kehidupan bangsa. Dengan demikian Pembangunan Nasional merupakan pembangunan yang berbudaya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Wujud, Arti dan Puncak-Puncak Kebudayaan Lama dan Asli bagi Masyarakat Pendukungnya, Semarang: P&K, 199 Kebudayaan nasional dalam pandangan Ki Hajar Dewantara adalah “puncak-puncak dari kebudayaan daerah”. Kutipan pernyataan ini merujuk pada paham kesatuan makin dimantapkan, sehingga ketunggalikaan makin lebih dirasakan daripada kebhinekaan. Wujudnya berupa negara kesatuan, ekonomi nasional, hukum nasional, serta bahasa nasional. Definisi yang diberikan olehKoentjaraningrat dapat dilihat dari peryataannya: “yang khas dan bermutu dari suku bangsa mana pun asalnya, asal bisa mengidentifikasikan diri dan menimbulkan rasa bangga, itulah kebudayaan nasional”. Pernyataan ini merujuk pada puncak-puncak kebudayaan daerah dan kebudayaan suku bangsa yang bisa menimbulkan rasa bangga bagi orang Indonesia jika ditampilkan untuk mewakili identitas bersama. Nunus Supriadi, “Kebudayaan Daerah dan Kebudayaan Nasional” Pernyataan yang tertera pada GBHN tersebut merupakan penjabaran dari UUD 1945 Pasal 32. Dewasa ini tokoh-tokoh kebudayaan Indonesia sedang mempersoalkan eksistensi kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional terkait dihapuskannya tiga kalimat penjelasan pada pasal 32 dan munculnya ayat yang baru. Mereka mempersoalkan adanya kemungkinan perpecahan oleh kebudayaan daerah jika batasan mengenai kebudayaan nasional tidak dijelaskan secara gamblang. Sebelum di amandemen, UUD 1945 menggunakan dua istilah untuk mengidentifikasi kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional. Kebudayaan bangsa, ialah kebudayaan-kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagi puncak-puncak di daerah-daerah di seluruh Indonesia, sedangkan kebudayaan nasional sendiri dipahami sebagai kebudayaan bangsa yang sudah berada pada posisi yang memiliki makna bagi seluruh bangsa Indonesia. Dalam kebudayaan nasional terdapat unsur pemersatu dari Banga Indonesia yang sudah sadar dan mengalami persebaran secara nasional. Di dalamnya terdapat unsur kebudayaan bangsa dan unsur kebudayaan asing, serta unsur kreasi baru atau hasil invensi nasional Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.[1] Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.  Ciri – ciri kebudayaan di Indonesia Keanekaragaman adat istiadat, agama, seni, budaya, dan bahasa yang berkembang di Indonesia melahirkan adanya kebudayaan nasional dan kebudayaan daerah. Kebudayaan daerah memiliki ciri khas tersendiri. Namun, secara keseluruhan ciri khas tersebut mengandung banyak unsur kesamaan yang melahirkan kebudayaan nasional. 1. Ciri-ciri kebudayaan nasional Kebudayaan nasional adalah kebudayaan seluruh rakyat Indonesia. Merupakan puncak kebudayaan daerah. Ciri-ciri kebudayaan nasional adalah sebagai berikut: a) Mengandung unsur budaya daerah yang sifatnya diakui secara nasional. b) Mencerminkan nilai luhur dan kepribadian bangsa. c) Merupakan kebanggaan seluruh rakyat Indonesia. d) Mengandung unsur-unsur yang mempersatukan bangsa. Contoh kebudayaan nasional antara lain sifat gotong royong, pakaian nasional yaitu kebaya dan batik, serta bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia. Semuanya itu menjadi identitas khas bangsa Indonesia. Suatu kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Pancasila sebagai kepribadian bangsa. Di Era globalisasi yang sedang terjadi seperti sekarang ini , cenderung melebur semua identitas menjadi satu, yaitu tatanan dunia baru. Masyarakat Indonesia ditantang untuk makin memperkokoh jatidirinya. Bangsa Indonesia pun dihadapkan pada problem krisis identitas . faktanya sering kita jumpai masyarakat Indonesia yang dari segi perilaku sama sekali tidak menampakkan identitas mereka sebagai masyarakat Indonesia. Padahal bangsa ini mempunyai identitas yang jelas, yang berbeda dengan kapitalis dan komunis, yaitu PANCASILA. Maka, seharusnya seluruh perilaku, sikap, dan kepribadian adalah berlandaskan kepada nilai-nilai Pancasila. Dengan begitu kita bias menjadi bangsa yang besar tetapi masyarakat Indonesia tidak menampilkan identitas ini sesungguhnya berarti Pancasila tidak dilaksanakan dalam berkehidupan di masyarakat, seolah tidak adanya apresiasi yang dilandaskan jiwa nasionalisme oleh bangsa ini, sungguh ironis. Pancasila sebagai kepribadian bangsa Indonesia diwujudkan dalam sikap mental dan tingkah laku serta amal perbuatan sikap mental. Sikap mental dan tingkah laku mempunyai cirri khas artinya dapat dibedakan dengan bangsa lain. Ciri khas ini lah yang dimaksud dengan “KEPRIBADIAN”. Bangsa indonesia secara jelas dapat dibedakan dari bangsa-bangsa lain. Apabila kita memperhatikan tiap sila dari pancasila, maka akan tampak dengan jelas bahwa tiap sila pancasila itu adalahpencerminan dari bangsa kita.terdapat kemungkinan bahwa tiap tiap sila bersifatUNIVERSAL yang juga dimiliki oleh bangsa-bangsa lain di dunia ini, akan tetapi kelima sila yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan itulah yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Oleh karena itu yang terpenting adalah bagaimana kita memahami, menghayati dan mengamalkannya dalam kehidupan. Tanpa ini maka pancasila hanyalah sekedar rangkaian kata – kata yang tercantum dalam UUD 1945 yang merupakan perumusan yang beku dan mati serta tidak memiliki arti penting dalam kehidupan bangsa Indonesia Kebudayaan Daerah Merupakan Sumber Kebudayaan Nasional Membicarakan kebudayan daerah di Indonesia mungkin tidak ada habisnya karena banyaknya dan beragamnya kebudayaan daerah di Indonesia , yang tersebar dari sabang hinga marauke. Kebudayaan Indonesia yang beragam itu menjadikan kita bangga menjadi warga Negara Indonesia. Kebudayaan nasional itu dapat di artikan menurut menurut TAP MPR No.II tahun 1998, yakni: Kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila adalah perwujudan cipta, karya dan karsa bangsa Indonesia dan merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa, serta diarahkan untuk memberikan wawasan dan makna pada pembangunan nasional dalam segenap bidang kehidupan bangsa. Dengan demikian Pembangunan Nasional merupakan pembangunan yang berbudaya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Wujud, Arti dan Puncak-Puncak Kebudayaan Lama dan Asli bai Masyarakat Pendukukungnya, Semarang: P&K, 199. Kebudayaan nasional dalam pandangan Ki Hajar Dewantara adalah “puncak-puncak dari kebudayaan daerah”. Kutipan pernyataan ini merujuk pada paham kesatuan makin dimantapkan, sehingga ketunggalikaan makin lebih dirasakan daripada kebhinekaan. Wujudnya berupa negara kesatuan, ekonomi nasional, hukum nasional, serta bahasa nasional. Definisi yang diberikan oleh Koentjaraningrat dapat dilihat dari peryataannya: “yang khas dan bermutu dari suku bangsa mana pun asalnya, asal bisa mengidentifikasikan diri dan menimbulkan rasa bangga, itulah kebudayaan nasional”. Pernyataan ini merujuk pada puncak-puncak kebudayaan daerah dan kebudayaan suku bangsa yang bisa menimbulkan rasa bangga bagi orang Indonesia jika ditampilkan untuk mewakili identitas bersama.Nunus Supriadi, “Kebudayaan Daerah dan Kebudayaan Nasional”. Kebudayaan daerah adalah asal mula dari kebudayaan nasional, bermula dari kebudayaan-kebudayaan yang ada di daerah daerah di seluruh Indonesia terbentuklah kebudayaan nasional sebagai indentitas bangsa Indonesia . Alasan kebudayaan daerah bisa menjadi kebudayaan nasional : • Kebudayaan daerah adalah titik cikal bakal terbentuknya negara Indonesia. • Keanekaragaman budaya lokal yang ada di Indonesia. • Kebudayaan lokal yang dimiliki tiap daerah memiliki kekuatan sendiri. • Kepercayaan orang-orang di daerah masih terlihat mistik, ini menjadi hal yang unik di mata negara luar. • Kebudayaan daerah sebagai tiang dari keberadaan budaya nasional. • Kesatuan budaya daerah sebagai identitas keberadaan di negara Indonesia. Konsep Suku Bangsa / Kebudayaan Daerah. Tiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang dapat berwujud sebagai komunitas desa, sebagai kota, sebagai kelompok kekerabatan, atau kelompok adat yang lain, bisa menampilkan suatu corak khas yang terutama terlihat orang luar yang bukan warga masyarakat bersangkutan. Sebaliknya, terhadap kebudayaan tetangganya, ia dapat melihat corak khasnya, terutama unsur-unsur yang berbeda menyolok dengan kebudayaannya sendiri. Pola khas tersebut berupa wujud sistem sosial dan sistem kebendaan. Pola khas dari suatu kebudayaan bisa tampil karena kebudayaan itu menghasilkan suatu unsur yang kecil berupa berupa suatu unsur kebudayaan fisik dengan bentuk yang khusus yang tidak terdapat pada kebudayaan lain. Indonesia memiliki banyak suku bangsa dengan perbedaan-perbedaan kebudayaan, yang tercermin pada pola dan gaya hidup masing-masing. Menurut Clifford Geertz, di Indonesia terdapat 300 suku bangsa dan menggunakan kurang lebih 250 bahasa daerah. Akan tetapi apabila ditelusuri, maka sesungguhnya berasal dari rumpun bahasa Melayu Austronesia. Kriteria yang menentukan batas-batas dari masyarakat suku bangsa yang menjadi pokok dan lokasi nyata suatu uraian tentang kebudayaan daerah atau suku bangsa (etnografi) adalah sebagai berikut:  Kesatuan masyarakat yang dibatasi oleh satu desa atau lebih.  Kesatuan masyarakat yang batasnya ditentukan oleh identitas penduduk sendiri.  Kesatuan masyarakat yang ditentukan oleh wilayah geografis (wilayah secara fisik).  Kesatuan masyarakat yang ditentukan oleh kesatuan ekologis.  Kesatuan masyarakat dengan penduduk yang mempunyai pengalaman sejarah yang sama.  Kesatuan penduduk yang interaksi di antara mereka sangat dalam.  Kesatuan masyarakat dengan sistem sosial yang seragam. Indonesia memiliki banyak suku bangsa dengan perbedaan-perbedaan kebudayaan, yang tercermin pada pola dan gaya hidup masing-masing. Menurut Clifford Geertz, di Indonesia terdapat 300 suku bangsa dan menggunakan kurang lebih 250 bahasa daerah. Akan tetapi apabila ditelusuri, maka sesungguhnya berasal dari rumpun bahasa Melayu Austro-nesia. Menurut Koentharaningrat (1996; 80). Dalam menganalisa suatu kebudayaan, seorang ahli antropologi membagi seluruh kebudayaan yang sudah terintegrasi ke dalam unsur-unsur besar yang disebut “unsur-unsur kebudayaan universal”. Kluckhohn (dalam Koenthara-ningrat, 1996; 80-81), menemukan bahwa terdapat tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia yang disebut sebagai isi pokok dari setiap kebudayaan, yaitu : 1) Bahasa; 2) Sistem organisasi; 3) Organisasi sosial; 4) Sistem peralatan hidup dan teknologi; 5) Sistemmata pencaharian hidup; 6) Sistem religi; 7) Kesenian. Referensi : http://redu4nebarkaoi.wordpress.com/2008/05/07/kebudayaan-daerah-dan-kebudayaan-nasional/ http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Indonesia http://bagusajibon.blogspot.com/2012/03/kebudayaan-daerah-merupakan-sumber.html http://rzaharani.blogspot.com/2012/03/kebudayaan-daerah-merupakan-sumber.html Wetu Telu Pura Lingsar, Lombok Barat di sekitar tahun 1920 Wetu Telu (bahasa Indonesia :Waktu Tiga) adalah praktik unik sebagian masyarakat suku Sasak yang mendiami pulau Lombok dalam menjalankan agama Islam. Ditengarai bahwa praktik unik ini terjadi karena para penyebar Islam pada masa lampau, yang berusaha mengenalkan Islam ke masyarakat Sasak pada waktu itu secara bertahap, meninggalkan pulau Lombok sebelum mengajarkan ajaran Islam dengan lengkap[1]. Saat ini para penganut Wetu Telu sudah sangat berkurang, dan hanya terbatas pada generasi-generasi tua di daerah tertentu, sebagai akibat gencarnya para pendakwah Islam dalam usahanya meluruskan praktik tersebut. Sejarah : Sebelum masuknya Islam, masyarakat yang mendiami pulau Lombok berturut-turut menganut kepercayaan animisme, dinamisme kemudian Hindu. Islam pertama kali masuk melalui para wali dari pulau Jawa yakni sunan Prapen pada sekitar abad XVI, setelah runtuhnya kerajaan Majapahit. Bahasa pengantar yang digunakan para penyebar tersebut adalah bahasa Jawa Kuno. Dalam menyampaikan ajaran Islam, para wali tersebut tidak serta merta menghilangkan kebiasaan lama masyarakat yang masih menganut kepercayaan lamanya. Bahkan terjadi akulturasi antara Islam dengan budaya masyarakat setempat, karena para penyebar tersebut memanfaatkan adat-istiadat setempat untuk mempermudah penyampaian Islam. Kitab-kitab ajaran agama pada masa itu ditulis ulang dalam bahasa Jawa Kuno. Bahkan syahadat bagi para penganut Wetu Telu dilengkapi dengan kalimat dalam bahasa Jawa Kuno. Pada masa itu, yang diwajibkan untuk melakukan peribadatan adalah para pemangku adat atau kiai saja. Dalam[1] disampaikan dugaan bahwa praktik tersebut bertahan karena para wali yang menyebarkan Islam pertama kali tersebut, tidak sempat menyelesaikan ajarannya, sehingga masyarakat waktu itu terjebak pada masa peralihan. Para murid yang ditinggalkan tidak memiliki keberanian untuk mengubah praktik pada masa peralihan tersebut ke arah praktik Islam yang lengkap. Hal itulah salah satu penyebab masih dapat ditemukannya penganut Wetu Telu pada masa modern. Dalam masyarakat lombok yang awam menyebut kepercayaan ini dengan sebutan "Waktu Telu" sebagai akulturasi dari ajaran islam dan sisa kepercayaan lama yakni animisme, dinamisme,dan kerpercayaan Hindu.Selain itu karena penganut kepercayaan ini tidak menjalankan peribadatan seperti agama Islam pada umumnya (dikenal dengan sebutan "Waktu Lima" karena menjalankan kewajiban salat Lima Waktu).Yang wajib menjalankan ibadah-ibadah tersebut hanyalah orang-orang tertentu seperti kiai atau pemangku adat (Sebutan untuk pewaris adat istiadat nenek moyang). Kegiatan apapun yang berhubungan dengan daur hidup (kematian,kelahiran,penyembelihan hewan,selamatan dsb) harus diketahui oleh kiai atau pemangku adat dan mereka harus mendapat bagian dari upacara-upacara tersebut sebagai ucapan terima kasih dari tuan rumah. Lokasi Lokasi yang terkenal dengan praktik Wetu Telu di Lombok adalah daerah Bayan, yang terletak di Kabupaten Lombok Utara. Pada lokasi ini masih dapat ditemukan masjid yang digunakan oleh para penganut Wetu Telu. Ada juga sebuah tempat yang digunakan oleh umat berbagai agama untuk berdoa.Namanya "Kemaliq" yang artinya tabu,suci dan sakral.terletak di desa Lingsar Kabupaten Lombok Barat yang setiap tahun mengadakan sebuah upacara adat yang bernama "Upacara Pujawali Dan Perang Topat" sebagai wujud rasa syukur atas hujan yang diberikan Tuhan YME pada umat manusia. Referensi 1. Pulau Lombok dalam Sejarah, H. Lalu Lukman, cetakan 4 2007. Pranala luar : • (Indonesia) Teropong: Gaung Grantung di Barong Bira • (Inggris) From Ancestor Worship to Monotheism: Politics of Religion in Lombok • (Inggris) Wetu Telu : A very different brand of Islam in Lombok Akulturasi budaya masa Islam di Indonesia Sebelum Islam masuk dan berkembang, Indonesia sudah memiliki corak kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha seperti yang pernah Anda pelajari pada modul sebelumnya. Dengan masuknya Islam, Indonesia kembali mengalami proses akulturasi (proses bercampurnya dua (lebih) kebudayaan karena percampuran bangsa-bangsa dan saling mempengaruhi), yang melahirkan kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam Indonesia. Masuknya Islam tersebut tidak berarti kebudayaan Hindu dan Budha hilang. Bentuk budaya sebagai hasil dari proses akulturasi tersebut, tidak hanya bersifat kebendaan/material tetapi juga menyangkut perilaku masyarakat Indonesia. Untuk lebih memahami wujud budaya yang sudah mengalami proses akulturasi dapat Anda simak dalam uraian materi berikut ini. A. Akulturasi Bentuk Fisik 1. Seni Bangunan a) Masjid Wujud akulturasi dalam seni bangunan dapat terlihat pada bangunan masjid, makam, istana. Untuk lebih jelasnya silahkan Anda simak gambar 1.1 berikut ini. Masjid Aceh merupakan salah satu masjid kuno di Indonesia. Wujud akulturasi dari masjid kuno memiliki ciri sebagai berikut: 1) Bentuk Bangunan Kebanyakan masjid di Indonesia terutama di Jawa berbentuk seperti pendopo yang berbentuk bujur sangkar. Selain itu atap masjid berbentuk tumpang. Ini merupakan perpaduan dengan Hindu dimana tumpang dalam agama Hindu menghiasi pura. Atap ini sangat berbeda dengan atap-atap masjid di Timur Tengah sebagai asal Islam. Akan tetapi dalam Idlam tidak ada aturan khusus dalam masalah atap masjid, yang terpenting dapat dijadikan sebagai tempat sholat. Atap ini juga selalu ganjil, yaitu 3 atau 5. 2) Manara Menara berfungsi sebagai tempat untuk menyerukan azan. Menara merupakan salah satu kelengkapan masjid. Akan tetapi di Indonesia hanya masjidKudus dan banten saja yang memiliki menara. Menara msjid Kudus terbuat dari terakota yang tersusun seperti candi sedangkan di Banten bentuk menara yang lebih menyerupai mercusuar Eropa. 3) Letak Masjid Selain bentuk masjid dan menara, letak masjid juga memiliki keunikan. Penemptan masjid di Indonesia terutama masjid jami’ letaknya sesuai dengan tata letak macapat, yaitu masjid diletakkan disebelah barat alun-alun dekat dengan istana (keraton) yang emrupakan symbol tempat bersatunya rakyat dengan rajanya. Sebenarnya penempatan majid dalam Islam tidak diatur secara khusus. Selain itu penempatan masjid diletakkan dekat dengan makam. Letak yang seperti ini terutama untuk makam raja-raja. Contoh masjid kuno lain Masjid Agung Demak, Masjid Gunung Jati (Cirebon), Masjid Kudus dan sebagainya. 2. Makam Selain bangunan masjid sebagai wujud akulturasi kebudyaan Islam, juga terlihat pada bangunan makam. makam Sendang Duwur berikut ini. Makam Sendang Duwur (Tuban), yang berciri-ciri dari wujud akulturasi pada bangunan makam terlihat dari : Makam-makam kuno dibangun di atas bukit atau tempat-tempat yang keramat. Makamnya terbuat dari bangunan batu yang disebut dengan Jirat atau Kijing, nisannya juga terbuat dari batu. Di atas jirat biasanya didirikan rumah tersendiri yang disebut dengan cungkup atau kubba. Dilengkapi dengan tembok atau gapura yang menghubungkan antara makam dengan makam atau kelompok-kelompok makam. Bentuk gapura tersebut ada yang berbentuk kori agung (beratap dan berpintu) dan ada yang berbentuk candi bentar (tidak beratap dan tidak berpintu). Di dekat makam biasanya dibangun masjid, maka disebut masjid makam dan biasanya makam tersebut adalah makam para wali atau raja. 3. Seni Ukir Dalam agama Islam ada larangan untuk melukiskan makhluk hidup terutama manusia. Seni pahat di Indonesia sangat berkembang pesat pada zaman purba, akan tetapi masuk zaman madya (Islam), seni ini tidak berkembang lagi. Maka dari itu, pada zaman ini kepandaian memahat hanya terbatas pada seni ukir saja. Seni ukir pun sudah disamarkan sehingga tidak lagi menyerupai makhluk hidup. Banyak pola-pola yang diambil dari zaman purba, yaitu pola daun-daunan, bunga-bungaan, bukit karang, pemandangan dan garis-garis geometri. Huruf-huruf Arab juga ikut meramaikan tradisi ukir yang masuk ke dalam pola. Pola-pola ini sering sekali digunakan untuk menyamarkan lukisan makhluk hidup. Ukiran-ukiran biasannya menghiasi makam-makam, sedangkan pada masjid hanya tedapat di mimbarnya saja. Ukir-ukiran di makam dapat ditemui pada jirat, gapura dan cungkup. Di Indonesia ada masjid yang memiliki ukiran samar dari zaman madya, yaitu masjid mantingan di Jepara. 4. Istana Bangunan istana arsitektur yang dibangun pada awal perkembangan Islam, juga memperlihatkan adanya unsur akulturasi dari segi arsitektur ataupun ragam hias, maupun dari seni patungnya contohnya istana Kasultanan Yogyakarta dilengkapi dengan patung penjaga Dwarapala (Hindu). Demikianlah contoh wujud akulturasi pada seni bangunan untuk selanjutnya simak contoh wujud akulturasi yang berikutnya. 5. Seni Rupa Tradisi Islam tidak menggambarkan bentuk manusia atau hewan. Seni ukir relief yang menghias Masjid, makam Islam berupa suluran tumbuh-tumbuhan namun terjadi pula Sinkretisme (hasil perpaduan dua aliran seni logam), agar didapat keserasian, misalnya ragam hias pada gambar 1.3. ditengah ragam hias suluran terdapat bentuk kera yang distilir. Kera yang disamarkan. Ukiran ataupun hiasan, selain ditemukan di masjid juga ditemukan pada gapura-gapura atau pada pintu dan tiang. Untuk hiasan pada gapura dapat Anda simak kembali. 6. Kesusasteraan Kesusasteraan zaman madya berkembang di daerah selat Malaka, akan tetapi perkembangnya tidak sebesar kesusasteraan zaman purba (Hindu-Budha). Hal ini dikarenakan tidak ada tempat khusus untuk melestarukannya seperti kesusasteraan purba yang masih tersimpan rapi di Bali. Kesusasteraan zaman madya yang ada saat ini sebagaian besar merupakan hasil gubahan baru. Hal ini menyebabkan kesusasteraan zaman madya sulit diturutkan kepada perjalanan sejarah sehingga hanya dapat dibagi-bagi menurut golongannya saja. Walaupun demikian pembagian tersebut tidak dapat dilakukan secara tegas krena suatu naskah dapat masuk dalam 2 golongan. Kesusasteraan zaman madya tidak terlepas dari pengaruh Hindu-Budha. Bahan-bahan dari kesusasteraan zaman purba merupakan kelanjutan sastra purba terutama di Jawa. Banyak gubahan-gubahan sastra purba berkembang di zaman madya. Gubahan-gubahan sastra ini biasanya ditulis dalam bentuk gancaran dan tembang. Cerita-cerita yangditulis dalam bentuk gancaran disebut hikayat, sedangkan yang ditulis dalam tembang disebut syair. Di daerah Melayu karya sastra banyak yang ditulis dengan menggunakan huruf Arab, sedangkan di Jawa ditulis dalam huruf Jawa walaupun ada juga yang menggunakan huruf Arab terutama yang berkaitan dengan soal-soal keagamaan. Kesusasteraan zaman madya berdasarkan sifatnya dapat dibagi menjadi : a) Hikayat Hikayat merupakan cerita atau dongeng yang biasanya penuh dengan krajaiban dan kenehan. Tidak jarang pula hikayat berpangkal pada tokoh-tokoh sejarah dan peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi. Contoh : hikayat Raja-Raja pasai, Hikalyat Salasih, Hikayat Perak, Hikayat si MIskin, Hikayat Hang Tuah. b) Babad Babad merupakan dongeng yang sengaja diubah sebagai cerita sejarah. Dalam babad tokoh, tempat dan peristiwa hamper semuanya ada dalam sejarah, tetapi penggambarannya dilakukan secara berlebihan. Contoh : babad Tanah Jawi, babad Cirebon, Babad Giyanti, Babad Pakepung. c) Suluk Suluk merupakan kitab-kitab yang menguraikan soal tasawuf. Kitab suluk sangat menarik karena sifatnya pantheisme, yang menjelaskan tentang bersatunya manusia dengan Tuhan (Manunggaling Kawulo lan Gusti). Beberpa pujangga yang menulis suluk diantaranya adalah Ronggowarsito, Hamzah Fansuri, Sunan Bonang dan Syaekh Yusuf. d) Kitab primbon Kitab primbon memiliki kedekatan dengan suluk. Primbon menerangkan tentang kegaiban. Berisi ramalan-ramalan, penentuan hari baik dan buruk, dan pemberian makna pada suatu kejadian. Contoh : Kitab primbon Bataljemur Adammakna, kitab primbon Lukman Hakim. 7. Kesenian Di beberapa tempat di Indonesia terdapat bentuk-bentuk tarian yang berkaiatn dengan bacaan sholawat dan dalam tarian biasanya dipengaruhi oleh tasawuf (paham sufi). a) Debus Kesenian Debus erat kaitannya dengan penyebaran agama Islam di Indonesia. Debus merupakan kesenian bela diri guna memupuk rasa percaya diri. Debus berasal dari kata gedebus (almadad). Filosofi dari debus ini adalah kepasrahan kepada pencipta yang menyebabkan mereka memiliki kekuatan untuk menghadapi bahaya. Tari debus ini dimulai dengan menyanyikan sholawat yang kemudian diteruskan dengan menusukkan benda tajam ketubuh penari, dan penari tersebut tidak terluka sedikitpun. Tari Debus ini berkembang di Banten, Minangkabau dan Aceh. b) Tari Seudati Tari Seudati merupakan jenis tarian yang berasal dari aceh. Tarian ini sering disebut tari Saman. Seudati berasal dari kata Syaidati yang berarti permaianan orang-orang besar. Disebut sebagai tari saman karena mula-mula permainan ini dimainkan oleh delapan orang. Dalam tari Seudati para pnari menyanyikan lagu tertentu yang berupa sholawat. c) Gamelan/ Wayang Wayang dan alat musiknya sering disebut senbagai gamelan. Wayang merupakan kebudayaan asli Indonesia. Dengan masuknya Islam wayang beserta alat musiknya tidaklah musnah begitu saja, justru tetap dilestarikan. Banyak cerita-cerita yang digubah dan dimainkan menggunakan gamelan, begitu juga dalam Islam, untuk memudahkan penyeba-rannya cerita-cerita Hindu Budha dirubah dalam cerita Islam. Kalimasada merupakan sesuatu yang telah mewarnai dunia pewayangan. Wali Sanga sebagai pnyebar agama di Jawa juga menggunakan media wayang dalam penyebaran Islam. d) Aksara Dengan masuknya Islam, dalam bidang aksara juga ikut terpengaruhi. Huruf yang berkembang adalah huruf Hijriah (aksara Arab). Di Indonesia huruf Arab tersebut diolah menjadi lebih sederhana menjadi huruf Arab yang dipakaidi daerah-daerah dengan percampuran menggunakan bahasa daerah setempat. Bunyi dari tulisan menggunakan bahasa setempat (Aceh, Melayu, Sunda dan Jawa), tetapi akasaranya mengunakan aksara Arab. Secara keseluruhan tulisan yang demikian disebut dengan Arab Gundul atau Arab Gondil. Sedangkan di Jawa dan Sunda disebut Arab Pegon. Sampai saat ini huruf Arab Pegon masih digunakan oleh sebagain masyarakat di Indonesia. Masyarakat penggunanya terutama berasal dari daerah pesisir dan kalangan pesantren-pesantren tradisional. Penggunaan huruf atau bahasa Pegon itu misalnya saja dalam kitab-kitab keagamaan dan matra-mantra. e) Sistem Kalender Sebelum budaya Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia sudah mengenal Kalender Saka (kalender Hindu) yang dimulai tahun 78M. Dalam kalender Saka ini ditemukan nama-nama pasaran hari seperti legi, pahing, pon, wage dan kliwon. Setelah berkembangnya Islam Sultan Agung dari Mataram menciptakan kalender Jawa, dengan menggunakan perhitungan peredaran bulan (komariah) seperti tahun Hijriah (Islam). Pada kalender Jawa, Sultan Agung melakukan perubahan pada nama-nama bulan seperti Muharram diganti dengan Syuro, Ramadhan diganti dengan Pasa. Sedangkan nama-nama hari tetap menggunakan hari-hari sesuai dengan bahasa Arab. Dan bahkan hari pasaran pada kalender saka juga dipergunakan. Kalender Sultan Agung tersebut dimulai tanggal 1 Syuro 1555 Jawa, atau tepatnya 1 Muharram 1053 H yang bertepatan tanggal 8 Agustus 1633 M. Untuk mengetahui bentuk kalender jawa tersebut. • Akulturasi Bentuk Non-Fisik a) Sistem Pemerintahan Dalam pemerintahan juga terdapat akulturasi antara kebudayaaan Islam dan kebudayaan pra Islam. Bentuk akulturasi tersebut terlihat dalam penyebutan nama raja dan system pengangkatan raja. - Penyebutan nama raja : Masuknya Islam menimbulkan perubahan dalam penyebutan raja. Penguasa suatu negeri pada masa pra Islam disebut sebagai raja, akan tetapi dengan masuknya Islam dipanggil sultan, sunan, susuhunan, panembahan dan maulana. Nama raja juga disesuaikan dengan nama Islam (Arab). Akan tetapi di Jwa masih digunakan nama Jawa. Selain itu muncul suatu tradisi baru, yaitu pemakaian nama dan gelar raja secara berturut-turut. Untuk membedakan antara raja maka dibelakang nama ditambah dengan angka urutan, misalnya Hamengku Buwono I,II,III dst. - Sistem pengangkatan raja : Walaupun Islam telah masuk, akan tetapi dalam pengangkatan seorang raja cara lama tidak ditinggalkan. Sebagai contohnya adalah di Kesultanan Aceh. Di Kesultanan Aceh pengangkatan raja diatur dalam permufakatan dengan hokum adapt. Tata caranya adalah berdiri di atas tabal, kemudian disertai ulama sambil membawa al-Quran berdiri di sebelah kanan, sedangkan perdana menteri dengan membawa peadang berdiri di sebelah kiri. Hal ini hamper sama dengan di Jwa, system pengangkatan raja berdasarkan permufakatan yang tidak melepaskan perabnan wali, hanya saja tidak menggunakan rangkaian acara seperti berdiri di atas tabal. - Kedudukan Raja : Pada masa Hindu Budha raja merupakan tokoh yang identik dengan dewa, sehingga melekatlah kata-kata “kultus dewa raja”. Pada zaman Islam kutus dewa raja tidak berlaku lagi. Hal ini dikarenakan ajaran Islam menolak bahawa manusia sama dengan Tuhan. Ajaran Islam menempatakan raja dalam kedudukan yang tidak semulia dan seagung zaman Hindu Budha, melainkan sebagai kalipatullah (wali Tuhan di dunia). Penghapusan kultus dewa raja tidaklah mengurangi tuntutan pokok, yaitu kekuasaan raja mutlak terhadap atas seluruh rakyat. Sultan sebagai tokoh yang menguasai rakyat dan dapat menghubungkan dengan alam gaib. Manusia yang dijadikan wakil akan mendapat tanda-tanda khusus dari Tuhan dalam bentuk perlambang. Seorang raja harus memiliki legitimasi dari Tuhan. Bentuk legitimasi di Jawa disebut dengan pulung atau wahyu (cahaya nurbuat). Karena raj menduduki posisi sentral makan seluruh aparat pemerintahan merupakan perpanjangan kekuasaan raja. b) Filsafat / Tasawuf Filsafat dapat diartikan sebgai pikiran untuk mencari kebenaran yang hakiki. Orang Islam kemudian merumuskan kebenaran melalui pendektan tasawuf. Tasawuf dalam perekembangan gama Islam adalah perlajaran yang berisi soal-soal ketuhanan, berkaitan dengan hasrat manusia yang didorong oleh rasa cinta terhadap Tuhan sehingga mereka selalu berusaha mendekati-Nya, yaitu dengan mencari hungan langsung melalui jalan-jalan suci. Bentuk-bentuk akulturasi dalam bidang Tasawuf yaitu ; • Aliran kebatinan : Usaha-usaha untuk mendekatkan diri dengan Tuhan ini disebut dengan Manunggaling Kawula lan Gusti. Contohnya adalah tokoh sufi Syeh Siti Jenar. Ajaran-ajaranSyeh Siti Jenar banyak diwarnai oleh unsure-unsur budaya pra Islam. Ajaran yang disampaikan ditolak oleh para wali yang lain karena dianggap menyesatkan ajaran Islam. • Charisma wali : Wali sebagai penyebar agam Islam memiliki kelebihan-kelebihan hkarisma yang luar biasa yang oleh masyarakat disebut sebagai kesaktian. Kelebihan para wali dalam mengajarkan tasawuf merupakan daya tarik tersendiri bagi keberhasilan penyebaran agama Islam di Indonesia. c) Upacara-Upacara • Pernikahan Pernikahan merupakan salah satu contoh institusi social yang terdapat dalam masyarakat. Secara garis besar perniakahan diberbagai daerah di Indonesia sama, yaitu adanya akad nikah dan walimahan (pesta).dalam perniakahan juga telah berakulturasi dengan kebudayaan pra Islam. Di dalam ajaran Islam pernikahan selalu dipanjatkan doa-doa yang menggunakan bahasa Arab. Walaupun demikian, atar daerah mempunyai tradisi yang berbeda-beda dalam prosesi pernikahan. Misalnya saja di Sumatra, tradisi tersebut diantaranya adalah diadakannya selamatan dengan berbagai macam sajian makanan sebagai ungkapan syuikur kepada Allah. Pesta ini melibatkan dua kelompok, yaitu pembaca doa dan pembaca Al-Quran. Dalam tradisi ini juga memadukan unsure-unsur adapt, seperti perlambang dan kiasan dalam makanan yang disajikan. Selain itu ada pula tradisi yang mengharuskan seorang wanita memegang daun berisi beras dalam pernikanan . Daun berisi beras merupakan perlambang unsure alam. Tujuan ini meruapkan persiapam dari proses kelahiran seorang anak. Pernikahan juga terakulturasikan dalam budaya Jawa. Seangai pelengkap prosesi pernikahan adapt Jawa diadakan siraman, selamatan, sesaji dan benda-benda perlambang yang harus diikutkan dalam prosesi upacara perniakahan. Sebenarnya selamatan dan sesaji merupakan warisan tradisi Hindu Budha yang masih berkembang dalam masyarakat samapi saat ini. Selain itu dalam pakaian pengantinpun juga mendapatkan akutasi dua budaya, antara Islam dan pra Islam. Akulturasi dalam perniakhan tidak hany terjadi di Sumatra dan Jawa saja, akan tetapi juga terjadi di berbagai daewrah di Indonesia yang tentunya memiliki tradisi yang berbeda-beda. • Kelahiran Dengan masuknya budaya Islam ternyata juga berpengaruh pada proses kelahiran seorang bayi. Sebagai contohnya kelahiran di Aceh terutama di daerah Gayo. Tradisi menuju proses kelahiran dimulai sejak pernikahan, dimana seorang wanita harus memegang daun berisi beras. Daun berisi beras merupakan perlambang unsure alam. Maksud dari tradisi tersebut yaitu, ketika seorang ibu nantinya mengandung dan melahirkan anak, maka secara tidak langsung telah memperkenalkan anak terhadap dunia luar dan memohon keselamatan dari berbagai bahaya yang mungkin dating. Sedangkan di Jawa, prosesi kelahiran dimulai dengan upacara mitoni. Upacara ini dilakukan pada saat usia kandungan 7 bulan. Dalam upacara tersebut calon ibu melakukan siraman untuk melindungi bayi dan ibunya dari bahaya. Sedangkan dalam Islam, roh kehidupan masuk kedalam janin pada sat usia kandungan sekitar 4 bulan. Akulturasi diantara keduanya terlihat dalam doa-doa yang dibacakan. Setelah bayi lahir, masyarakat jawa baiasanya melakukan sepasaran dan selapanan. Upacara ini dilakukan ketika bayi berumur sepasar (5 hari) dan selapanan (35 hari). Dan sebagai ungkapan syukur atas kelahiran bayi, maka diadakan selamtan dengan melakukan pembagian sedekah berupa nsi tumpeng dengan urapan sayuran. Selain itu dikenal pula tradisi aqiqa. Tradisi ini bersumber pada ajaran Nabi Muhammad SAW untuk menyembelih domba bagi anak yang baru lahir. Aqiqa dialksanakan ketika bayi berusia 7 hari. Akan tetapi dengan adanya akulturasi tardisi aqiqa dalam pelaksanaannya dilakukan bersaman dengan sepasaran dan selapanan. Hal ini berbeda dengan tradisi di Sualwesi. Pada acara aqiqa dialnjutkan dengan upacara pemotongan rambut. Akuturasi kelahiran sama halnya dengan pernikahan, yaitu setiap daerah memiliki tradisi yang berbeda-beda yang telah tecapur dengan tradisi Islam. • Pemakaman / Kematian Pemakaman dalam Islam tidak serumit tata upacara pemakaman di Indonesia. Di Indonesia setelah jenazah dikuburkan maka akan diadakan selamtan. Selamatan dimulai dengan hitungan hari ke-3, hari ke-7, hari ke-40, hari ke-100 dan hari ke-1000. Selamtan hari ke-1000 (3 tahun) dinggap sebgai selmtan penutupan dan bebaslah keluarga yang ditinggalkan. Tradisi ini sesungguhnya dari Hindu, yang masih dipegang teguh dan dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia. Selamatan di hari ke-1000 sama denagn upacara srada dalam agama Hindu. Akulturasi yang lain adalah kebiasaan memasukkan jenasah dalam peti. Kebiasaan ini merupakan warisan zaman megalitikum, yaitu kubur batui dan sarkofagus yang masih hidup sampai saat ini. • Sekaten Di Jawa ada pula grebeg mauled Nabi dalam rangka memperingati hari kelahiran nabi. Dalam acara tersebut dilantunkan nyanyian-nyanyianh, pji-pujian yang ditujuakan kepada nabi Muhammad SAW. Selain itu dilakukan pula berbagai kegiatan yang mengiringinya. Misalnya saja di Yogyakarta ditambahi dengan pertunjukan gamelan dan pencucian benda-benda pusaka, ada pula acara gunungan, yaiatu membawa makanan berbentuk gunug dalam tanpah besar dari alun-alun menuju masjid. Sedangkan di Cirebon cara Maulud dilengkapi dengan upacara pembagian nasi yang dibuat dari berswa yang ditumbuk, tetapi dikupas satu persatu sebanyak satu periuk yang dimasak khusus. • Selamatan Upacara selamatan dalam bentuik kenduri dilakukan masyrakat Jawa pada waktu tertentu. Mislanya knduri pada tanggal 10 Muharram, Maulud nabi, Ruwahan (Nyadran) dan pada hari Raya Idul Fitri. Kenduri/ selamtan dilakukan dengan beberapa anggota masyarakat yang berkumpul sambil mengitari berbagai jenis makanan dan saji-sajian. Pada waktu itu dibacakan doa menurut ajaran Islam oleh seorang modin kaum. Sedangkan kenduri dan perelengkapan yang menyertainya bukan merupakan budaya Islam. • Sistem Keagamaan Proses akuturasi antara agama dan budaya Islam dan Pra Islam mengembangkan corak kehidupan keagamaan yang khas.misalnya saja tradisi pemakaman dengan segala atribut yang serba menonjol yang sebenarnya tidak ada dalam ajaran Islam. Islam juga tidak mengenal kegiatan perkabungan dalam bentuk persedekahan. Diluar kewajiban untuk memperlakukan jenasah, mulai dari memandikan samapai dengan upacara pemakaman, tidak dikenal peringatan kematian. Selain itu ada pula kebaisaan yang telah mendapat akulturasi, yaitu kebiasaan menabuh bedug menjelang hari Raya sebagai tanda bahwa Hari Raya Idul Fitri telah dating. Memukul bedug merupakan kebiasaan zaman dahulu, karena nenek moyang kita telah memiliki kebiasaan memukul suatu media untuk memanggil atau mengumpulkan orang, baik dalam keadaan bahaya maupun upacara-upacara keagamaan. Ada pula kebiasaan yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam, yaitu wektu telu di lombok. Mereka melaksanakan sholat tidak seperti orang muslim lainnya yaitu sholat 5 waktu, tetapi mereka melakukan sholat tiga waktu. Wektu telu ini merupakan Islam ortodoks yantg telah bercampur dengan budaya kejawen dan hindu Bali. Olah karena itu wektu telu dapat dipandang sebagai sekte yang berpegang pada kebiasaan tradisional (adat) dan syariah. http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-masa-islam-di-indonesia/ Sebagian kaum muslimin agak sulit membedakan antara Islam dengan budaya Arab. Sehingga sering terjadi salah paham terhadap kedua hal tersebut. Budaya Arab terkadang diangggap sebagai Islam, dan sebaliknya Islam dianggap sebagai budaya Arab. Hal ini perlu kita pelajari lebih dalam agar kita dapat membedakan antara agama dan produk budaya. Sebelum Islam diturunkan diseluruh negeri, dunia diliputi oleh kebodohan dan kegelapan yang merata di segala lini kehidupan. Kehidupan mereka kala itu jauh dari ilmu, karena memang agama terakhir saat itu yaitu Nasrani. Kehidupan di seluruh negeri saat itu tidak terlepas dari syirik, khurafat dan sebagainya sesuai dengan latar belakang budayanya masing-masing. Zaman itulah yang kita kenal dengan istilah zaman jahiliyyah. Kemudian datanglah Islam dengan membawa wahyu Allah SWT, yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Islam datang sebagai “pengkritik” segala budaya-budaya yang ada di dunia. Kritik yang dilakukan Islam adalah dalam rangka menyempurnakan akhlaq manusia agar mereka dapat menciptakan kehidupan yang benar-benar manusiawi, baik akhlaq sebagai makhluq kepada Allah sebagai Khaliqnya (pencipta) yang diistilahkan juga dengan hablum minallah, maupun akhlaq antara sesama manusia atau hablum minan naas. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq-akhlaq yang mulia.” (H.R. Bukhari dan Ahmad. Lihat Silsilah ash-Shahihah 15). Fungsi Islam sebagai pengkritik ini pertama kali dijalankan sejak pertama kali Islam itu turun ke muka bumi ini. Berhubung Islam turun di Arab, maka pihak yang pertama kali dikritik oleh Islam adalah budaya Arab. Ketika itu bangsa Arab sebagaimana bangsa-bangsa yang lainnya adalah bangsa yang tenggelam dalam berbagai kerusakan akhlaq, mereka gemar berperang baik antar suku maupun antar qabilah. Mereka juga gemar meminum khamr, judi dan mereka memperlakukan wanita layaknya seperti barang, dan kerusakan terbesar pada saat itu adalah perbuatan mereka yang beribadah kepada Allah namun juga beribadah kepada selain Allah (Syirik), dan masih banyak lagi kerusakan-kerusakan akhlaq lainnya pada masa itu yang menjadikan kehidupan mereka jauh dari sifat manusiawi yang hakiki. Maka mulailah Islam menjalankan fungsinya sebagai pengkritik. Di mulai dari hal yang terpenting yang menjadi prioritas utama yaitu kerusakan akhlaq manusia terhadap Allah yaitu perbuatan syirik. Dimana asas-asas budaya Arab yang saat itu mengandung unsur-unsur kesyirikan, dan segala kemaksiatan, semuanya dikoreksi total oleh Islam dan diganti dengan asas-asas yang berlandaskan ketauhidan kepada Allah, hingga akhirnya bangsa Arab berubah dari bangsa yang penuh dengan kesyirikan, khurafat dan sebagainya tadi, menjadi bangsa yang muwahhid (mentauhidkan Allah Ta`ala). Demikianlah fungsi koreksi tersebut masuk ke semua lini kehidupan dan budaya bangsa Arab, hingga akhirnya masyarakat dan budaya Arab itu tunduk kepada Islam. Oleh sebab itu bangsa Arab justru kemudian menjadi bangsa yang paling pertama merasakan serangan kritik dan koreksi dari Islam. Kemudian fungsi kritik itu terus meluas masuk ke negara-negara sekitarnya seperti Persia, Romawi dan akhirnya sampai ke Indonesia. Maka tidak ada pilihan lain bagi masyarakat atau budaya suatu bangsa, ketika Islam masuk ke sana, sementara mereka mengkui Islam sebagai agamanya, maka orang-orang disana harus siap untuk dikritik oleh Islam dan siap berubah dari seorang musyrik menjadi seorang muwahhid (orang yang bertauhid), apapun latar belakang budaya ataupun bangsanya. Islam sesungguhnya memiliki konsep bagaimana berinteraksi dengan budaya-budaya di luar Islam. Islam mempersilahkan siapapun untuk mengemukakan pandangan-pandangan ataupun melakukan tindakan-tindakan budaya seperti apapun, asalkan tidak melanggar ketentuan halal-haram, pertimbangan mashlahat (kebaikan) dan mafsadat (kerusakan), serta prinsip al Wala` (kecintaan yang hanya kepada Allah dan apa saja yang dicintai Allah) dan al Bara` (berlepas diri dan membenci dari apa saja yang dibenci oleh Allah), dimana ketiga prinsip inilah yang menjadi jati diri dan prinsip umat Islam yang tidak boleh diutak-atik dalam berinteraksi dengan budaya-budaya lain diluar Islam. Sehingga dari ketiga prinsip ini akan lahir sebuah Kebudayaan Islam, dimana kebudayaan Islam ini selalu memiliki satu ciri khusus yang tidak dimiliki oleh budaya dan bangsa manapun diluar Islam, yakni budaya yang berasaskan Tauhidul `Ibadah Lillahi Wahdah (mempersembahkan segala bentuk peribadatan hanya kepada Allah). Sehingga selama prinsip-prinsip dan asas tersebut tidak dilanggar, maka kita dipersilahkan seluas-luasnya untuk berhubungan ataupun mengambil manfaat dari bangsa-bangsa dan budaya manapun di luar Islam. Sebab segala sesuatu yang ada dimuka bumi ini, baik itu sifatnya ilmu pengetahuan maupun materi (yang selain perkara agama tentunya), itu semua memang diciptakan oleh Allah untuk kita umat manusia, khususnya kaum muslimin, walaupun berasal dari orang-orang kafir. Sebagaimana firman Allah SWT: Dialah (Allah), yang telah menciptakan segala yang ada dibumi ini untuk kalian…(Q.S. Al Baqarah [2]: 29)Maka sesungguhnya kedudukan budaya Arab itu sama dengan budaya Persia, Romawi, Melayu, Jawa dan sebagainya di mana budaya-budaya tersebut adalah pihak yang harus siap dikritik oleh Islam ketika Islam telah masuk ke negeri-negeri tersebut.Maka tidak benar jika dikatakan Islam (seperti jilbab, kerudung dan sebagainya) adalah produk budaya Arab. Sebab justru budaya Arab adalah budaya yang paling pertama dikritik dan dikoreksi oleh Islam sebelum budaya-budaya yang lainnya. Maka apa saja yang telah diterangkan oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai agama, maka itulah Islam. Sementara segala sesuatu yang tidak diterangkan oleh Allah dan RasulNya dalam perkara agama, maka itu bukanlah Islam, meskipun perkara tersebut telah menjadi kebiasaan dan populer pada masyarakat Arab atau masyarakat Islam yang lainnya. Sebab, Arab tidaklah sama dengan Islam, dan sebaliknya Islam tidaklah serupa dengan Arab. Akan tetapi budaya Arab dan budaya-budaya yang lainnya yang mau tunduk kepada Islam, maka itulah yang pantas dinamakan budaya Islam. (Sumber : Al-Qur’an Terjemah) Islam Wetu Telu, Sasak, Lombok A. Islam Wetu Telu Sejarah Islam Wetu Telu di Lombok Wetu Telu (bahasa Indonesia:Waktu Tiga) adalah praktik unik sebagian masyarakat suku Sasak yang mendiami pulau Lombok dalam menjalankan agama Islam. Ditengarai bahwa praktik unik ini terjadi karena para penyebar Islam di masa lampau, yang berusaha mengenalkan Islam ke masyarakat Sasak pada waktu itu secara bertahap, meninggalkan pulau Lombok sebelum mengajarkan ajaran Islam dengan lengkap[1]. Saat ini para penganut Wetu Telu sudah sangat berkurang, dan hanya terbatas pada generasi-generasi tua di daerah tertentu, sebagai akibat gencarnya para pendakwah Islam dalam usahanya meluruskan praktik tersebut. Sejarah Sebelum masuknya Islam, masyarakat yang mendiami pulau Lombok berturut-turut menganut kepercayaan animisme, dinamisme kemudian Hindu. Islam pertama kali masuk melalui para wali dari pulau Jawa yakni sunan Prapen pada sekitar abad XVI, setelah runtuhnya kerajaan Majapahit. Bahasa pengantar yang digunakan para penyebar tersebut adalah bahasa Jawa Kuno. Dalam menyampaikan ajaran Islam, para wali tersebut tidak serta merta menghilangkan kebiasaan lama masyarakat yang masih menganut kepercayaan lamanya. Bahkan terjadi akulturasi antara Islam dengan budaya masyarakat setempat, karena para penyebar tersebut memanfaatkan adat-istiadat setempat untuk mempermudah penyampaian Islam. Kitab-kitab ajaran agama pada masa itu ditulis ulang dalam bahasa Jawa Kuno. Bahkan syahadat bagi para penganut Wetu Telu dilengkapi dengan kalimat dalam bahasa Jawa Kuno. Pada masa itu, yang diwajibkan untuk melakukan peribadatan adalah para pemangku adat atau kiai saja. Dalam[1] disampaikan dugaan bahwa praktik tersebut bertahan karena para wali yang menyebarkan Islam pertama kali tersebut, tidak sempat menyelesaikan ajarannya, sehingga masyarakat waktu itu terjebak pada masa peralihan. Para murid yang ditinggalkan tidak memiliki keberanian untuk mengubah praktik pada masa peralihan tersebut ke arah praktik Islam yang lengkap. Hal itulah salah satu penyebab masih dapat ditemukannya penganut Wetu Telu di masa modern. Dalam masyarakat lombok yang awam menyebut kepercayaan ini dengan sebutan “Waktu Telu” sebagai akulturasi dari ajaran islam dan sisa kepercayaan lama yakni animisme,dinamisme,dan kerpercayaan Hindu.Selain itu karena penganut kepercayaan ini tidak menjalankan peribadatan seperti agama Islam pada umumnya (dikenal dengan sebutan “Waktu Lima” karena menjalankan kewajiban salat Lima Waktu).Yang wajib menjalankan ibadah-ibadah tersebut hanyalah orang-orang tertentu seperti kiai atau pemangku adat (Sebutan untuk pewaris adat istiadat nenek moyang). Kegiatan apapun yang berhubungan dengan daur hidup (kematian,kelahiran,penyembelihan hewan,selamatan dsb) harus diketahui oleh kiai atau pemangku adat dan mereka harus mendapat bagian dari upacara-upacara tersebut sebagai ucapan terima kasih dari tuan rumah. Lokasi Lokasi yang terkenal dengan praktik Wetu Telu di Lombok adalah daerah Bayan, yang terletak di Kabupaten Lombok Barat. Pada lokasi ini masih dapat ditemukan masjid yang digunakan oleh para penganut Wetu Telu. Ada juga sebuah tempat yang digunakan oleh umat berbagai agama untuk berdoa.Namanya “Kemaliq” yang artinya tabu,suci dan sakral. terletak di desa Lingsar Kabupaten Lombok Barat yang setiap tahun mengadakan sebuah upacara adat yang bernama “Upacara Pujawali Dan Perang Topat” sebagai wujud rasa syukur atas hujan yang diberikan Tuhan YME pada umat manusia Referensi Pulau Lombok dalam Sejarah, H. Lalu Lukman, cetakan 4 2007 Retrieved from: http://zaenudinmansyur.wordpress.com/2010/09/21/hello-world/Ramadhan Wetu Telu Bentar lagi udah masuk bulan suci Ramadhan, bulan dimana umat muslim sedunia melakukan ibadah puasa selama satu bulan penuh. Bulan yang penuh berkah, penuh pengampunan, penuh dengan pahala (*terune berdakwah* ..hehe). Kalo di Lombok gimana? ya samalah, semua juga berpuasa.. enak aja elu2 sendiri pade dapet pahala. Nggak salah dong Lombok dikenal dengan pulau seribu masjidnya, jadi bulan ramadhan lebih meriah disana. Tapi sebentar dulu…, ada niy.. saat orang2 pada puasa ternyata ada beberapa desa di Lombok yang cuek aja mamah sirih (bhs lombok=nginang, bhs jawa=susur). Kok bisa? Iya, mereka itu penganut Wetu Telu alias serba tiga ribu.. ehh bukan deng, maksudnya semua ibadahnya hanya sebanyak 3 kali. Sembahyang cuma 3 kali, jadi di bulan Ramadhan juga mereka cuma puasa 3 hari doang… enak ya.. wkakakaaa, Sssstt.. ga boleh ikut2 hehe, itu hanya utk mereka aja kok. Di beberapa desa yang menganut kepercayaan ini seperti di desa Bayan, kemudian komunitas di desa Senaru, tidak peduli bulan Ramadhan ataupun bulan-bulan lainnya semua warganya baik lelaki maupun perempuan tetap aja memamah sirih pada pagi, siang, ataupun sore hari. Benernya apa siy kepercayaan Wetu Telu? Banyak persepsi tentang Islam Wetu Telu. Ada yang menilai pemeluknya belum sepenuhnya menerima ajaran Islam, ada juga yang menilai pemeluknya masih mencampuradukkan dengan nilai-nilai Hindu dan Budha dalam ibadahnya. Wetu telu adalah adat turun-temurun yang hingga sekarang tetap terpelihara dan harus dituruti pemeluknya. Jadi ibadah menurut mereka disesuaikan dengan adat leluhur, mereka ibadah juga sekaligus upacara adat. Mereka melakukan upacara adat di setiap hari Minggu, Rabu, dan Jumat. Saya tidak akan terlalu banyak membahas kepercayaan Wetu Telu ini, yang penting adalah meskipun bertolak belakang dengan pemahaman saya, meskipun mereka orang2 yg aneh hehehehe.. (*maap*) tetapi bagaimanapun mereka juga bagian dari budaya dan adat suku sasak Lombok serta bagian dari komunitasku juga.. (Retrieved from: http://terune.wordpress.com/2007/08/24/ramadhan-wetu-telu/) Islam dan Kebudayaan Akulturasi Islam dan Budaya Sasak (Nelung, Mituq, Nyiwaq, dan Nyongkolan) dalam Perspektif Al-Qur’an Surat Al-Hujarat Ayat 13 (Oleh: Riadussolihin). Islam dan Akulturasi Budaya Agama Islam sebagai sebuah sistem kepercayaan yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sejak 14 abad yang lalu merupakan agama yang memiliki karateristik tersendiri dibandingkan dengan agama-agama samawi yang turun sebelum masa kerasulan beliau seperti agama Yahudi dan Nasrani. Agama Yahudi dan Nasrani serta agama lain yang dibawa oleh para nabi merupakan agama yang bersifat kondisional, temporal, dan lokal. Misalnya agama yang dibawa oleh nabi Isa, maka risalahnya hanya berlaku bagi orang-orang yang hidup pada zaman itu dan tinggal di negara atau daerah tempat nabi Isa diutus oleh Allah SWT. Dan ajaran yang terkandung dalam kitab sucinya hanya berisi tentang pedoman hidup sesuai situasi dan kondisi masyarakat saat itu. Demikian juga dengan ajaran agama atau risalah yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya seperti nabi Musa, Dawud, Ibrahim, dan lain-lain. Tapi agama Islam dengan karakteristiknya yang berbeda dengan agama lain merupakan agama yang universal. Artinya, bahwa agama Islam adalah agama suci yang komprehensif dan holistik, tidak bersifat temporal, kondisional, dan lokal. Agama Islam adalah agama yang berlaku pada setiap dimensi ruang dan waktu. Dalam kondisi dan situasi apa pun ajarannya dapat diimplementasikan di berbagai tempat yang berbeda-beda dengan keragaman suku, ras, bangsa, dan budaya yang berbeda-beda pula. Bahkan fakta sejarah telah membuktikan tentang kebenaran universal yang terkandung dalam agama Islam ini. Buktinya sampai saat ini Islam masih tetap eksis pada negara-negara yang tersebar di semua benua yang ada di dunia, seperti benua Asia, Eropa, Afrika, Amerika, dan Australia. Dan agama Islam dengan kekhasannya mampu menarik banyak orang untuk memeluk dan mengamalkan ajarannya meskipun orang-orang tersebut memiliki keadaan yang berbeda dengan masyarakat Arab sebagai masyarakat yang pertama kali menerima risalah Islam yang dibawa oleh nabi muhammad SAW. Islam tidak hanya selalu membawa kedamaian dan kemanan serta keadilan bagi masyarakat Arab saja, tetapi Islam juga memberikan semua nilai-nilai kebaikan tersebut kepada semua orang di dunia sehingga Islam benar-benar mampu menjamah semua golongan tanpa membedakan daerah tempat tinggal, suku, etnis, bahasa, budaya, dan sebagainya. Dalam perjalanannya sejak 14 abad silam hingga pada era modernisasi dan globalisasi ini, agama Islam telah mencatat sejarah cemerlang dan mengagumkan. Dalam ekspedisi dakwah yang dilakukan oleh nabi Muhamaad dan para sahabatnya telah mampu menyebar-luaskan Islam ke seluruh sentaero alam mulai dari kota kecil bernama Makkah di di benua Asia sampai menjalar ke semua benua di dunia. Kemudian dengan sistem kaderasisasi yang sangat baik yang beliau lakukan bersama para sahabatnya, maka misi dakwah penyebarluasan Islam ini diwarisi oleh generasi penerusnya hingga mereka mampu membawa agama Islam ke Nusantara. Dan para pembawa misi dakwah yang masuk ke Nusantara tidak menyebarkan Islam dengan cara memindahkan budaya Arab yang mereka miliki kemudian mengganti budaya lokal dengan budaya Arab tersebut. Tetapi semangat yang dibawa oleh para da’i saat itu adalah semangat Islamisasi tanpa Arabisasi. Sehingga ketika bersentuhan dengan kebudayaan lokal yang pada masa itu masyarakat Nusantara sangat kental dengan sistem kepercayaan dinamisme, animisme, Hindu, dan Budha, Islam tidak secara serta merta mengganti tradisi masyarakat setempat dengan tradisi Arab yang identik dengan tradisi Islam. Para da’i tidak melakukan Arabsiasi terhadap budaya lokal, tetapi yang dilakukan adalah Islamisasi budaya lokal dengan cara memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam tradisi-tradisi yang yang berbau animisme, dinamisme, Hindu, dan Budha. Sehingga yang terjadi sampai saat ini terdapat banyak tradisi umat Islam di berbagai daerah Nusantara yang mirip dengan tradisi, upacara adat, dan agama para leluhur. Bentuk upacara yang dilakukan oleh banyak kalangan umat Islam terlihat mirip dengan ritual agama Hindu atau Budha, namun bila kita melihat lebih dekat sesungguhnya antara tradisi umat Islam dan agama nenek moyang (Hindu dan Budha) tersebut sangat berbeda. Kulitnya memang sama tetapi isinya berbeda, karena banyak tradisi muslim nusantara yang mirip bahkan sama dengan tradisi Hindu dari segi tata cara plaksanaan, namun sesungguhnya sangat berbeda dari sisi substansi. Dan fenomena di atas telah mengundang banyak kontoversi di kalangan para cendekiawan mulsim. Begitu banyak kajian atau studi yang membahas tentang hubungan Islam dan kebudayaan lokal baik dalam bentuk buku maupun makalah yang bisa dibaca di berbagai perpustakaan, media cetak seperti koran dan majalah, media elektronik seperti perpustaan elektronik, situs internet, dan pidato di berbagai media seperti radio dan televisi. Dan dari sekian banyak kajian yang telah ditelurkan malah menghasilkan pandangan kontradiktif antara pihak yang satu dengan yang lainnya. Sebagian berpendapat bahwa hubungan antara Islam dan kebudayaan lokal yang menghasilakan akulturasi merupakan sebuah fenomena alam atau sunnah Allah yang tidak bisa dihindari oleh manusia yang melakukan komunikasi antara budaya. Akulturasi dianggap sebagi bentuk hasil akhir dari proses komunikasi Islam dengan budaya lokal. Sehingga tradisi yang menjadi sikap hidup yang melekat dalam penduduk setempat yang kemudian menjadi budaya yang dipegang teguh sampai saat ini harus dibiarkan apa adanya selama nilai-nilai yang terkandung di dalamnya masih dalam koridor nilai dan ajaran Islam. Dan ini merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada para leluhur yang telah berjasa menyebarkan risalah Islam di nusantara (Wali Songo). Dengan pandangan yang berbeda, sebagian kalangan pemerhati kebudyaan Islam juga berpendapat bahwa akulturasi antara Islam dan budaya lokal bukan sebuah hasil akhir. Tetapi akulturasi merupakan sebuah proses yang dilakukan oleh para pembawa misi dakwah di Nusantara. Sedangkan hasil akhir yang sesungguhnya adalah pemurnian akidah menuju Islam yang sempurna (kaffah) tanpa dicampur adukkan dengan tradisi lokal yang sangat jauh dari ajaran Islam yang sebenarnya. Karena Islam sudah memiliki tatacara sendiri dalam beribadah, bermuamalah, dan berakhlak. Dan Islam dengan dengan ekslusifitasnya itu harus mampu diterima di manapun dan kapanpun tanpa melihat lebih jauh obyek dakwah. Artinya bahwa bentuk akulturasi Islam dan budaya lokal saat ini harus dimurnikan sehingga tradisi umat Islam nusantara sama persis seperti masyarakat Arab, baik dalam tata cara ibadah, muamalah, dan akhlak. Bahkan pendapat yang kedua ini tidak segan-segan menjustifikasi beberapa bentuk ritual yang sudah membudaya dalam kehidupan masyarakat lokal sebagai sebuah bentuk penyimpangan, mengada-ada (bid’ah). Dan setiap bid’ah adalah sesat, sedangkan semua bentuk kesesatan tempatnya yang paling bagus adalah di dalam neraka. Namun dalam kenyataannya, walaupun telah terjadi kontradiksi dalam memandang akulturasi Islam dengan budaya lokal, tradisi umat Islam nusantara tetap eksis dipraktikkan dalam momen-momen tertentu. Dan secara lebih spesifik, dalam realitas kebudayaan masyarakat Islam di pulau Lombok yang dihuni oleh suku Sasak masih memgang teguh beberapa tradisi yang yang diwarisi secara turun-temurun. Misalnya tradisi peringatan sembilan hari bagi orang yang meninggal yang diisi dengan beberapa kegiatan seperti yasinan dan tahlilan. Selain itu, terdapat juga beberapa tradisi yang sering kita temukan di tengah-tengah masyarakat, seperti peringatan isra’ mi’raj yang diisi dengan kegiatan membaca syair di malam hari, peringatan maulid Nabi, nyongkolan, acara tujuh bulanan bagi ibu-ibu hamil, dan sebagainya. Dan realita ini mengindikasikan bahwa kebudayaan lokal dan ajaran Islam sesungguhnya sangat bersahabat dalam beberapa aspek,dan akulturasi Islam dan budaya lokal merupakan sebuah fakta sejarah yang tidak bisa dinafikan kebenarannya. Oleh karena itu, tanpa berpihak kepada salah satu kelompok yang “kontradiktif’ dalam memandang akluturasi budaya Islam dengan budaya lokal, maka tradisi muslim Sasak yang dipraktikkan sampai hari ini membutuhkan rekonstruksi pemahaman supaya tidak terjadi kesalahpahaman. Dan tentunya rekonstruksi yang dimaksud tidak semata-mata merupakan sebuah kajian yang mengandalkan ketajaman akal dan kemampun berpikir secara mendalam saja, tetapi juga harus berangkat dari nilai-nilai dan norma hukum yang menjadi pijakan umat Islam yang tertuang dalam pesan-pesan universal al-Qur’an dan Sunnah nabi Muhammad SAW. Maka ketika memandang sebuah fenomena yang terjadi, seperti akulturasi budaya Sasak dan Islam yang telah jelas eksistensinya baik dalam pengamalan dan pengalamannya membutuhkan dasar normatif-teologis. Dalam perjalanan sejarah, Islam dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan namun sangat gampang untuk dibedakan. Islam adalah agama yang berasal dari wahyu Tuhan yang ajaran-ajarannya bersifat teologis karena didasarkan pada al-qur’an dan Hadits. Sedangkan kebudayaan didefinisikan sebagai hasil cipta, karsa, dan karya manusia sehingga bersifat antropologis. Ruang lingkup kebudayaan meliputi keseluruhan cara hidup yang khas dengan penekanan pada pengalaman sehari-hari. Makna sehari-hari meliputi: nilai (ideal-ideal abstrak), norma (prinsip atau aturan-aturan yang pasti) dan benda-benda material atau simbolis. Makna tersebut dihasilkan oleh kolektivitas dan bukan oleh individu, sehingga konsep kebudayaan mengacu pada makna-makna bersama (Ali Sodiqin, 2005:1). Maka dalam proses penciptaan kebudayaan tersebut tidak dapat dilepaskan dari kepercayaan atau keyakinan masyarakat terhadap agama. Ajaran agama yang dipahami masyarakat membentuk pola pikir yang kemudian dituangkan dalam bentuk tradisi yang disepakati bersama. Dasar Teologis-Normatif Islam bukanlah produk budaya, tapi ajaran Islam mampu mewarnai berbagai aspek kebudayaan. Dalam implementasi ajarannya, Islam memerlukan media untuk mentran-sformasikan nilai-nilai universalnya ke dalam tataran praksis kehidupan. Dari sinilah muncul keragaman budaya Islam, yang disebabkan adanya perbedaan penafsiran dan pembumian ajaran Islam. Maka ajaran Islam sesungguhnya merupakan hasil perpaduan antara ajaran Islam yang dipahami masyarakat dengan kebudayaannya, atau penerjemahan universalitas ajaran Islam ke dalam lokalitas kebudayaan. Islam memandang kebudayaan sebagai sebuah keniscayaan. Dan pada kenyataannya kebudayaan yang ada pada setiap kelompok masyarakat atau negara memiliki bentuk budaya yang berbeda-beda. Maka Islam sesunggunya tidak pernah menentang adanya perbedaan tersebut. Bahkan secara tegas wahyu yang diterima oleh nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa sesungguhnya manusia diciptakan dengan memiliki kabilah (suku), budaya, dan ras yang berbeda-beda. Dalam QS. Al-Hujarat ayat 13 dijelakan, $pkš‰r'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s Œ 4Ós\Ré&ur öNä3» oYù=yèy_ur $\/qãè䩟@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu‘$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& y‰YÏã «!$ öNä 39s)ø? r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã׎Î7yz ÇÊÌÈ 13. Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. Dalam ayat di atas secara gamblang menjelaskan bahwa sesungguhnya manusia diciptakan dalam keadaan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Tujuannya agar manusia bisa saling mengenal antara yang satu dengan yang lainnya. Sedangkan antara bangsa-bangsa dan suku-suku yang ada tidak memiliki keistimewaan apa pun dibandingkan dengan yang lainnya kecuali karena kwalitas dan kwantitas ketakwaan yang mereka lakukan kepada Allah. Maka Islam sebagai sebuah sistem kepercayaan telah hadir dengan karakternya sendiri tanpa dipengaruhi oleh budaya-budaya tertentu. Bahkan sebaliknya, Islam yang mempengaruhi kebudayaan masyarakat yang menganutnya. Oleh karena itu, Islam dan akulturasi budaya merupakan sebuah keniscayaan. Sejak awal Islam sudah berhubungan dengan bangsa Arab, dan bangsa Arab pada waktu itu memiliki tradisi yang identik dengan animisme, dinamisme, dan paganisme. Maka Islam hadir dengan begitu banyak fenomena sosial-religius yang harus diperbaiki. Dan pada waktu itu tidak secara serta-merta menghapus semua tradisi yang terimplementasikan dalam kebudayaan bangsa Arab. Ajaran Islam tidak melakukan revolusi secara keseluruhan terhadap budaya yang sudah ada sebelumnya, namun Islam melakukan sebuah reformasi terhadap tatanan nilai dan norma-norma keseharian umat waktu itu. Maka transformasi nilai illahi ke dalam bebrapa tradisi orang Arab terus dilakukan oleh nabi dan para sahabat, sehingga dengan keuniversalan Islam itu sendiri, beberapa ritual keagamaan tidak dibumihanguskan oleh Islam tetapi hanya mengubah dari sisi konten saja. Misalnya, ritual ibadah haji dan umrah sejak lama sudah ada dalam kehidupan masyarakat Arab. Namun sebelum Islam masuk ke Makkah, orang-orang Arab melakukan ibadah haji dengan bertawaf mengelilingi Ka’bah dengan cara-cara yang kurang etis, dan di sekeliling Ka’bah dibangun patung berhala yang menjadi sesembahan bagi setiap kabilah yang berkunjung kesana. Kemudian Islam pun datang dengan mengubah tatacara yang amoral tersebut dan menggantinya dengan riutal yang benar yang hanya ditujukan kepada sang khalik. Maka berdasarkan fakta sejarah tersebut, dapat disimpulkan bahwa Islam tidak bisa lepas dari akluturasi budaya lokal. Artinya bahwa sejak awal turunnya risalah Islam, telah terjadi akulturasi dengan budaya lokal saat itu yaitu budaya Arab. Maka dalam pandangan Islam, akulturasi budaya merupakan salah satu jalan untuk membumikan Islam. Sehingga apabila kita berpijak pada konsep terebut, merupkan sebuah kewajaran ketika wajah Islam selalu berbeda-beda di setiap belahan dunia. Hal itu disesbabkan karena budaya, bahasa, tradisi, ras, suku, dan sistem kepercayaan yang dianut di daerah tertentu berbeda-beda ketika pertama kali menerima Islam sebagai ajaran yang benar. Dan setiap daerah memiliki kekhasan sendiri di dalam pengamalan Islam, baik dari segi praktik dan pemikiran, tradisi, dan beberapa ritual keagamaan. Akulturasi Islam dan Budaya Sasak di Pulau Lombok. Salah satu bukti bahwa wajah Islam di Nusantara khususnya di Lombok memiliki perbedaan dengan Islam di Arab, Pada masyarakat Sasak kita mengenal istilah “Nelung, Mituq, dan Nyiwaq” apabila salah seorang dari keluarga tertentu meninggal dunia. “Nelung” adalah peringatan tiga hari kematian, “Mituq” adalah peringatan tujuh hari kematian, dan “Nyiwaq” adalah peringatan sembilan hari kematian. Semua ritual tersebut dilakukan oleh keluarga yang ditinggal mati dengan cara mengundang tetangga, sahabat kerabat, dan keluarga untuk datang pada hari-hari tersebut dalam rangka membaca yasin dan tahlilan yang diakhiri dengan makan bersama di rumah duka. Bentuk-bentuk ritual di atas sesungguhnya tercipta karena adanya komunikasi antar budaya, yaitu Islam dan kebudayaan Sasak. Interaksi dan komunikasi yang terjadi antara Islam dan budaya Sasak menciptakan beberapa bentuk hasil akulturasi yang unik. Dan dalam kerangka normatif-teologi, akulturasi Islam dan budaya Sasak merupakan salah satu bentuk internalisasi nilai-nilai Islam ke dalam tatanan sosio-religius suku Sasak. Bentuk akulturasi seperti ini sebenarnya sudah dijelaskan dalam QS. Al-Hujarat ayat 13.kalimat@ͬ!$t7s%ur$\/qãèä©Nä3»oYù=yèy_ur memberikan referensi yang mendetail tentang eksistensi kebudayaan yang ada di berbagai belahan dunia. Syu’uban yang berarti bangsa dan qabaa’ila (bentuk jamak dari Qabiilatun) yang berarti suku menjadi titik temu kontroversi yang ada selama ini ketika mengkaji masalah hubungan Islam dengan budaya lokal. Islam dan kebudayaan lokal tidak seharusnya di permasalahkan selama kebudayaan tersebut masih berada dalam koridor nilai-nilai Islam, karena sebuah akulturasi atau integrasi Islam dan budaya lokal merupakan salah satu bentuk manifesitasi firman Tuhan dalam QS. Al-Hujarat ayat 13. Syu’uban yang berarti bangsa menunjukkan bahwa Islam mengakui eksistensi bangsa-bangsa yang berbeda, dan begitu juga dengan qabaa’ila (bentuk jamak dari Qabiilatun) yang berarti suku. Begitu banyak bangsa dan suku yang dikenal saat ini. Bahkan di Nusantara saja tidak terhitung jumlahnya. Dan tentunya setiap suku tersebut tidak semuanya sama, tapi memiliki perbedaan baik dari segi bahasa, adat-istiadat, ras, dan daerah teritorial tempat mereka berada. Ini artinya bahwa Islam dengan referensi utamanya yaitu al-Qur’an memberikan penjelasan yang mendetail bahwa budaya dengan berabagai karakteristiknya merupakan sebuah keniscayaan. Dan suatu budaya yang telah berintraksi dengan budaya lain tidak akan mungkin lepas dari akultuasi. Sehingga Islam juga sesungguhnya telah menggariskan bahwa akulturasi budaya merupakan sebuah keniscayaan pula. Budaya Sasak yang kaya akan tradisi dan adat-istiadat dan bentuk ritual keagamaan yang sedikit berbeda dengan budaya Arab juga merupakan sebuah bentuk pengakuan Islam terhadap perbedaan. Sehingga beberapa tradisi Sasak yang secara kasad mata sangat mirip dengan tradisi dan upacara agama Hindu tidak lagi diklaim sebagai sebuah penyimpangan akidah. Tetapi semua itu harus dilihat sebagai sebuah kekayaan Islam dengan syarat masih berada dalam koridor nilai-nilai Islam. Karena dalam sejarah perkembangan Islam juga sudah tertulis bahwa begitu banyak tradisi Arab yang masih dipertahankan di dalam agama Islam, dan yang dilakukan oleh nabi hanyalah mengubah isi dari tradisi tersebut sehingga sesuai dengan ajaran Islam. Beberapa tradisi Sasak seperti acara “Nelung, Mituq, dan Nyiwaq” apabila salah seorang dari keluarga tertentu meninggal dunia, jika dilihat dari jauh memang tampak seperti upacara agama umat Hindu. Tadisi “Nelung, Mituq, dan Nyiwaq” merupakan upacara adat yang menjadi tradisi di kalangan suku Sasak Islam yang sebenarnya tidak diajarkan dalam Islam. Tradisi tersebut ternyata tidak bersumber dari ajaran agama Islam, tetapi bersumber dari agama Hindu. Upacara selamatan kematian dikenal dalam tradisi muslim Jawa dengan istilah genduri yaitu upacara selamatan kematian 7, 40, 100, dan 1000 hari. Penyelenggaraan upacara tersebut berbentuk pembacaan doa-doa, tahlilan, yasinan (karena yang biasa dibaca adalah surat Yasin) di hari ke 7, 40, 100, 1000 harinya. Dan di kalangan masyarakat Sasak, acara ini belum melum memiliki istilah sebagaimana di Jawa. Tetapi bentuk upacara dan momennya sangat mirip dengan tradisi di Jawa, seperti pembacaan doa-doa, tahlilan, dan yasinan. Hanya saja yang paling biasa silaksanakan di masyarakat Sasak adalah pada hari ke 3, 7, dan 9. Sedangkan selamatan kematian di hari ke 40, 100, dan 1000 hanya dilaksanakan oleh beberapa kelompok masyarakat saja. Jika dikaji lebih lanjut tentang tradisi Sasak “Nelung, Mituq, dan Nyiwaq” di atas, tradisi tersebut sebenarnya merupakan sebuah bentuk akulturasi budaya Islam dan agama Hindu. Setelah diteliti ternyata amalan selamatan pada hari yang ditentukan di atas tersebut bukan berasal dari al-Qur’an, Hadits, maupun ijma’ sahabat, tetapi kita bisa melacaknya di dalam kitab-kitab agama Hindu. Dalam kitab Manawa Dharma Sastra Weda Smerti halaman 99, 192, dan 193 berbunyi, “termashurlah selamatan yang diadakan pada hari pertama, ke tujuh, empat puluh, seratus, dan seribu” (Pidato Utz.Abdul Aziz/muallaf Hindu). Tetapi di dalam QS. Al-Hujarat ayat 13 dalam penggalan kata #þqèùu‘$yètGÏ9 yang berati “agar kalian semua saling mengenal” memberikan indikasi yang jelas bahwa integrasi antar Islam dan budaya lokal dan bahkan agama Hindu dan Budha merupakan sebuah jalan untuk menginternalisasikan ajaran Islam ke dalam budaya-budaya tersebut. Adanya budaya yang berbeda-beda menjadi dasar yang kuat untuk pengamalan ayat ini. Karena tanpa adanya perbedaan maka perkenalan pun tidak akan pernah bisa terlaksana. Oleh sebab itu, ayat ini menggunakan kata '#þqèùu‘$yètGÏ9 yang asal katanya ‘arafa yang berarti “mengenal”. Ayat tersebut tidak menggunakan kata ‘alima yang berarti mengetahui, dan tidak juga meng-gunakan kata fahimayang artinya memahami. Namun Allah malah menggunakan kata ‘arafa yang artinya mengenal. Tentunya Allah menggunakan kata ini bukan tanpa alasan karena pada dasarnya al-Qur’an dari unsur terkecil sampai terbesar yang ada di dalamnya memiliki makna dan maksud yang luar biasa, baik berupa pemakaian huruf, kata, kalimat dan susunan ayat. Oleh karena itu, al-Qur’an selalu menggunakan istilah ayat untuk setiap potongan kalimat yang ada di dalamnya. Ayat dalam bahasa Arab berarti tanda, dan dalam kehidupan manusia istilah “tanda” ditujukan kepada barang atau benda yang di dalamnya ada sesuatu yang harus dicari. Oleh karena itu, penggunaan kata ‘arafa dalam ayat ini membutuhkan pengkajian yang lebih mendalam tentang rahasia di balik penggunaannya. ‘Arafa yang artinya mengenal menunjukkan sebuah proses interaksi, komunikasi, integrasi, dan bahkan akulturasi. Seseorang tidak akan bisa mengenal orang lain tanpa adanya komunikasi dan interaksi. Dan setiap komunikasi mesti menghasilkan hubungan saling mempengaruhi atau memiliki hubungan timbal balik sehingga pada akhirnya komunikasi yang dilakukan baik secara personal maupun kolektif akan menciptakan orang-orang yang saling mengenal secara mendalam, penuh pengertian, dan memiliki ikatan yang kuat. Oleh karena itu, para ulama dalam kitab-kitab ushul selalu menggunakan istilah ma’rifatullahi ta’ala (mengenal Allah ta’ala). Mereka tidak menggunakan istilah ‘ilmullahi ta’ala (mengeta-hui Allah ta’ala) atau fahmullahi ta’ala (memahami Allah ta’ala). Sehingga dengan ma’rifatullahi ta’ala (mengenal Allah ta’ala) kita mampu mengenal allah dengan sedalam-dalamnya dan kemudian dibuktikan dengan menghubungkan diri sedekat-dekatnya kepada-Nya. Dan tradisi “Nelung, Mituq, dan Nyiwaq”, meskipun sudah jelas dasarnya tidak ditemukan dalam literatur Islam. Dan bahkan sebaliknya, dasarnya terdapat dalam litratur umat Hindu, yaitu Manawa Dharma Sastra Weda Smerti halaman 99, 192, dan 193 berbunyi, “termashurlah selamatan yang diadakan pada hari pertama, ke tujuh, empat puluh, seratus, dan seribu”, namun bukan berarti tradisi ini lantas harus dimusnahkan. Secara literal memang tradisi Sasak ini tidak ditemukan, tapi ini merupakan sebuah bentuk hasil interaksi dan komunikasi antara Hindu dan Islam di pulau Lombok. Kemudian melalui interkasi, dan komunikasi tersebut terjadilah integrasi dan akulturasi antar Islam dan kebudayaan lokal (Hindu Sasak). Sebagaimana telah dijelaskan bahwa akulturasi merupakan sebuah keniscayaan dalam pandangan Islam. Maka sebenarnyatradisi “Nelung, Mituq, dan Nyiwaq” adalah bentuk # þqèùu‘$yètGÏ9. Artinya bahwa di dalam perkenalan antara agama Hindu dan Islam telah terjadi hubungan dekat yang menghasilkan tradisi yang unik. Sebagaimana hal ini juga sebenarnya terjadi di dalam budaya Arab masa lalu telah terjadi akulturasi nilai-nilai Islam dengan kebudayaan lokal Arab. Dan bahkan pada masa itu nabi Muhammad langsung sebagai agen utama dalam proses akulturasi yang terjadi. Sedangkan yang menjadi media akulturasi pada masa itu adalah kebudayaan Arab sendiri. Visi nabi Muhammad sebagai agen akulturasi berkembang sebagai respon terhadap realitas kebudayaan masyarakat setempat. Segala upaya reformasinya didasarkan pada kenyataan riil dalam masyarakat. Prinsip dasar ajarannya adalah merujuk kembali kepada kemaslahatan dalam budaya yang berlaku pranata-pranata yang sesuai dan tepat (Ali Sodiqin, 2005:9). Proses transformasi yang dilakukan nabi terjadi melalui dua tahapan yaitu (1) reorientasi kesadaran individu dan (2) restrukturisasi institusi sosial. Tahap pertama ditujukan pada penataan mental individu dan masyarakat dalam menyesuaikan diri dengan pandangan al-qur’an yang berakar pada kebenaran sejati (ultimate truth) melalui transformasi kultural. Tahap kedua adalah penataan basis institusi sosial melalui melalui transformasi struktural. Proses ini kemudian menghasilkan munculnya kebudayaan baru yang diimplementasikan ke dalam realitas sosial. Seluruh tahapan tersebut berkahir pada terjadinya perubahan sosial masyarakat Arab, baik dalam sistem keyakinannya, norma-norma yang berlaku, dan pola-pola perilaku. Demikian juga yang terjadi dalam realitas kebudayaan Islam Sasak. Melalui akulturasi budaya Islam dan budaya lokal Sasak telah menghasilkan transformasi nilai-nilai ajaran Islam ke dalam sistem kepercayaan dan tatanan sosial serta pola hidup suku Sasak. Demi menjaga kestbailan sosial, tradisi “Nelung, Mituq, dan Nyiwaq” tetap pada tatacara sebagaimana yang biasa dipraktikkan dalam upacara agama Hindu. Namun yang membedakan antara Hindu dan Islam Sasak adalah dari segi substansinya. Jika umat Hindu mengisi hari ke 7, 40, 100, dan 1000 dengan membaca mantra-mantra dan doa yang ditujukan kepada sang hyang widi, maka umat Islam Sasak melaksanakan selamatan kematian pada hari ke 3, 7, dan 9 dengan tetap berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Sehingga acara selamatan tersebut dalam konteks substansinya tidak lagi diisi dengan ritual agama Hindu, tetapi diisi dengan ritual-ritual Islami seperti membaca asma Allah (tahlilan), dzikir, shalawat dan membaca ayat-ayat suci al-Qur’an (yasin dan yang lainnya). Dan tidak ada yang mampu menyangkal bahwa membaca al-Qur’an, berdzikir, dan membaca shalawat merupakan sebuah pekerjaan sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Amalan-amalan seperti ini merupakan sebuah bentuk ketakwaan yang ditujukan kepada sang pencipta yaitu Allah SWT. Oleh karena itu, di bagian akhir QS. Al-Hujarat ayat 13 disebut Nä39s)ø?r& «!$# ‰YÏã/ä3tBtò2r& ¨bÎ)yang berarti “yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang bertakwa”. Itu artinya bahwa perbedaan yang menyangkut kebudayaan, adat istiadat, tradisi, ras, keturunan, dan bahasa sama sekali bukan menjadi ukuran mulia dan tidaknya umat Islam di mata Allah. Tetapi yang menjadi indikator utama derajat kemuliaan manusia di sisi tuhannya adalah kwalitas dan kuantitas ketakwaannya. Di manapun dan bagaimanapun sebuah ketakwaan dilaksanakan akan tetap menjadi sebuah ketakwaan. Oleh karena itu dalam perspektif al-Qur’an surat al-Hujarat ayat 13 memandang bahwa tradisi selamatan kematian 3,7, dan 9 hari dalam muslim Sasak yang dikenal dengan tradisi “Nelung, Mituq, dan Nyiwaq” merupakan sebuah bentuk ketakwaan. Sama halnya dengan haji yang dilakukan oleh orang Arab, ketika Islam belum menjadi pegangan hidup mereka, ritual haji dan umrah dikatakan sebagai sebuah kemusyrikan karena dalam konteks substansi hanya diisi dengan kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan nilai Islam. Namun setelah Islam menjadi agama yang mereka anut, ibadah haji pun menjadi sebuah ibadah yang bernilai ketakwaan tinggi karena dalam konteks substansi haji dan umrah tersebut diisi dengan ibadah dan ketakwaan yang telah digariskan Islam. Demikian juga dengan “Nelung, Mituq, dan Nyiwaq”. Sebelum Islam menjadi agama yang dianut suku Sasak, ritual ini tentunya dianggap sebagai ritual yang salah karena bentuk amalan yang ada di dalamnya adalah bentuk amalan umat Hindu. Tetapi setelah Islam menjadi pedoman hidup orang Sasak, maka sebagaimana ibadah haji dan umrah, “Nelung, Mituq, dan Nyiwaq”pun tidak bisa dikatakan sebuah kemusyrikan ketika dalam konteks isi atau substansi dipenuhi dengan nilai-nilai ketakwaan. Adapun bentuk tradisi Sasak yang secara simbolik maupun substansinya jauh dari nilai-nilai keIslaman bukan berarti tidak diakui keberadaannya di dalam Islam. Tapi dalam menyikapi sebuah fenomena sosial dalam wujud tradisi yang non Islami, maka agama Islam memandangnya sebagai sebuah realitas kehidupan yang harus disikapi dengan cara yang benar. Berdasarkan QS. Al-Hujarat ayat 13 yang menjadi dasar kita tentang adanya konsep dalam Islam yang mengatakan bahwa akulturasi adalah sebuah keniscayaan, di samping itu juga kita harus memahami bahwa toleransi adalah sebuah kewajiban. Akulturasi sebagai sebuah keniscayaan yang kemudian terimplementasikan di dalam Islam dalam nuansa akulturasi antar budaya dengan semangat tranformasi nilai-nilai Islam ke dalam sistem sosial dan kepercayaan suatu masyarakat dapat terjadi apabila kebudayaan yang ada siap menerima Islam sebagai landasan hidupnya. Tapi dalam budaya Sasak, teradapat beberapa tradisi yang masih jauh dari kerangka hukum dan norma Islam namun tetap dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat baik secara indivudual maupun kolektif. Misalnya tradisi “nyongkolan” yaitu iring-iringan yang dilakukan oleh sekelompok orang dari pihak pengantin laki-laki dan diiringi gendang atau alat musik lainnya menuju pelaminan di rumah orang tua pengantin perempuan. Terlepas dari kontroversi dan kontradiksi yang ada ketika mengkaji masalah tradisi “nyongkolan” ini, jika ditimbang dalam konsep maslahat dan murshalat, sesungguhnya kebiasaan masyarakat ini lebih banyak mengandung murshalat (mudarat). Jika dilihat secara lebih mendalam, nilai filosofis tradisi “nyongkolan” ini sangat mulia, yaitu untuk menunjukkan kepada semua orang bahwa si laki dan si perrempuan telah melakukan akad nikah, sehingga semua orang bisa menyaksikan bahwa kedua pasangan tersebut sudah menjalin ikatan yang sah. Selain itu, tujuannya ialah untuk menyambung silaturrahmi antara keluarga dari pihak pengantin laki dan pihak pengantin perempuan. Namun jika melihat konten yang ada, tradisi “nyongkolan” ini memiliki sisi negatif. Bentuk pemborosan harta dan mengganggu ketertiban jalan yang biasa kita saksikan dalam tradisi “nyongkolan” merupakan kebiasaan-kebiasaan yang bernilai negatif dalam sistem hukum dan nilai Islam. Sehingga, Islam dan akulturasi budaya Sasak seperti model ini jika ditinjau kembali dalam perspektif normatif-teologis, sesungguhnya merupakan bentuk akluturasi yang berseberangan dengan bentuk akulturasi yang dijelaskan sebelumnya, yaitu tradisi “Nelung, Kesimpulan Jadi, berdasarkan penjelasan tentang beberapa tradisi Sasak dengan berbagai fenomena sosial-keagamaan yang ada, maka dapat disimpulkan bagaimana sesungguhnya Islam dalam kerangka normatif-teologis memandang dua buah tradisi yang sampai saat ini masih mengakar dalam kehidupan suku Sasak di pulau Lombok. Berdasrkan pengkajian atas QS. Al-Hujarat ayat 13, kita telah mendapatkan gambaran yang jelas bahwa akulturasi Islam dan budaya Sasak terdiri dari dua tipe. Pertama, tradisi “Nelung, Mituq, dan Nyiwaq” merupakan salah satu bentuk reproduksi al-Qur’an dalam kebudayaan lokal yang harus dipertahankan eksistensinya demi menjaga kekayaan Islam dan menghormati para leluhur yang telah membawa Islam ke Nusantara, khususnya di pulau Lombok. Kedua, tradisi “nyongkolan” sebagai sebuah tradisi yang lahir akibat akulturasi Islam dan kebudayaan lokal namun nilai yang lebih mendominasi nilai-nilai kebudayaan lokal. Oleh karena itu, akulturasi yang merupakan sebuah keniscayaan pada akhirnya akan menghasilkan dua buah kebudayaan baru. Dalam akulturasi Islam dan kebudayaan Sasak yang terjadi di Lombok, dengan seluruh proses yang dilaluinya hingga saat ini memberikan dua fakta yang berbeda. Pertama, akulturasi Islam dan budaya Sasak yang menghasilkan kebudayaan lokal lebih dominan dalam sebuah tradisi. Kedua, akulturasi Islam dan budaya Sasak yang menghasilkan kebudayaan Islam lebih dominan dalam sebuah tradisi yang ada. AKULTURASI BUDAYA HINDU-BUDHA-ISLAM di INDONESIA PERKEM-BANGAN TRADISI HINDU-BUDHA DI INDONESIA Fakta tentang Proses Interaksi Masyarakat Indonesia sebagai daerah yang dilalui jalur perdagangan memungkinkan bagi para pedagang India untuk sungguh tinggal di kota pelabuhan-pelabuhan di Indonesia guna menunggu musim yang baik. Mereka pun melakukan interaksi dengan penduduk setempat di luar hubungan dagang. Masuknya pengaruh budaya dan agama Hindu-Budha di Indonesia dapat dibedakan atas 3 periode sebagai berikut. 8. Periode Awal (Abad V-XI M) Pada periode ini, unsur Hindu-Budha lebih kuat dan lebih terasa serta menonjol sedang unsur/ ciri-ciri kebudayaan Indonesia terdesak. Terlihat dengan banyak ditemukannya patung-patung dewa Brahma, Wisnu, Siwa, dan Budha di kerajaan-kerajaan seperti Kutai, Tarumanegara dan Mataram Kuno. 9. Periode Tengah (Abad XI-XVI M) Pada periode ini unsur Hindu-Budha dan Indonesia berimbang. Hal tersebut disebabkan karena unsur Hindu-Budha melemah sedangkan unsur Indonesia kembali menonjol sehingga keberadaan ini menyebabkan munculnyasinkretisme (perpaduan dua atau lebih aliran). Hal ini terlihat pada peninggalan zaman kerajaaan Jawa Timur seperti Singasari, Kediri, dan Majapahit. Di Jawa Timur lahir aliran Tantrayana yaitu suatu aliran religi yang merupakan sinkretisme antara kepercayaan Indonesia asli dengan agama Hindu-Budha. Raja bukan sekedar pemimpin tetapi merupakan keturunan para dewa. Candi bukan hanya rumah dewa tetapi juga makam leluhur. 10. Periode Akhir (Abad XVI-sekarang) Pada periode ini, unsur Indonesia lebih kuat dibandingkan dengan periode sebelumnya, sedangkan unsur Hindu-Budha semakin surut karena perkembangan politik ekonomi di India. Di Bali kita dapat melihat bahwa Candi yang menjadi pura tidak hanya untuk memuja dewa. Roh nenek moyang dalam bentuk Meru Sang Hyang Widhi Wasa dalam agama Hindu sebagai manifestasi Ketuhanan Yang Maha Esa. Upacara Ngaben sebagai objek pariwisata dan sastra lebih banyak yang berasal dari Bali bukan lagi dari India. AKULTURASI Masuknya budaya Hindu-Budha di Indonesia menyebabkan munculnya Akulturasi. Akulturasi merupakan perpaduan 2 budaya dimana kedua unsur kebudayaan bertemu dapat hidup berdampingan dan saling mengisi serta tidak menghilangkan unsur-unsur asli dari kedua kebudayaan tersebut. Kebudayaan Hindu-Budha yang masuk di Indonesia tidak diterima begitu saja melainkan melalui proses pengolahan dan penyesuaian dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia tanpa menghilangkan unsur-unsur asli. Hal ini disebabkan karena: 1. Masyarakat Indonesia telah memiliki dasar-dasar kebudayaan yang cukup tinggi sehingga masuknya kebudayaan asing ke Indonesia menambah perbendaharaan kebudayaan Indonesia. 2. Kecakapan istimewa yang dimiliki bangsa Indonesia atau local genius merupakan keca-kapan suatu bangsa untuk menerima unsur-unsur kebudayaan asing dan mengolah unsur-unsur tersebut sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Pengaruh kebudayaan Hindu hanya bersifat melengkapi kebudayaan yang telah ada di Indonesia. Perpaduan budaya Hindu-Budha melahirkan akulturasi yang masih terpelihara sampai sekarang. Akulturasi tersebut merupakan hasil dari proses pengolahan kebudayaan asing sesuai dengan kebudayaan Indonesia. Hasil akulturasi tersebut tampak pada. a. Bidang Sosial Setelah masuknya agama Hindu terjadi perubahan dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia. Hal ini tampak dengan dikenalnya pembagian masyarakat atas kasta. b. Ekonomi Dalam ekonomi tidak begitu besar pengaruhnya pada masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan karena masyarakat telah mengenal pelayaran dan perdagangan jauh sebelum masuknya pengaruh Hindu-Budha di Indonesia. c. Sistem Pemerintahan Sebelum masuknya Hindu-Budha di Indonesia dikenal sistem pemerintahan oleh kepala suku yang dipilih karena memiliki kelebihan tertentu jika dibandingkan anggota kelompok lainnya. Ketika pengaruh Hindu-Budha masuk maka berdiri Kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang berkuasa secara turun-temurun. Raja dianggap sebagai keturuanan dari dewa yang memiliki kekuatan, dihormati, dan dipuja. Sehingga memperkuat kedudukannya untuk memerintah wilayah kerajaan secara turun temurun. Serta meninggalkan sistem pemerintahan kepala suku. d. Bidang Pendidikan Masuknya Hindu-Budha juga mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia dalam bidang pendidikan. Sebab sebelumnya masyarakat Indonesia belum mengenal tulisan. Namun dengan masuknya Hindu-Budha, sebagian masyarakat Indonesia mulai mengenal budaya baca dan tulis. Bukti pengaruh dalam pendidikan di Indonesia yaitu : • Dengan digunakannya bahasa Sansekerta dan Huruf Pallawa dalam kehidupan sebagian masyarakat Indonesia. Bahasa tersebut terutama digunakan di kalangan pendeta dan bangsawan kerajaan. Telah mulai digunakan bahasa Kawi, bahasa Jawa Kuno, dan bahasa Bali Kuno yang merupakan turunan dari bahasa Sansekerta. • Telah dikenal juga sistem pendidikan berasrama (ashram) dan didirikan sekolah-sekolah khusus untuk mempelajari agama Hindu-Budha. Sistem pendidikan tersebut kemudian diadaptasi dan dikembangkan sebagai sistem pendidikan yang banyak diterapkan di berbagai kerajaan di Indonesia. • Bukti lain tampak dengan lahirnya banyak karya sastra bermutu tinggi yang merupakan interpretasi kisah-kisah dalam budaya Hindu-Budha. Contoh :  Empu Sedah dan Panuluh dengan karyanya Bharatayudha  Empu Kanwa dengan karyanya Arjuna Wiwaha  Empu Dharmaja dengan karyanya Smaradhana  Empu Prapanca dengan karyanya Negarakertagama  Empu Tantular dengan karyanya Sutasoma. • Pengaruh Hindu Budha nampak pula pada berkembangnya ajaran budi pekerti berlan-daskan ajaran agama Hindu-Budha. Pendidikan tersebut menekankan kasih sayang, kedamaian dan sikap saling menghargai sesama manusia mulai dikenal dan diamalkan oleh sebagian masyarakat Indonesia saat ini. Para pendeta awalnya datang ke Indonesia untuk memberikan pendidikan dan pengajaran mengenai agama Hindu kepada rakyat Indonesia. Mereka datang karena berawal dari hubungan dagang. Para pendeta tersebut kemudian mendirikan tempat-tempat pendidikan yang dikenal dengan pasraman. Di tempat inilah rakyat mendapat pengajaran. Karena pendidikan tersebut maka muncul tokoh-tokoh masyarakat Hindu yang memiliki pengetahuan lebih dan menghasilkan berbagai karya sastra. Rakyat Indonesia yang telah memperoleh pendidikan tersebut kemudian menyebarkan pada yang lainnya. Sebagian dari mereka ada yang pergi ke tempat asal agama tersebut. Untuk menambah ilmu pengetahuan dan melakukan ziarah. Sekembalinya dari sana mereka menyebarkan agama menggunakan bahasa sendiri sehingga dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat asal. Agama Budha tampak bahwa pada masa dulu telah terdapat guru besar agama Budha, seperti di Sriwijaya ada Dharmakirti, Sakyakirti, Dharmapala. Bahkan raja Balaputra dewa mendirikan asrama khusus untuk pendidikan para pelajar sebelum menuntut ilmu di Benggala (India) 6. Kepercayaan Sebelum masuk pengaruh Hindu-Budha ke Indonesia, bangsa Indonesia mengenal dan memiliki kepercayaan yaitu pemujaan terhadap roh nenek moyang (animisme dan dinamisme). Masuknya agama Hindu-Budha mendorong masyarakat Indonesia mulai menganut agama Hindu-Budha walaupun tidak meninggalkan kepercayaan asli seperti pemujaan terhadap arwah nenek moyang dan dewa-dewa alam. Telah terjadi semacam sinkritisme yaitu penyatuaan paham-paham lama seperti animisme, dinamisme, totemisme dalam keagamaan Hindu-Budha. Contoh : Di Jawa Timur berkembang aliran Tantrayana seperti yang dilakukan Kertanegara dari Singasari yang merupakan penjelmaaan Siwa. Kepercayaan terhadap roh leluhur masih terwujud dalam upacara kematian dengan mengandakan kenduri 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun dan 1000 hari, serta masih banyak hal-hal yang dilakukan oleh masyarakat Jawa. 7. Seni dan Budaya Pengaruh kesenian India terhadap kesenian Indonesia terlihat jelas pada bidang-bidang dibawah ini: a) Seni Bangunan Seni bangunan tampak pada bangunan candi sebagai wujud percampuran antara seni asli bangsa Indonesia dengan seni Hindu-Budha. Candi merupakan bentuk perwujudan akulturasi budaya bangsa Indonesia dengan India. Candi merupakan hasil bangunan zaman megalitikum yaitu bangunan punden berundak-undak yang mendapat pengaruh Hindu Budha. Contohnya candi Borobudur. Pada candi disertai pula berbagai macam benda yang ikut dikubur yang disebut bekal kubur sehingga candi juga berfungsi sebagai makam bukan semata-mata sebagai rumah dewa. Sedangkan candi Budha, hanya jadi tempat pemujaan dewa tidak terdapat peti pripih dan abu jenazah ditanam di sekitar candi dalam bangunan stupa. b) Seni Rupa Seni rupa tampak berupa patung dan relief : Patung dapat kita lihat pada penemuan patung Budha berlanggam Gandara di Bangun Kutai. Serta patung Budha berlanggam Amarawati di Sikending (Sulawesi Selatan). Selain patung terdapat pula relief-relief pada dinding candi seperti pada Candi Borobudur ditemukan relief cerita sang Budha serta suasana alam Indonesia. TRADISI MERARI’: AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL[1] Oleh: Muhammad Harfin Zuhdi, MA Prolog : Islam secara teologis, merupakan sistem nilai dan ajaran yang bersifat Ilahiyah dan transenden. Sedangkan dari aspek sosiologis, Islam merupakan fenomena peradaban, kultural dan realitas sosial dalam kehidupan manusia. Dialektika Islam dengan realitas kehidupan sejatinya merupakan realitas yang terus menerus menyertai agama ini sepanjang sejarahnya. Sejak awal kelahirannya, Islam tumbuh dan berkembang dalam suatu kondisi yang tidak hampa budaya. Realitas kehidupan ini –diakui atau tidak—memiliki peran yang cukup signifikan dalam mengantarkan Islam menuju perkembangannya yang aktual sehingga sampai pada suatu peradaban yang mewakili dan diakui okeh masyarakat dunia. Aktualisasi Islam dalam lintasan sejarah telah menjadikan Islam tidak dapat dilepaskan dari aspek lokalitas, mulai dari budaya Arab, Persi, Turki, India sampai Melayu. Masing-masing dengan karakteristiknya sendiri, tapi sekaligus mencerminkan nilai-nilai ketauhidan sebagai suatu unity sebagai benang merah yang mengikat secara kokoh satu sama lain. Islam sejarah yang beragam tapi satu ini merupakan penerjemahan Islam universal ke dalam realitas kehidupan umat manusia. Relasi antara Islam sebagai agama dengan adat dan budaya lokal sangat jelas dalam kajian antropologi agama. Dalam perspektif ini diyakini, bahwa agama merupakan penjelmaan dari sistem budaya.[2] Berdasarkan teori ini, Islam sebagai agama samawi dianggap merupakan penjelmaan dari sistem budaya suatu masyarakat Muslim. Tesis ini kemudian dikembangkan pada aspek-aspek ajaran Islam, termasuk aspek hukumnya. Para pakar antropologi dan sosiologi mendekati hukum Islam sebagai sebuah institusi kebudayaan Muslim. Pada konteks sekarang, pengkajian hukum dengan pendekatan sosiologis dan antrologis sudah dikembangkan oleh para ahli hukum Islam yang peduli terhadap nasib syari’ah. Dalam pandangan mereka, jika syari’ah tidak didekati secara sosio-historis, maka yang terjadi adalah pembakuan terhadap norma syariah yang sejatinya bersifat dinamis dan mengakomodasi perubahan masyarakat.[3] Islam sebagai agama, kebudayaan dan peradaban besar dunia sudah sejak awal masuk ke Indonesia pada abad ke-7 dan terus berkembang hingga kini. Ia telah memberi sumbangsih terhadap keanekaragaman kebudayaan nusantara. Islam tidak saja hadir dalam tradisi agung [great tradition] bahkan memperkaya pluralitas dengan islamisasi kebudaya andan pribumisasi Islam yang pada gilirannya banyak melahirkan tradisi-tardisi kecil [little tradition] Islam. Berbagai warna Islam –-dari Aceh, Melayu, Jawa, Sunda, Sasak, Bugis, dan lainnya—riuh rendah memberi corak tertentu keragaman, yang akibatnya dapat berwajah ambigu. Ambiguitas atau juga disebut ambivalensi adalah fungsi agama yang sudah diterima secara umum dari sudut pandang sosiologis. Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan suku Sasak. Seseorang baru dianggap sebagai warga penuh dari suatu masyarakat apabila ia telah berkeluarga. Dengan demikian ia akan memperoleh hak-hak dan kewajiban baik sebagai warga kelompok kerabat atau pun sebagai warga masyarakat. Sebagaimana perkawinan menurut Islam dikonsepsikan sebagai jalan mendapatkan kehidupan berpasang-pasangan, tenteram dan damai (mawaddah wa rahmat) sekaligus sebagai sarana pelanjutan generasi (mendapatkan keturunan), maka perkawinan bagi masyarakat Sasak juga memiliki makna yang sangat luas, bahkan menurut orang Sasak, perkawinan bukan hanya mempersatukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan saja, tetapi sekaligus mengandung arti untuk mempersatukan hubungan dua keluarga besar, yaitu kerabat pihak laki-laki dan kerabat pihak perempuan. Berdasarkan tujuan besar tersebut, maka terdapat tiga macam perkawinan dalam masyarakat suku Sasak Lombok, yaitu: (1) perkawinan antara seorang pria dengan seorang perempuan dalam satu kadang waris yang disebut perkawinan betempuh pisa’ (misan dengan misan/cross cousin); (2) perkawinan antara pria dan perempuan yang mempunyai hubungan kadang jari (ikatan keluarga) disebut perkawinan sambung uwat benang (untuk memperkuat hubungan kekeluargaan); dan (3) perkawinan antara pihak laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan perkadangan (kekerabatan) disebut perkawinan pegaluh gumi (memperluas daerah/wilayah).[4] Dengan demikian, maka semakin jelas bahwa tujuan perkawinan menurut adat Sasak adalah untuk melanjutkan keturunan (penerus generasi), memperkokoh ikatan kekerabatan dan memperluas hubungan kekeluargaan. Selanjutnya, apabila membahas perkawinan suku Sasak, tidak bisa tidak mem-bicarakan merari’, yaitu melarikan anak gadis untuk dijadikan istri. Merari’sebagai ritual memulai perkawinan merupakan fenomena yang sangat unik, dan mungkin hanya dapat ditemui di masyarakat Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Begitu mendarah dagingnya tradisi ini dalam masyarakat, sehingga apabila ada orang yang ingin mengetahui status pernikahan seseorang, orang tersebut cukup bertanya apakah yang bersangkutan telah merari’ atau belum. Oleh karenanya tepat jika dikatakan bahwa merari’ merupakan hal yang sangat penting dalam perkawinan Sasak. Bahkan, meminta anak perempuan secara langsung kepada ayahnya untuk dinikahi tidak ada bedanya dengan meminta seekor ayam. Merariq dan Latar Sejarah Tradsinya Dalam adat Sasak pernikahan sering disebut dengan merari’. Secara etimologis kata merari’ diambil dari kata “lari”, berlari. Merari’an berarti melai’ang artinya melarikan. Kawin lari, adalah sistem adat penikahan yang masih diterapkan di Lombok. Kawin lari dalam bahasa Sasak disebut merari’.[5] Secara terminologis, merari’ mengandung dua arti. Pertama, lari. Ini adalah arti yang sebenarnya. Kedua, keseluruhan pelaksanaan perkawinan menurut adat Sasak. Pelarian merupakan tindakan nyata untuk membebaskan gadis dari ikatan orang tua serta keluarganya.[6] Berdasarkan informasi dari nara sumber tentang sejarah munculnya tradisi kawin lari (merari’) di pulau Lombok, paling tidak ada dua pandangan yang mengemuka, yaitu: Pertama, orisinalitas merari’. Kawin lari (merari’) dianggap sebagai budaya produk lokal dan merupakan ritual asli (genuine) dan leluhur masyarakat Sasak yang sudah dipraktikkan oleh masyarakat-sebelum datangnya kolonial Bali maupun kolonial Belanda. Pendapat ini didukung oleh sebagian masyarakat Sasak yang dipelopori oleh tokoh tokoh adat, di antaranya adalah H.Lalu Azhar, mantan wagub NTB dan kini ketua Masyarakat Adat Sasak (MAS); dan peneliti Belanda, Nieuwenhuyzen mendukung pandangan ini. Menurut Nieuwenhuyzen, sebagaimana dikutip Tim Depdikbud, banyak adat Sasak yang memiliki persamaan dengan adat suku Bali, tetapi kebiasaan atau adat, khususnya perkawinan Sasak, adalah adat Sasak yang sebenarnya.[7] Kedua, akulturasi merari’. Kawin lari (merari’) dianggap budaya produk impor dan bukan asli (ungenuine) dari leluhur masyarakat Sasak serta tidak dipraktikkan masyarakat sebelum datangnya kolonial Bali. Pendapat ini didukung oleh sebagian masyarakat Sasak dan dipelopori oleh tokoh agama, Pada tahun 1955 di Bengkel Lombok Barat,Tuan Guru Haji Saleh Hambali menghapus, kawin lari (merari’) karena dianggap manifestasi hinduisme Bali dan tidak sesuai dengan Islam. Hal yang sama dapat dijumpai di desa yang menjadi basis kegiatan Islam di Lombok, seperti Pancor, Kelayu, dan lain-lain. Menurut John Ryan Bartholomew, praktik kawin lari dipinjam dari budaya Bali. Analisis antropologis historis yang dilakukan Clifford Geertz dalam bukunya Internal Convention in Bali (1973), Hildred Geertz dalam, tulisannya An Anthropology of Religion and Magic (1975), dan James Boon dalam bukunya, The Anthropological Romance of Bali (1977), seperti dikutip Bartolomew,[8] memperkuat pandangan akulturasi budaya Bali dan Lombok dalam merari’. Solichin Salam menegaskan bahwa praktik kawin lari di Lombok merupakan pengaruh dari tradisi kasta dalam budaya Hindu Bali. Berdasarkan kedua argumen tentang sejarah kawin lari (merari’) di atas, tampak bahwa paham akulturasi merari’ memiliki tingkat akurasi lebih valid. Dalam konteks ini penulis lebih condong kepada pendapat kedua, yakni merari’ ini dilatarbelakangi oleh pengaruh adat hindu-Bali. Sebagai bagian dari rekayasa sosial budaya hindu-Bali terhadap suku Sasak, dalam suku Sasak dikenal adanya strata sosial yang disebut triwangsa. Strata sosial ini sudah jelas sama dengan pola hindu-Bali. Tradisi merari’ ini merupakan bagian dari kebudayaan. Kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat Lombok tidak bisa lepas dari dikotomi kebudayaan nusantara. Ada dua aliran utama yang mempengaruhi kebudayaan nusantara, yaitu tradisi kebudayaan Jawa yang dipengaruhl oleh filsafat Hindu-Budha dan tradisi kebudayaan Islam. Kedua aliran kebudayaan itu Nampak jelas pada kebudayaan orang Lombok. Golongan pertama, di pusat-pusat kota Mataram dan Cakranegara, terdapat masyarakat orang Bali, penganut ajaran Hindu-Bali sebagai sinkretis Hindu-Budha.[9] Golongan kedua, sebagian besar dari penduduk Lombok, beragama Islam dan peri-kehidupan serta tatanan sosial budayanya dipengaruhi oleh agama tersebut. Mereka sebagian besar adalah orang Sasak.[10] Merari’ sebagai sebuah tradisi yang biasa berlaku pada suku Sasak di Lombok ini memiliki logika tersendiri yang unik. Bagi masyarkat Sasak, merari’ berarti mempertahankan harga diri dan menggambarkan sikap kejantanan seorang pria Sasak, karena ia berhasil mengambil [melarikan] seorang gadis pujaan hatinya. Sementara pada sisi lain, bagi orang tua gadis yang dilarikan juga cenderung enggan, kalau tidak dikatakan gengsi, untuk memberikan anaknya begitu saja jika diminta secara biasa [konvensional], karena mereka beranggapan bahwa anak gadisnya adalah sesuatu yang berharga, jika diminta secara biasa, maka dianggap seperti meminta barang yang tidak berharga. Ada ungkapan yang biasa diucapkan dalam bahasa Sasak: Ara’m ngendeng anak manok baen [seperti meminta anak ayam saja]. Jadi dalam konteks ini, merari’ dipahami sebagai sebuah cara untuk melakukan prosesi pernikahan, di samping cara untuk keluar dari konflik.[11] Prinsip Dasar Tradisi Merari’ Bedasarkan penelitian M. Nur Yasin setidaknya ada empat prinsip dasar yang terkandung dalam praktik kawin lari (merari) di pulau Lombok.[12] Pertama, prestise keluarga perempuan. Kawin lari (merari’) dipahami dan diyakini sebagai bentuk kehormatan atas harkat dan martabat keluarga perempuan. Atas dasar keyakinan ini, seorang gadis yang dilarikan sama sekali tidak dianggap sebagai sebuah wanprestasi (pelanggaran sepihak) oleh keluarga lelaki atas keluarga perempuan, tetapi justru dianggap sebagai prestasi keluarga perempuan. Seorang gadis yang dilarikan merasa dianggap memiliki keistimewaan tertentu, sehingga menarik hati lelaki. Ada anggapan yang mengakar kuat dalam struktur memori dan mental masyarakat tertentu di Lombok bahwa dengan dilarikan berarti anak gadisnya memiliki nilai tawar ekonomis yang tinggi. Konsekuensinya, keluarga perempuan merasa terhina. jika perkawinan gadisnya tidak dengan kawin lari (merari’). Kedua, superioritas, lelaki, inferioritas perempuan. Satu hal yang tak bisa dihindarkan dari sebuah kawin lari (merari’) adalah seseorang lelaki tampak sangat kuat, menguasai, dan mampu menjinakkan kondisi sosial psikologis calon istri.Terlepas apakah dilakukan atas dasar suka sama suka dan telah direncanakan sebelumnya maupun belum direncana-kan sebelumnya, kawin lari (merari’) tetap memberikan legitimasi yang kuat atas superioritas lelaki. Pada sisi lain menggambarkan sikap inferioritas, yakni ketidakberdayaan kaum perempuan atas segala tindakan yang dialaminya. Kesemarakan kawin lari (merari’) memperoleh kontribusi yang besar dari sikap sikap yang muncul dari kaum perempuan berupa rasa pasrah atau,bahkan menikmati suasana inferioritas tersebut. Ketiga, egalitarianisme.Terjadinya kawin lari (merari’) menimbulkan rasa kebersamaan (egalitarian) di kalangan seluruh keluarga perempuan. Tidak hanya bapak, ibu, kakak, dan adik sang gadis, tetapi paman, bibi, dan seluruh sanak saudara dan handai taulan ikut terdorong sentimen keluarganya untuk ikut menuntaskan keberlanjutan kawin lari (merari’). Kebersamaan melibatkan komunitas besar masyarakat di lingkungan setempat. Proses penuntasan kawin lari (merari’) tidak selalu berakhir dengan dilakukannya pernikahan, melainkan adakalanya berakhir dengan tidak terjadi pernikahan, karena tidak ada kesepakatan antara pihak keluarga calon suami dengan keluarga calon istri. Berbagai ritual, seperti mesejah, mbaitwah, sorongserah, dan sebagainya merupakan bukti konkrit kuatnya kebersamaan di antara keluarga dan komponen masyarakat. Keempat, komersial. Terjadinya kawin lari hampir selalu berlanjut ke proses tawar menawar pisuke. Proses nego berkaitan dengan besaran pisuke yang biasanya dilakukan dalam acara mbait wall sangat kenta! dengan nuansa bisnis. Apapun alasannya, pertimbangan-pertimbangan dari aspek ekonomi yang paling kuat dan dominan sepanjang acara mbait wali. Ada indikasi kuatbahwa seorang wah merasa telah membesarkan anakgadisnya sejak kecil hingga dewasa. Untuk semua usaha tersebut telah menghabiskan dana yang tidak sedikit. Sebagai akibatnya muncul sikap dari orang tua yang ingin agar biaya membesarkan anak gadisnya tersebut memperoleh ganti dari calon menantunya. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan tingkat sosial anak dan orang tua semakin tinggi pula nilai tawar sang gadis. Sebaliknya, semakin rendah tingkat sosial dan tingkat pendidikan anak serta orang tua semakin rendah pula nilai ekonomis yang ditawarkan. Komersialisasi kawin lari tampak kuat dan tertuntut untuk selalu dilaksanakan apabila suami istri yang menikah sama sama berasal dari suku Sasak. Jika salah satu di antara calon suami istri berasal dari luar suku Sasak, ada kecenderungan bahwa tuntutan dilaksanakannya komersialisasi agak melemah. Hal ini terjadi karena ternyata ada dialog peradaban, adat, dan budaya antara nilai nilai yang dipegangi masyarakat Sasak dengan nilai nilai yang dipegangi oleh masyarakat luar Sasak. Kontak dialogis budaya dan peradaban yang kemudian menghasilkan kompromi tersebut sama sekali tidak menggambarkan inferioritas budaya Sasak, tetapi justru sebaliknya, budaya dan peradaban Sasak memiliki kesiapan untuk berdampingan dengan budaya dan peradaban luar Sasak. Sikap ini menunjukkan adanya keterbukaan masyarakat Sasak bahwa mulai kebaikan dan kebenaran dari manapun asal dan datangnya bisa dipahami dan bahkan diimplementasikan oleh masyarakat Sasak. Sisi Positif Tradisi Merari’ Sikap “heroik” (kepahlawanan) merupakan salah satu alasan mengapa tradisi melarikan (melaian) dipertahankan dalam perkawinan dengan kekuatan adat di Lombok. Sikap demikian menurut masyarakat Lombok merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan apabila berkeinginan untuk membina rumah tangga dengan calon mempelai perempuan yang sudah diidam-idamkan. Dari sisi spirit “heroisme” tersebut sesungguhnya memiliki relevansi yang sangat erat dengan ajaran Islam. Islam senantiasa mengajarkan agar dua pihak yang ingin menikah hendaklah didasari oleh perasaan yang kuat untuk saling memiliki. Hanya saja perasaan tersebut tidak harus ditunjukkan dengan cara melarikan gadis sebagai calon isteri. Bandingkan dengan beberapa ayat atau hadis yang berkaitan dengan anjuran menikah. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa: “Manistatha’a min kum al-ba’at fa al-yatazawwaj” (Barang siapa yang telah mampu untuk menunai-kan nafkah kepada calon isterinya, maka hendaklah menikah).[13] Mampu di sini diartikan mampu lahir maupun bathin, maka hendaklah mengajak calon isterinya menikah dengan cara yang diajarkan oleh Islam, yakni calon mempelai perempuan). Dalam Qs. al-Nisa (4): 4 disebutkan bahwa: ”Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” Ayat ini dapat pula dianggap sebagai tanda kesiapan seorang calon suami untuk menikahi seorang perempuan. Sekali lagi kesiapan atau keberanian untuk menikah daiam Islam harus dilakukan dengan sikap yang mencerminkan kesiapan mental maupun material, bukan sikap berani melarikan anak perempuan orang lain hanya karena merasa mampu melarikan perempuan tanpa sepengetahuan keluarganya. Tradisi adat Sasak Lombok ini sebenarnya sudah banyak yang paralel dengan ajaran Islam, seperti soal pisuke dan nyongkolan. Pisuke sesuai dengan namanya tidak boleh ada unsur pemaksaan, tetapi harus ada kerelaan keluarga kedua belah pihak. Demikian juga.acara nyongkolan merupakan sarana pengumuman dan silaturrahmi sebagaimana yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw. Hanya saja dalam kasus tertentu terjadi penyelewenagn oleh oknum pada acara nyongkolan yang menyebabkan terjadinya perkelaian, mabuk-mabukan dengan minuman keras dan meninggalkan sholat, maka perilaku inilah yang perlu dihindari dalam praktek nyongkolan. Singkatnya, orang Sasak lah yang banyak melanggar aturan/adat Sasak itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari substansi buku yang ditulis oleh Gde Suparman.[14] Saat ini ada beberapa parktek adat yang telah mengalami metamorfosa dan perubahan paradigma di masyarakat Sasak tentang perspektif merari’ ini setelah mendalami ajaran agama Islam dan fenomena perkawinan adat lain di Indonesia seperti yang terjadi di Jawa dan Pulau Sumbawa. Perubahan ini memang tidak bisa secara sekaligus, tetapi secara bertahap, dan dimulai oleh warga Sasak yang berpendidikan dan memiliki pengalaman di daerah lain. Sisi Negatif Tradisi Merari’ Dalam banyak aspek (ranah) kehidupan.ternyata perempuan Sasak masih sangat marginal (inferior), sementara kaum laki-lakinya sangat superior. Marginalisasi perempuan dan superioritas laki-laki memang merupakan persoalan lama dan termasuk bagian dari peninggalan sejarah masa lalu. Sejak lahir perempuan Sasak mulai disubordinatkan sebagai orang yang disiapkan menjadi isteri calon suaminya kelak dengan anggapan “ja’ne lalo/ja’ne tebait si’ semamenne” (suatu saat akan meninggalkan orang tua diambil dan dimiliki suaminya). Sementara, kelahiran seorang anak laki-laki pertama biasanya lebih disukai dan dikenal dengan istilah “anak prangge” (anak pewaris tahta orang tuanya).[15] Begitu juga tradisi perkawinan Sasak, seakan-akan memposisikan perempuan sebagai barang dagangan. Hal ini terlihat dari awal proses perkawinan, yaitu dengan dilarikannya seorang perempuan yang dilanjutkan dengan adanya tawar menawar uang pisuke (jaminan). Menurut penuturan Muslihun Muslim,[16] dosen IAIN Mataram, terdapat 9 bentuk superioritas suami sebagai dampak dari tradisi perkawinan adat Sasak (merari’) sebagai berikut: (1) terjadinya perilaku atau sikap yang otoriter oleh suami dalam menentukan keputusan keluarga; (2) terbaginya pekerjaan domestik hanya bagi istri dan dianggap tabu jika lelaki (suami) Sasak mengerjakan tugas-tugas domestik; (3) perempuan karier juga tetap diharuskan dapat mengerjakan tugas domestik di samping tugas atau pekerjaannya di luar rumah dalam memenuhi ekonomi keluarga (double faurden/peran ganda); (4) terjadinya praktek kawin-cerai yang sangat akut dan dalam kuantitas yang cukup besar di Lombok; (5) terjadinya peluang berpoligami yang lebih besar bagi laki-laki (suami) Sasak dibandingkan lelaki (suami) dari etnis lain; (6) kalau terjadi perkawinan lelaki jajar karang dengan perempuan bangsawan, anaknya tidak boleh menggunakan gelar kebangsawanan (mengikuti garis ayah), tetapi jika terjadi sebaliknya, anak berhak menyandang gelar kebangsawanan ayahnya[17]; (7) nilai perkawinan menjadi ternodai jika dikaitkan dengan pelunasan uang pisuke; (8) kalau terjadi perceraian, maka isterilah yang biasanya menyingkir dari rumah tanpa menikmati nafkah selama ‘iddah, kecuali dalam perkawinan nyerah hukum atau nyerah mayung sebungkul; (9) jarang dikenal ada pembagian harta bersama, harta biasanya diidentikkan sebagai harta ayah (suami) jika ada harta warisan, sehingga betapa banyak perempuan (mantan isteri) di Sasak yang hidup dari belaian nafkah anaknya karena dianggap sudah tidak memiliki kekayaan lagi. Epilog Sejarah suku Sasak Lombok ditandai dengan silih bergantinya berbagai dominasi kekuasaan di pulau Lombok dan masuknya pengaruh budaya lain membawa dampak semakin kaya dan beragamnya khazanah kebudayaan Sasak. Hal ini sebagai bentuk dari pertemuan (difusi, akulturasi, inkulturasi) kebudayaan. Oleh karenanya tidak berlebihan, jika Lombok dikatakan sebagai potret sebuah mozaik. Ada banyak warna budaya dan nilai menyeruak di masyarakatnya. Mozaik ini terjadi antara lain karena Lombok masa lalu adalah merupakan objek perebutan dominasi berbagai budaya dan nilai. Dalam konteks ini paling tidak ada empat budaya yang paling signifikan mendominasi dan mempengaruhi perkembangan dinamika pulau ini, yaitu: 1) pengaruh Hindu Jawa; 2) pengaruh Hindu Bali; 3) pengaruh Islam; dan 4) pengaruh kolonialisme Belanda dan Jepang. Konversi orang ke dalam Islam sangat berkaitan erat dengan kenyataan adanya penaklukan dari kekuatan luar. Berbagai kekuatan asing yang menaklukkan Lombok selama berabad-abad sangat menentukan cara orang Sasak menyerap pengaruh-pengaruh luar tersebut.[18] Lebih lanjut, dalam konteks masyarakat Sasak Lombok, Islam merupakan rujukan utama dan lensa ideologis dalam memahami dan mengevaluasi perubahan. Islam mempunyai peranan yang sangat penting dalam menghadapi perubahan, dan akulturasi budaya dalam kehidupan sosial mereka. Demikianlah merari’ dengan pernak pernik budaya akulturasinya telah memberi warna parokialitas pada tradisi masyarakat Sasak Lombok. Lebih jauh, akulturasi Islam dan budaya diharapkan mampu melakukan secara simultan langkah invensi dan inovasi sebagai upaya kreatif untuk menemukan, merekonsiliasi, dan mengkomunikasikan serta menghasilkan konstruksi-konstruksi baru. Konstruksi tersebut tidak harus merupakan pembaruan secara total atau kembali ke tradisi leluhur masa lalu secara total pula, namun pembaruan yang dimaksud di sini adalah pembaruan terbatas sesuai dengan prinsip al-âdah muhakkamah. Jadi, sebuah invensi dalam konteks pribumisasi Islam tidak dimaksudkan menemukan tradisi atau autentisitas secara literal, melainkan bagaimana tradisi-tradisi lokal itu menjadi sesuatu yang dapat berdialektika dan dimodifikasi ulang sesuai dengan konteks dimensi ruang dan waktu sesuai dengan kaidah taghayyur al-ahkâm bi at-taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwâl. Pribumisasi Islam, dengan demikian merupakan proses yang tidak pernah berhenti mengupayakan berkurangnya ketegangan antara norma agama dan manifestasi budaya. Semoga. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.[] Daftar Bacaan : [1] Makalah diskusi minggu sore di sesangkok komunitas IMSAK Jakarta, 9 Jan’ 2011 [2]Bassam Tibbi, Islam and Cultutral Accommodation of Social Change , [San Francisco: Westview Pres, 1991], h. 1 [3] Aziz al- Azmeh [ed.], Islamic Law: Social and Historical Contexts, [tp., 1988], h. viii [4] Wawancara dengan Lalu Gde Suparman, Budayawan Sasak di Mataram tanggal 17 Maret 2004; hal senada juga dikatakan oleh nara sumber lain, seperti Lalu Agus Fathurrahman. [5]Solichin Salam, Lombok Pulau Perawan: Sejaroh dan Masa Depannya (Jakarta: Kuning Mas, 1992), h. 22 [6]Tim Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Nusa Tenggara Barat (Jakarta: Depdikbud, 1995), h. 33 [7] Ibid, h. 11 [8] John Ryan Bartholemew, Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), h. 203 [9] Fath. Zakaria, Mozaik Budaya Orang Mataram, (Mataram: Yayasan Sumurmas Al-Hamidy, 1998), h. 10-11 [10] Ibid. [11] Keluar dari konflik, biasanya dipahami dalam konteks ketika orang tua wanita menghalangi keinginan antara seorang laki-laki dan wanita yang ingin melakukan perkawinan. Wawancara dengan Husni Muaz, dan Idrus Abdullah, dosen Universitas Mataram Mataram, tanggal 17 Maret 2004. Hal senada juga diungkapkan oleh beberapa nara sumber yang penulis wawancarai, seperti Lalu Jalaludin Arzaki, dan Lalu Gde Superman. Lihat Muhammad Harfin Zuhdi, Parokilaitas Adat Islam Wetu Telu Dalam Prosedur Perkawinan di Bayan Lombok, (Tesis, Program Pasca Sarjana UIN Jakarta, 2004) [12]M. Nur Yasin, “Kontekstualisasi Doktrin Tradisional Di Tengah Modernisasi Hukum Nasional: Studi tentang Kawin Lari (Merari’) di Pulau Lombok”, Jurnal Istinbath No. I Vol. IV Desember 2006, h. 73-75. [13]Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid Ha Nihayah al-Muqtashid, (Semarang: Usaha Keluarga, tt.), Jilid II, h. 2 [14]Gde Suparman, Dulangl, Perkawinan, (Mataram: Lembaga Pembakuan dan PenyebaranAdat Sasak, 1995) dan bukunya, Titi Tata Adat Perkawinan Sasak, Kepembayunan Lan Candrasengkala (Mataram: Lembaga Pembukuan dan Penyebaran Adat Sasak Mataram Lombok, 1988). [15]Ani Wafiroh,”Pemberdayaan Wanita Sasak”. Tengaji, Majalah Berita dan Dakwah Edisi 12 Maret-9 April 2005 [16]Wawancara pada tanggal 14 September 2010; lihat juga Muslihun Muslim dan Muhammad Taisir, Tradisi Merari’: Analisis Hukum Islam dan Gender Terhadap Adat Perkawinan Sasak, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2009), h. 130-131 [17] Kondisi ini telah menempatkan kaum perempuan bangsawan Sasak dalam posisi yang tidak menguntungkan, sehingga melahirkan pelbagai bentuk ketidakadilan gender (gender inequalities) yang termanifestasi antara lain dalam bentuk marginalisasi dan subordinasi. Bias gender dalam stratifikasi perempuan bangsawan Sasak ini menyebabkan mereka memiliki akses yang terbatas dalam menentukan jodohnya, sehingga banyak perempuan bangsawan yang terlambat kawin, bahkan tidak kawin sama sekali karena aturan dan pranata adat yang ketat dan rigit. Namun apabila ia nekat kawin dengan laki-laki dengan strata yang lebih rendah, maka ia akan menerima konsekuensi sanksi adat “dibuang” yang menempatkannya pada posisi marjinal dan subordinatif.. Lihat Muhammad Harfin Zuhdi, Bias Gender Stratifikasi Perempuan Bangsawan Sasak Dalam Perkawinan Masyarakat Lombok Nusa Tenggara Barat, (Penelitian Individual Kompetitif Kementerian Agama RI, 2010) [18] Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Tehadap Pola Keberagamaan Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, (Jakarta: Lemlit UIN Jakarta, 2009), h. 19 Filed under: Agama, Tulisan Bajang Sasak « DISKUSI IMSAK TEMA “MERARIQ; AKULTURASI AGAMA DAN TRADISI”Rekonstruksi Buku Teks Sekolah » 6 Responses 1. aris fauzan (IAIN Jakarta 1998), on February 26, 2011 at 5:21 am said: Terima kasih Om. Jumpa lagi, dengan sesama alumni IAIN Jakarta. Smga tidak salah. Reply 2. aji, on November 3, 2011 at 7:28 am said: Mohon ma’af, saya kurang setuju dengan pendapat saudara yang lebih condong menganggap tradisi merarik sebagi sebuah akulturasi budaya Sasak-Bali, Saudara mungkin belum pernah tahu atau mendengar istilah Batu Bidara. Batu Bidara ini adalah sebuah patung yang dulunya berdiri kokoh di sekitar kokoq Tanggek (Mamben). Patung ini menggambarkan seorang pemuda bangsawan kerajaan Selaparang dengan seorang gadis pujaannya yang akan berangkat merariq pada suatu malam. Tapi sayang saat itu mereka dihadang oleh banjir bandang di kokoq Tanggeq, dan tidak bisa menyebrang. Mereka bingung, kalo balek ke rumah orang tua si gadis, mereka malu. dan jika menunggu surut air takut keburu siang dan diketahui orang lain. jadi konon mereka berdo’a kepada Yang Maha Kuasa untuk dijadikan batu ditempat itu. Untuk lebih sahehnya bisa Saudara tanyakan pada tetua di Karang Genteng atau Mamben. Reply 3. Mode, on November 3, 2011 at 6:15 pm said: Mode… [...]TRADISI MERARIQ’: AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL « "IKATAN MAHASISWA SASAK" LOMBOK[...]… Reply 4. aji, on November 8, 2011 at 2:40 am said: Beberapa hal yang terlupakan di dalam tulisan Saudara prihal prosesi MERARIQ ini. Antara lain: tradisi merariq ini pada dasarnya adalah langkah untuk mengurangi dominasi orang tua terhadap keputusan jodoh anaknya. Remaja Sasak adalah remaja yang mandiri dalam urusan jodoh. Untuk mengurangi resiko benturan antara anak (yang merariq) dengan orang tuanya maka prosesi merariq didahului dengan NYEBOQ (sembunyi). Disinilah kecerdasan seorang pemuda diuji, dia harus bisa menentukan kemana dia harus NYEBOQ. tentunya yang dipilih adalah rumah keluarga yang disegani, yang bisa jadi penengah, yang bisa memberikan pemahaman kepada orang tuanya. (Satu hal yang positif dari prosesi NYEBOQ ini adalah ikatan kekeluargaan yang semakin kental antara calon penganten dengan keluarga yang ditempati rumahnya) Setelah keadaan bisa dipastikan adem ayem maka calon pengantin bisa dibawa ke rumah orang tuanya (orang tua lelaki). Prosesi ini disebut dengan istilah MBEIT PENGANTEN. Setelah calon pengantin berada dirumah orang tuanya, maka prosesi selanjutnya adalah BESEJATI dan BESELABAR, yaitu prosesi memberikan pemahaman kepada keluarga calon pengantin perempuan melalui utusan yang bisa dipercaya menjadi penghubung. Disinilah dibicarakan segala sesuatu terkait langkah selanjutnya, termasuk AJI KRAME dan PISUKE. Perlu diketahui bahwa AJI KRAME ini adalah lambang harga diri Dedare (Gadis) Sasak. besarnya sudah ditetapkan oleh Majelis Adat Sasak, dan tidak sama antara satu kampung dengan kampung lainnya. Sebaliknya PISUKE (Pire-Pire Suke), pada dasarnya adalah pemberian seikhlasnya dari keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan (sebenarnya tidak boleh ada tawar-menawar). Tetapi belakangan PISUKE ini menjadi hal yang kebablasan, terutama di beberapa tempat yang mengaku dari garis bangsawan. Semangat Multikulturalisme di Lombok Dibangun di atas fondasi beberapa suku bangsa, Lombok menjadi sebuah kota yang memiliki wajah budaya yang beragam sebagai pembentuk identitas. LOMBOK yang terletak di provinsi Nusa Tenggara Barat sedang berupaya mengem-bangkan diri dari berbagai segi, baik identitas kebudayaan maupun pariwisatanya. Terdiri atas masyarakat yang multikultur, Lombok dengan lanskap alamnya yang menawan, berpotensi menarik minat wisatawan lokal maupun mancanegara. Namun, sebagai entitas kebudayaan yang berdiri sendiri, masyarakat Lombok tidak sekadar ingin mengembangkan pariwisata tanpa identitas pembentuknya. Maka, dibangunlah kesadaran bahwa Lombok dengan budaya sasaknya memiliki akar sejarah sendiri jauh sebelum kedatangan orang-orang Bali ke Lombok. Masyarakat tradisional Sasak merupakan penghuni awal di Pulau Lombok. Konstruksi masyarakat ini dibentuk berdasarkan konsensus bersama dari berbagai etnis yang pada masa lalu sudah ada di Lombok, yaitu etnis Bali, Jawa, dan Makassar. Mereka membentuk kebudayaan baru melalui proses alkulturasi budaya, yang kini dikenal sebagai Sasak. Secara etimologis, menurut Goris S, Sasak berasal dari kata ‘sah’ berarti pergi dan ‘shaka’ yang artinya leluhur. Dengan demikian, Sasak berarti ‘pergi ke tanah leluhur’. Dari etimologi ini diduga leluhur orang Sasak adalah Jawa, yang kemudian bertemu dengan kelompok pendatang seperti dari Bali, Sumbawa, Arab, China, dan Makassar. Menurut Lalu Agus Fathurrahman dalam buku Menuju Masa Depan Peradaban Refleksi Budaya Etnik di NTB, sebagian besar orang Sasak kini adalah orang desa yang mayoritas beragama Islam dan pernah dibangun di atas fondasi spiritualitas, animisme, Hindu, dan Buddha. Hal ini menyebabkan masyarakat Sasak menjadi sebuah kebudayaan yang multietnis dan multikulturalisme, dan merupakan gambaran wajah kebudayaan yang alkulturatif. Proses akulturasi ini bisa diamati dari beberapa peninggalan cagar budaya di Lombok seperti pura maupun masjid tua tradisional. Perkembangan kebudayaan di Lombok mendapat pengaruh dari kebudayaan Islam dan Hindu dalam periode yang hampir bersamaan, yaitu pada pertengahan hingga akhir abad 16.Peradaban Islam di Pulau Lombok berkembang di bagian Utara dan Selatan Lombok. Sedangkan peradaban Hindu berkembang dari bagian Barat ke Timur Lombok. Jejak-jejak peradaban Islam dapat dilihat dari peninggalan mesjid tua tradisional yang masih bisa ditemukan di Lombok bagian Utara dan Selatan. Misalnya saja, pada Masjid Rambitan dan Masjid Bayan Beleq. Mesjid- mesjid tua ini merupakan bukti keberadaan terjadinya sinkretisasi agama, antara Islam dengan Hindu yang mewujud kepada suatu ajaran Islam Waktu Telu. Menurut Nur Alim, seorang juru kunci di Masjid Rambitan, Islam Waktu Telu mengacu kepada ajaran Islam yang meyakini tiga rukun Islam, yakni puasa, salat dan sahadat. Khusus untuk zakat dan menunaikan haji tidak dilaksanakan. Islam Waktu Telu ini menurutnya adalah sebuah upaya penyebaran agama Islam oleh para sunan yang berasal dari Jawa secara perlahan-lahan kepada penduduk Sasak. Tak heran jika saat itu, yang diperkenankan melakukan salat hanyalah kiai atau wali, sebagai perwakilan masyarakat sekitarnya. Masjid pun berfungsi sebagai tempat bersembahyang dan menetap kiai atau wali-wali tertentu. Masjid tradisional Rambitan memiliki bentuk yang unik. Terdiri atas sebuah bangunan berbentuk limas dengan atap terbuat dari alang-alang atau bambu yang diikat dengan menggunakan tali tambang. Sementara dindingnya terbuat dari bambu yang dibelah dan dipasang terbalik. Pintu gerbang masjid dibuat rendah. Begitu pula pada pintu masuk masjid. Menurut Nur Alim, hal ini merupakan simbol agar setiap orang yang memasuki wilayah masjid merendahkan hatinya sebelum bertemu Sang Khalik. Media Kesenian Saat ini masjid Rambitan masih tetap digunakan sebagai tempat beribadah masyarakat sekitar Desa Rambitan. Menurut penduduk setempat, masjid tersebut menjadi tempat kunjungan wisata religi yang ramai didatangi terutama pada perayaan-perayaan keagamaan seperti Maulid Nabi. Selain Masjid Rambitan, ada juga Mesjid Bayan Beleg yang merupakan sisa peninggalan kebudayaan pada masa kolonialisasi dan Islam. Masjid Bayan Beleg terletak di Sesa Bayan Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara. Menurut Raden Palasari, petugas penjaga Masjid Bayan Beleg, kata bayan memiliki arti nyata sedangkan beleg artinya besar. Jadi, Bayan Beleg berarti nyata-nyata besar. Masjid ini didirikan oleh Sunan Pengging atau Pangeran Mangkubumi pada tahun 1640 setelah melarikan diri akibat kalah peperangan melawan Raja Gowa. Di Bayan, ia mengajarkan agama Islam Waktu Telu. Menurut Raden, penyebaran agama Islam di desa Bayan menggunakan kesenian. Para kiai, yang berjumlah 44 orang, melakukan dakwah agama Islam dengan menggunakan media kesenian seperti cupak gerantang (pertunjukan teater rakyat tradisional Lombok), suling dewa atau suling dewe (meniup suling untuk acara ritual adat), rudat (seni drama diselingi drama dan nyanyian),wayang dan prisihan (saling pukul dengan rotan). Kesenian dalam hal ini merupakan media penyebaran dakwah yang mampu mendekatkan diri dengan masyarakat. Selain itu, proses penyebaran dakwah dengan media kesenian juga efektif untuk melestarikan kesenian tradisional yang ada pada masyarakat Lombok. “Kesenian ini masih dipraktikkan hingga sekarang. Setiap perayaan Maulid Nabi atau acara keagamaan lainnya, warga masih melakukan kesenian tradisional di sekitar masjid Bayan Beleg,” katanya. Lombok memasuki peradaban Hindu Buddha semenjak masuknya orang Bali ke Lombok dalam ekspedisi Anglurah Ketut Karangasem pada tahun 1692 Masehi. Orang- orang Bali ini kemudian menyebarkan kebudayaan Hindu Buddha di tengah masyarakat Pulau Lombok, salah satunya dengan membangun pura peribadatan. Pura Lingsar yang terletak di Desa Lingsar, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat merupakan pura terbesar dan tertua di Lombok. Dibangun tahun 1714 oleh Raja Anak Agung Ketut Karangasem, pura ini merupakan bukti awal kedatangan orang-orang Bali ke Lombok. Menurut penjelasan Dende, salah satu petugas di Pura Lingsar, pada akhir Abad 19 Raja Karangasem membangun dua bangunan tempat ibadah untuk dua agama yang berbeda, yakni Islam Waktu Telu dan Hindu. “Pembangunan Pura Lingsar oleh Raja Ketut Karangasem dimaksudkan untuk menyatukan secara batiniah Masyarakat Sasak dengan Bali,” katanya menjelaskan. Jejak Kebudayaan Tak heran jika dalam satu kompleks Pura Lingsar yang luas terdapat beberapa bagian yang terdiri atas pura peribadatan untuk masyarakat penganut agama Hindu dan masjid di areal Kemaliq Linggar untuk masyarakat penganut agama Islam Waktu Telu. Dua bangunan untuk penganut agama yang berbeda ini menunjukkan sudah terdapatnya sikap toleransi dan saling menghormati yang tinggi antarpenganut agama berbeda pada masa itu. “Ciri khas Pura Lingsar adalah mata airnya yang mengalir tanpa batas,” ujarnya menunjuk ke sebuah areal yang dibatasi oleh pagar berisi empat keran air terbuat dari bebatuan yang airnya mengucur tanpa henti. Mata air ini dalam bahasa Bali disebut dengan telaga ageng, sementara bahasa Sasak disebut aik mual. Air ini kata Dende diyakini oleh warga sekitar mampu menyembuhkan bermacam penyakit karena asalnya langsung dari pegunungan. Tak heran banyak pengunjung yang datang untuk merasakan langsung khasiat air jernih ini. “Kalau masuk waktu salat, mata air ini sering digunakan untuk mengambil air wudu,” ujarnya. Selain Pura Lingsar, salah satu jejak peninggalan kebudayaan Hindu Buddha adalah Pura Mayura. Nama Mayura menurut bahasa Sansekerta berarti burung merak. Pura ini dibangun oleh Made Karangasem pada tahun 1744 dengan nama Taman Kelepug. Pada tahun 1866, taman ini direnovasi oleh seorang raja Mataram bernama Ngurah Karangasem dan namanya diubah menjadi Pura Mayura. Pura ini juga merupakan bukti alkulturasi Hindu Islam. Terbukti dengan adanya patung-patung pemeluk agama Islam dan Hindu saling bersalaman di sebuah tempat yang dikelilingi air dari empat penjuru, disebut Bale Kambang. “Bale Kambang digunakan untuk mengadili suatu perkara pada zaman penjajahan Belanda,” ujar Made, petugas di Pura Mayura. Jejak peninggalan budaya pada masa Hindu Buddha dan Islam yang ada di Lombok tersebut merupakan potensi kekayaan khasanah budaya masyarakat Lombok. Dari jejak kebudayaan itu terlihat bahwa sejak dulu masyarakat Lombok sudah menerima berbagai bentuk keragaman dan bisa menjadi suatu contoh semangat kerukunan antarumat yang berbeda latar belakangnya. Oleh karena itu, seyogyanya pembangunan dan pengembangan masyarakat Lombok –di mana pemerintah daerah Lombok kini tengah gencar-gencarnya mempersiapkan diri dengan tujuan meningkatkan ekonomi kreatif rakyat dan rencana investasi pariwisata 2012 – jangan sampai melupakan aspek vital pembentuk identitas masyarakat Lombok itu sendiri: warisan budaya. Budaya termasuk di dalamnya benda cagar budaya, instrumen tradisi, dan adat kesenian rakyat yang membentuk keseluruhan Lombok mesti selalu mendapat tempat dan diperhatikan pengembangan dan pembinaannya. Eksibisi di Areal Publik Seiring berkembangnya teknologi dan budaya kapitalisasi di tengah masyarakat urban perkotaan, hasrat untuk mempelajari sejarah bangsa pun semakin menipis. Budaya jalan-jalan di mal, membuat masyarakat perkotaan semakin enggan menyisihkan waktunya untuk berkunjung sebentar ke museum untuk memperlajari sejarah bangsa. Terkadang alasan mereka, selain dinilai tidak menarik, juga persoalan terbatasnya waktu. Manusia era masa kini memiliki waktu yang semakin terbatas di antara tumpukan kegiatan yang mesti diselesaikan. Untuk menggali minat kembali masyarakat dan mengingatkan kembali memori mereka mengenai peristiwa sejarah di masa lalu, diadakanlah pameran Warisan Budaya Indonesia: rekaman Jejak Budaya Bangsaku di Mal Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Pameran di mal ini, menurut Surya Helmi, Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bertujuan untuk menyosialisasikan pentingnya nilai-nilai purbakala dan menjelaskan kepada masyarakat mengenai warisan nenek moyang yang perlu diketahui. Sebelumnya, pameran warisan budaya Indonesia di ruang publik juga telah diadakan di Makassar dan Surabaya.“Mal kami nilai sebuah tempat publik yang strategis agar minat masyarakat bisa diarahkan untuk mempelajari warisan nenek moyang. Mereka bisa sambil lalu ketika jalan-jalan di mal bersama keluarga atau rekan. Saat ini perlu jemput bola di masyarakat agar budaya tetap menjadi perhatian mereka,” katanya. Dalam Pameran ini pengunjung mal bisa mengetahui sejarah perkembangan kebudayaan di Indonesia mulai dari zaman prasejarah, Hindu, Buddha, hingga Islam atau kolonial. Peninggalan Kebudayaan pada zaman prasejarah seperti kawasan Sangiran, kawasan Prasejarah Maros dan Pangkep, situs Gunung Padang, situs Leang Bua serta Kawasan Megalitik Nias. Sementara, peninggalan kebudayaan pada zaman Hindu Buddha seperti kompleks Candi Borobudur, kawasan Candi Prambanan, Situs Percandian Muara Jambi, Kawasan Trowulan, serta Pura Lingsar. Sedangkan peninggalan pada masa kolonial atau Islam di antaranya adalah Masjid Raya Baiturrahman, Mesjid Agung Demak, Benteng Ujung Pandang Fort Rotterdam, Istana Tua Sumbawa, Makam Dantraha, Makam Tolobali, Masjid Rambitan, Mesjid Pujut, dan Mesjid Bayan Beleg. Pengunjung yang memenuhi Mal Mataram tampak antusias berkeliling tempat displai pameran. Misalnya saja Itok, yang berkunjung ke mal bersama dengan dua anak perem-puannya. Ia sedari tadi menjelaskan kepada kedua anaknya mengenai sejarah Pura Lingsar, yang merupakan warisan budaya asal Lombok.“Jadi, dari dulu umat beragama sudah hidup rukun satu sama lain, ya,” katanya kepada kedua anak-anaknya menunjuk sebuah masjid yang terletak di areal pura. Menurutnya, pameran budaya di mal merupakan kegiatan menarik untuk dilihat karena bisa menambah wawasan kepurbakalaan atau sejarah. Sambil mengajak anak-anaknya belanja di mal, dia bisa sekaligus melihat-lihat pameran budaya. “Saya pikir ini alternatif yang menarik ya, kadang datang ke museum malas. Bosan. Isinya itu-itu aja. Kalau di mal gini, kan jadi beda,” tuturnya. kulturasi hindu dan islam Hubungan Fungsional Atas Pensifatan Tuhan pada Tri murti (Hindu) dengan Asma ul Husna (islam) 29 OKT. BAB I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Masalah Apa yang kita hadapi pada jaman sekarang. Tidaklah bisa dipungkiri bahwa dunia memang sudah terasa sesak dengan berbagai kekerasan serta pembunuhan, caci maki dan fitnahan, serta pola pikir yang cenderung pesimis dan memiliki nilai negatif atas apa-apa yang menjadi pedoman keyakinan itu sendiri. Padahal bahwa suatu keyakinan itu, sangatlah sakral dan sungguh pun merupakan perwujudan atas nasib dan takdir manusia sebagai mahluk sempurna yang berhubungan dengan kehidupan dan kematian itu sendiri. Seperti saat kita lihat bahwa kemanusiaan (kematian), menjadi hal yang lazim jika ditelisik pada arah pemahaman suatu keyakinan yang mengabaikan lainnya (kemanusiaan). Apakah memang itu yang terjadi semestinya, atau ada yang salah pada penafsiran akan ayat-ayat suci tersebut Sebagai misal, jika dihadapkan pada ayat yang berkata “potong kepalanya dan halal darahnya”. Apakah itu harus diibaratkan secara nyata dengan memotong kepala yang berbeda keyakinan? Ataukah itu adalah bisa diterjemahkan sebagai pemotongan ego di kepala, baik yang dianggap berbeda dengan mereka yang dianggap seratus persen suci. Padahal jika masuk lingkaran mereka, apakah bisa lebih baik kehidupannya? Sebagaimana bisa ditelaah pada fenomena ramalan-ramalan tertentu, maka suatu jaman akan berubah menjadi suatu jaman yang lain. Susahkah dipercaya?, atau memang wilayah akademis tidak bisa terlingkupi suatu kekuatan agung metafisika secara menyeluruh. Sebagai suatu definisi pun dapat dikatakan oleh E.B. Taylor bahwa agama berasal dari suatu kekuatan agung yang kemudian diyakini sedemikian rupa. Maka alangkah bijaknya bila ilmu bisa menerjemahkan fenomena akan adanya ramalan-ramalan itu. Ramalan-ramalan tersebut antara lain adalah: 1. Ramalan jaman Kaliyuga 2. Ramalan Sabdo Palon 3. Ramalan dari Kalender Maya yang menceritakan kiamat pada tahun 2012. 4. Ramalan Jayabaya 5. Ramalan tentang satrio piningit, imam mahdi, ratu adil, buddha maitreya, kalki avatar. 6. Dan sebagainya. Lalu ramalan tetaplah ramalan, namun bijak atau tidaknya memberikan ruang keyakinan pada suatu kekuatan agung ramalan itu adalah merupakan suatu pilihan tersendiri. Fenomena yang terjadi baik secara abstrak atau pun yang teryakini nyata, adalah berunsur dari pemahaman dalam tingkat spirit yang mungkin berbeda-beda pada setiap individu secara subjektif. Lalu apakah pemahaman dari ego menjadi suatu konstribusi pada super ego secara kolektif, berdasarkan jelas pada sifat serta psikologi masing-masing secara perorangan atau individu. Kembali juga di atas tentang nilai-nilai yang tergerus pada suatu masa, bahwa Pancasila yang disebut sebagai ideologi bangsa, serasa berseberangan antara sila pertama dengan kemanusiaan yang adil dan beradab. Contoh nyata adalah bahwa kesempurnaan dari suatu keyakinan menjadi membabi buta, apa pun yang berbeda malah menjadi bulan-bulanan mereka. Hal itu sepertinya ditujukan kepada telinga para pembela fanatik dan fundamentalis yang telah ditutup dan bahkan menuju suatu pembenaran diri sendiri. Tidak ada yang sanggup dilakukan, kecuali dengan tegas untuk menerobos, mendekontruksikan moralitas yang sesuai dengan ideologi bangsa yang harus tidak pernah akan bisa dihancurkan oleh sekelompok kecil manusia-manusia yang mungkin salah dalam penafsiran kitab suciNya. Dipastikan pula memang benar bahwa bangsa ini masih terjajah dari sisi ideologinya. Dan pada dasarnya kemenangan seperti yang disyaratkan oleh beberapa kitab suci, seperti bhagawadgita dan sarasamuscaya menyebutkan kemenangan dharma yang agung itu adalah suatu hal yang pasti. Kemana pun suatu jaman itu tertuju, intinya adalah dharma pasti menang pada akhirnya. Namun proses menuju ke sana adalah suatu hal yang sejalan dengan paham Karl Marx tentang utopia di masa nanti. Bukan hal yang mustahil rasanya, karena tidak mungkin Tuhan sebagai keagungan semesta membiarkan mereka-mereka yang ikhlas sujud tidak mendapatkan karma yang sesuai. Pada saat akhri jaman itulah bagaimana keyakinan masing-masing diuji sedemikian rupa untuk bersama-sama menuju suatu akhir yang sayangnya indah bagi yang memuja keagungan-Nya. Pada intinya adalah paham yang diyakini oleh umat hindu yang terangkum pada Panca Sraddha, bahwa karmapala itu tetaplah terjadi baik yang teryakini, atau pun yang kurang teryakini. Termasuk samsara dan tujuan akhir kemoksaan. Dasar dari suatu pemikiran tentang agama yang dituduhkan selalu brutal dan mengancam kehidupan, sebenarnya memiliki sesuatu keilmubatinan yang hampir mirip dengan apa yang diyakini oleh filsafat moksa dari Hindu itu sendiri. Keilmuan atau pembelajaran batin dari seorang islam (muslim) sangat dekat keterjadiaannya dengan moksa itu sendiri. Pembelajaran itu adalah filsafat Mahrifat yang diperkenalkan atau disebarluaskan oleh Syeh siti Jenar dengan juga oleh Sunan Kalijaga. Mengapa dikatakan mirip, karena pada dasarnya bagaimana persatuan raga dengan Sang Khalik hampir sama dengan moksa yaitu pengetahuan tentang “diri” itu sendiri. Dan bisa disandingkan dengan “Sangkan Paraning Dumadi”, atau bisa juga dihubungkan dengan “Manunggaling Kawulo Gusti”. Seperti yang diceritakan oleh Ngakan Putu Putra tentang Tuhan masa depan, maka sebagai suatu paham monotheisme, islam sudah menjadi suatu agama yang mengerikan. Di mana karena disangka mempersekutukan Allah sebagai satu-satunya Tuhan, maka agama lain (baca: agama bumi) dianggap sebagai agama yang lebih rendah dari yang mereka anut (islam). Padahal terdapat beberapa istilah bagaimana ayat Quran yang menyebutkan “Agamamu agamamu, agamaku agamaku”. Itu adalah salah satu ayat yang menjadi tameng terakhir jika suatu ayat pengislaman dilakukan suatu waktu di saat ini. Sebagaimana pula oleh Ngakan putu Putra, menyebutkan kelemahan-kelemahan dari paham transendensialisme dari Sang Khalik. Paham yang lain seperti Monisme atau pun paham pantheism sebenarnya bisa ditelisik kepada bahwa yang Kuasa mengimanensikan diri-Nya ke pada suatu alam semesta. Seperti juga yang disebutkan pada filsafat “tat twam asi” yang menyamaratakan manusia dan bahkan mahluk lainnya. Pantheisme atau sebagai suatu paham semua adalah Tuhan, menyebutkan bahwa Tuhan berada di mana-mana sesuai dengan apa yang IA inginkan sendiri, atau bahkan apa yang diinginkan penganutNya. Sebagaimana disebutkan pelangi atau perbedaan antar umat-Nya, sebenarnya telah membebaskan bagaimana cara untuk menjadi abdi-Nya. Kerusuhan akibat keyakinan yang berbeda adalah suatu musuh dan bahkan penjajahan atas ke” Bhineka Tunggal Ika”an itu sendiri. Hal mutlak yang dilupakan adalah sila Ketuhanan yang Maha Esa sangat berseberangan dengan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab yang seharusnya berlaku secara menyeluruh dengan sila-sila lainnya. Di saat keyakinan dijadikan senjata dalam memborbadir bangsa sendiri sebagai upaya menegakkan segala yang dianggap pembenaran dogma, maka Keadilan Sosial sebagai tujuan akhir dari suatu bangsa akan terjerembab dengan buruknya moralitas Pengkhidmat Kebijaksanaan yang sesungguhnya dipilih oleh rakyat itu sendiri. Apa yang salah dalam hal ini adalah mengingatkan pada suatu dekontruksi moralitas yang memerlukan suatu revolusi dari cara berpikir dan cara merasa. Setelah melihat berbagai persoalan yang didapat secara gamblang di atas, maka terbesit suatu pemikiran yang mungkin diilhami oleh beberapa cendekiawan religi termasuk pula almarhumah Gusdur, maka didapat sebuah kata yaitu “universalitas”. Kata itu sendiri bisa dianggap memiliki suatu kesakralan yang tinggi seperti juga bahwa agama memiliki wilayah sakral dan juga profan yang dipahami oleh Durkheim sebagai bentuk psikologi kolektif di suatu lingkungan sosial. Universalitas adalah berarti apa yang terdapat di setiap agama, baik agama apa pun itu jika ditelaah secara mendalam, dan bukan hanya dari fisiknya saja, maka filsafat berbagai agama itu bisa diperbandingkan dan pula bisa diakulturasi sedemikian rupa menjadi suatu pemahaman yang baru. Sebagai contoh seperti agama Shiva dan agama Budha yang telah terbukti menjadi suatu akulturasi filsafat yang masih ada sampai sekarang ini. Perkembangan lainnya yang telah terbukti adalah bagaimana persatuan serta akulturasi antara Islam dan Hindu yang terbukti masih tampak di lombok (Islam Watu telu). Dan pula di wilayah di Bali, terdapat pelinggih Ida Bhatara Mekkah pada Pura Negara Gamblung Anglayang yang memang lah sebagai simbol keislaman yang dihindukan atau bisa sebagai penghormatan atas islam itu sendiri. Di samping pula berbagai penyamaan antara Syeh Jenar dengan leluhur Hindu Dang Hyang Nirartha (fenomena). Di samping itu pula bahwa suatu filsafat atau tattwa suatu agama, pada dasarnya akan secara otomatis sesuai dengan perkembangan jaman menuju pada akulturasi itu sendiri. Penyatuan ini juga tampak secara gamblang di daerah India, di mana Guru Nanak menakdirkan dirinya menyatukan Islam dengan keHinduan dan melebur menjadi Agama Sikh. Seperti yang dituduhkan oleh yang lainnya, bahwa Hindu adalah sebagai agama yang politheism, sebenarnya adalah bahwa hindu memiliki berbagai sudut pandang atas apa-apa yang dituduhkan. Sebagaimana misal bahwa dewa yang dipuja, adalah sebenarnya memiliki fungsi tersendiri. Hal itu juga terdapat pada fungsi-fungsi Allah(baca:Tuhan) yang terangkum pada Asma Ul Husna, yaitu 99 nama Allah yang menjelaskan fungsi dari Allah itu masing-masing. Jika diibaratkan sebagai suatu universalitas, perlu digaris bawahi makna kata dari “menyekutukan” Allah adalah bahwa Allah diserang bersama-sama (sekutu) untuk memperoleh suatu kemenangan atas Allah tersebut. Padahal dalam berbagai kesempatan adalah bahwa Allah yang disekutukan oleh beberapa pengikut fanatisnya dan memberikan sembari kasta kafir dan non kafir yang membuat perbedaan tinggi rendahnya manusia yang bahkan tidak sesuai dengan maha keadilan Allah tersebut. Kembali ke kata-kata Gusdur dengan pluralismenya, menyebutkan bahwa “Orang tidak akan melihat engkau dari agama apa, dari suku apa, kelahiran apa, jika engkau bermanfaat bagi manusia lainnya”, seperti itu kira-kira pernyataan Beliau. Penalaran dalam memberi suatu penggambaran atau bayangan terhadap Yang Kuasa, sebenarnya tergantung dari bagaimana memandang Tuhan secara filsafati atau lebih mendalam. Maksudnya adalah wilayah abstrak Tuhan (Allah) dapat dikatakan bersifat melalui penggambaran 99 nama Asma ul Husna. Hal ini bisa juga ditelaah oleh tiga fungsi Tuhan dalam Tri murti yang transendensial yang mirip pula dengan sifat Asma ul husna yang juga transenden. Hal ini dapat dijadikan dasar untuk membuka suatu jalan yang mungkin penuh makna di masa yang akan datang. Secara fungsi dari Tuhan yang diagungkan oleh siapa pun itu, maka dalam hindu disepakati bahwa Utpeti, Sthiti, Pralina sebagai Tri murti, yaitu Brahma , Wisnu, Siwa, maka fungsi vital dan sakral itu sebenarnya pula terdapat pada agama-agama yang lainnya baik secara nyata atau secara terbersit. Dan bagi islam, maka Zikir Asma ul Husna dengan japa apakah itu Mahamrytunjaya, atau Japa thiruu neelam kantam, sebenarnya bisa dan sangat boleh disandingkan secara bersama-sama untuk bisa menjadi suatu ketidakberdayaan di hadapan Brahma Al-khalik yang menunjukkan fungsi tersendiri. Dan apakah ada suatu jawaban tersendiri dari pembenaran atau kebenaran itu nantinya, maka kembalikan dari bahwa jaman kaliyuga tidak selamanya akan ada. Dan teryakini bahwa jaman lain yang terhubung dengan kaliyuga seperti jaman Kertha Yuga yang merupakan jaman keemasan manusia akan terjadi di kemudian hari. Wujud Akulturasi Kebudayaan Islam Dan Kebudayaan Indonesia (1) Pengertian Akulturasi: Akulturasi adalah fenomena yang timbul sebagai hasil jika kelompok-kelompok manusia yang mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda bertemu dan mengadakan kontak secara langsung dan terus-menerus; yang kemudian menimbulkan perubahan dalam pola kebudayaan yang original dari salah satu kelompok atau kedua-duanya (Harsoyo). Lebih jelasnya dapat dilihat pada :http://togapardede.wordpress.com/2013/02/20/wujud-akulturasi-kebudayaan-hindu-budha-dengan-kebudayaan-indonesia/ “Wujud Akulturasi Kebudayaan Hindu-Budha dengan Kebudayaan Indonesia” Budaya Nusantara sebelum Islam datang Sebelum Islam masuk ke bumi Nusantara, sudah terdapat banyak suku bangsa, organisasi pemerintahan, struktur ekonomi, sosial dan budaya di Nusantara yang berkembang. Semua itu tidak terlepas dari pengaruh sebelumnya, yaitu kebudayaan nenek moyang (animisme dan dinamisme), dan Hindu Budha yang berkembang lebih dulu daripada Islam. Seperti halnya kondisi masyarakat daerah pesisir pada waktu itu, bisa dikatakan lebih maju daripada daerah lainnya. Terutama pesisir daerah pelabuhan. Alasannya karena daerah pesisir ini digunakan sebagai pelabuhan dan pusat perdagangan. Penduduk pesisir tekena percampuran budaya (akulturasi) dengan pedagang asing yang singgah. Secara tidak langsung, dalam perdagangan yang dilakukan antara keduanya, mereka menjadi mengerti kebudayaan pedagang asing. Pedagang asing ini seperti pedagang dari Arab, Persia, China, India dan Eropa. Berbeda dengan daerah pedalaman yang lebih tertutup (konservatif) dari budaya luar. Sehingga mereka lebih condong pada kebudayaan nenek moyang mereka dan sulit menerima kebudayaan dari luar. Awalnya Islam masuk dari pesisir kemudian menuju daerah pedalaman. Masuknya Islam masih sudah terdapat kerajaan-kerajaan bercorak Hindu Budha yang masih eksis, diantaranya adalah kerajaan Majapahit dan kerajaan Sriwijaya. Selain itu terdapat kerajaan-kerajaan kecil yang tidak tersentuh oleh pengaruh Hindu dari India. Kerajaan-kerajaan di Sulawesi misalnya Gowa, Wajo, Bone dan lainnya. Kerajaan-kerajaan di Sulawesi tidak menunjukkan adanya pengaruh Hindu. Contohnya dalam penguburan pada masyarakat Gowa masih berdasarkan tradisi nenek moyang, yaitu dilengkapi dengan bekal kubur. Hindu Budha lebih dulu masuk di Nusantara daripada Islam. Islam masuk ke Nusantara bisa dengan mudah dan lebih mudah diterima masyarakat pada waktu itu dengan berbagai alasan. Pertama, situasi politik dan ekonomi kerajaan Hindu, Sriwijaya dan Majapahit yang mengalami kemunduran. Hal ini juga disebabkan karena perluasan China di Asia Tenggara, termasuk Nusantara. Penyebab akulturasi budaya Nusantara dengan nilai-nilai Islam Akibat dari kemunduran situasi politik. adipati-adipati pesisir yang meklakukan perdagangan dengan pedagang muslim. Dan akhirnya mereka menjadi penerima Agama Islam. Situasi politik seperti itu mempengaruhi masuknya Islam ke Nusantara lebih mudah. Karena kekacauan politik, mengakibatkan kacauan pada budaya dan tradisi masyarakat. Kedua, kekacauan budaya ini digunakan oleh mubaligh-mubaligh dan pedagang muslim yang sudah mukim untuk menjalin hubungan yang lebih dekat. Yaitu melalui perkawinan. Akibatnya pada awal Islam di Nusantara sudah ada keturunan arab atau India. Misalnya di Surakarta terdapat perkampungan Arab, tepatnya di para Kliwon (kampung Arab). Setelah masuknya Islam di Nusantara, terbukti budaya dan ajaran islam mulai berkembang. Hal ini tidak bisa terlepas dari peran Mubaligh-mubaligh dan peran Walisongo di Jawa. Bukti bahwa ajaran islam sudah dikerjakan masyarakat Nusantara. Di kota-kota besar dan kecil yang sudah islam, terdapat bangunan-banguna masjid yang digunakan untuk berjamaah. Hal itu merupakan bukti budaya yang telah berkembang di nusantara. Kesejahteraan dan kedamaian tersebut dimantapkan secara sosio-religius dengan ikatan perkawinan yang membuat tradisi Islam Timur Tengah menyatu dengan tradisi Nusantara atau Jawa. Akulturasi budaya ini tidak mungkin terelakkan setelah terbentuknya keluarga muslim yang merupakan nucleus komunitas muslim dan selanjutnya memainkan peranan yang sangat besar dalam penyebaran Islam. Akulturasi budaya ini semakin menemukan momentumnya saat para pedagang ini menyunting keluarga elit pemerintahan atau keluarga kerajaan yang berimplikasi pada pewarisan “kekuatan politik” di kemudian hari. Tiga daerah asal para pedagang tersebut dari Arab (Mekah-Mesir), Gujarat (India), dan Persia (Iran) tersebut menambah varian akulturasi budaya Islam Nusantara semakin plural. Hal ini bisa dirujuk adanya gelar sultan al-Malik bagi raja kesultanan Samudra Pasai. Gelar ini mirip dengan gelar sultan-sultan Mesir yang memegang madzhab syafi’iah, gaya batu nisan menunjukkan pengaruh budaya India, sedangkan tradisi syuroan menunjukkan pengaruh budaya Iran atau Persia yang syi’ah. Budaya Islam Nusantara memiliki warna pelangi. Di saat para pedagang dan kemunitas muslim sedang hangat memberikan sapaan sosiologis terhadap komunitas Nusantara dan mendapatkan respon yang cukup besar sehingga memiliki dampak politik yang semakin kuat, di Jawa kerajaan Majapahit pada abad ke-14 mengalami kemunduran dengan ditandai candra sangkala, sirna ilang kertaning bumi (1400/1478 M) yang selanjutnya runtuh karena perang saudara. Setelah Majapahit runtuh daerah-daerah pantai seperti Tuban, Gresik, Panarukan, Demak, Pati, Yuwana, Jepara, dan Kudus mendeklarasikan kemerdekaannya kemudian semakin bertambah kokoh dan makmur. Dengan basis pesantren daerah-daerah pesisir ini kemudian mendaulat Raden Fatah yang diakui sebagai putra keturunan Raja Majapahit menjadi sultan kesultanan Demak yang pertama. Demak sebagai “simbol kekuatan politik” hasil akulturasi budaya lokal dan Islam menunjukkan dari perkawinan antara pedagang Muslim dengan masyarakat lokal sekaligus melanjutkan “warisan” kerajaan Majapahit yang dibangun di atas tradisi budaya Hindu-Budhis yang kuat sehingga peradaban yang berkembang terasa bau mistik panteistiknya dan mendapat tempat yang penting dalam kehidupan keagamaan Islam Jawa sejak abad ke 15 dan 16. Hal ini bisa ditemukan dalam karya sastra Jawa yang menunjukkan dimensi spiritual mistik yang kuat. Islam yang telah berinteraksi dengan budaya Arab, India, dan Persia dimatangkan kembali dengan budaya Nusantara yang animis-dinamis dan Hindu-Budhis. Jika ditarik pada wilayah lokal Jawa masyarakat muslim Jawa menjadi cukup mengakar dengan budaya Jawa Islam yang memiliki kemampuan yang kenyal (elastis) terhadap pengaruh luar sekaligus masyarakat yang mampu mengkreasi berbagai budaya lama dalam bentuk baru yang labih halus dan berkualitas. Asimilasi budaya dan akomodasi pada akhirnya menghasilkan berbagai varian keislaman yang disebut dengan Islam lokal yang berbeda dengan Islam dalam great tradition. Fenomena demikian bagi sebagian pengamat memandangnya sebagai penyimpangan terhadap kemurnian Islam dan dianggapnya sebagai Islam sinkretis. Meskipun demikian, banyak peneliti yang memberikan apresiasi positif dengan menganggap bahwa setiap bentuk artikulasi Islam di suatu wilayah akan berbeda dengan artikulasi Islam di wilayah lain. Untuk itu gejala ini merupakan bentuk kreasi umat dalam memahami dan menerjemahkan Islam sesuai dengan budaya mereka sendiri sekaligus akan memberikan kontribusi untuk memperkaya mozaik budaya Islam. Proses penerjemahan ajaran Islam dalam budaya lokal memiliki ragam varian seperti ritual suluk bagi masyarakat Minangkabau yang mengikuti tarekat Naqsyabandiyyah, sekaten di Jogjakarta, lebaran di Indonesia, dan lain sebagainya. Persinggungan Islam di Jawa dengan budaya kejawen dan lingkungan budaya istana (Majapahit) mengolah unsur-unsur hinduisme dan budaya pedesaan (wong cilik) yang tetap hidup meskipun lambat laun penyebaran dan tradisi keislaman semakin jelas hasilnya. Budaya Islam masih sulit diterima dan menembus lingkungan budaya Jawa istana yang telah canggih dan halus itu. Penolakan raja Majapahit tidak terhadap agama baru, membuat Islam tidak mudah masuk lingkungan istana. Untuk itu para dai agama Islam lebih menekankan kegiatan dakwahnya dalam lingkungan masyarakat pedesaan, terutama daerah pesisiran dan diterima secara penuh oleh masyarakat pedesaan sebagai peningkatan budaya intelektual mereka. Dalam kerja sosial dan dakwahnya, para Wali Songo juga merespon cukup kuat terhadap sikap akomodatif terhadap budaya tersebut. Di antara mereka yang sering disebut adalah Sunan Kalijaga. Demoralisasi yang terjadi di Jawa karena perang saudara tersebut, kalangan muslim, lewat beberapa tokohnya seperti Sunan Kalijaga mampu menampilkan sosok yang serba damai dan rukun. Jawa sebagai negeri pertanian yang amat produktif, damai, dan tenang. Sikap akomodatif yang dilakukan oleh para dai ini melahirkan kedamaian dan pada gilirannya menumbuhkan simpati bagi masyarakat Jawa. Selain karena proses akulturasi budaya akomodatif tersebut, menurut Ibnu Kholdun, juga karena kondisi geografis seperti kesuburan dan iklim atau cuaca yang sejuk dan nyaman yang berpengaruh juga terhadap perilaku penduduknya. Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Syahrastani, dalam al-Milal wa al-Nihal yang menyebutkan ada pengaruh posisi atau letak geografis dan suku bangsa terhadap pembentukan watak atau karakter penduduknya. Faktor fisiologis mempengaruhi watak psikologis dan sosialnya. Begitu juga letak geografis, tingkat kesuburan, dan kesejukan pulau Jawa akan mempengaruhi seseorang dalam berperilaku dan bersikap. Siapapun yang ingin sukses di Jawa ia harus memperhatikan karakteristik ini sehingga strategi dan pendekatan yang digunakan bisa berjalan dengan baik dan efektif. Akulturasi dan adaptasi keislaman orang Jawa yang didominasi keyakinan campuran mistik konsep Hindu-Budha disebut kejawen atau juga dinamakan agama Jawi. Sementara penyebaran Islam melalui pondok pesantren khususnya di daerah pesisir utara belum mampu menghilangkan semua unsur mistik sehingga tradisi Islam kejawen tersebut masih bertahan. Pemeluk kejawen dalam melakukan berbagai aktivitasnya dipengaruhi oleh keyakinan, konsep pandangan, dan nilai-nilai budaya yang berbeda dengan para santri yang mengenyam pendidikan Islam lebih murni. Pengaruh nilai-nilai Islam dalam budaya Nusantara Sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima akomodasi budaya. Karena Islam sebagai agama memang banyak memberikan norma-norma aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain. Bila dilihat kaitan Islam dengan budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu diperjelas: Islam sebagai konsespsi sosial budaya, dan Islam sebagai realitas budaya. Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh para ahli sering disebut dengan great tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai realitas budaya disebut dengan little tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi local) atau juga Islamicate, bidang-bidang yang “Islamik”, yang dipengaruhi Islam. Tradisi besar (Islam) adalah doktrin-doktrin original Islam yang permanen, atau setidak-tidaknya merupakan interpretasi yang melekat ketat pada ajaran dasar. Dalam ruang yang lebih kecil doktrin ini tercakup dalam konsepsi keimanan dan syariah-hukum Islam yang menjadi inspirasi pola pikir dan pola bertindak umat Islam. Tradisi-tradisi ini seringkali juga disebut dengan center (pusat) yang dikontraskan dengan peri-feri (pinggiran). Tradisi kecil (tradisi local, Islamicate) adalah realm of influence- kawasan-kawasan yang berada di bawah pengaruh Islam (great tradition). Tradisi local ini mencakup unsur-unsur yang terkandung di dalam pengertian budaya yang meliputi konsep atau norma, aktivitas serta tindakan manusia, dan berupa karya-karya yang dihasilkan masyarakat. Dalam istilah lain proses akulturasi antara Islam dan Budaya local ini kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan local genius, yaitu kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang membawa pengaruh budayanya. Pada sisi lain local genius memiliki karakteristik antara lain: mampu bertahan terhadap budaya luar; mempunyai kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asli; dan memiliki kemampuan mengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya selanjutnya. Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat Indonesia, ajaran Islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks inilah Islam sebagai agama sekaligus telah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Di sisi lain budaya-budaya local yang ada di masyarakat, tidak otomatis hilang dengan kehadiran Islam. Budaya-budaya local ini sebagian terus dikembangkan dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini kemudian melahirkan “akulturasi budaya”, antara budaya local dan Islam. Budaya-budaya local yang kemudian berakulturasi dengan Islam antara lain acara slametan (3,7,40,100, dan 1000 hari) di kalangan suku Jawa. Tingkeban (nujuh Hari). Dalam bidang seni, juga dijumpai proses akulturasi seperti dalam kesenian wayang di Jawa. Wayang merupakan kesenian tradisional suku Jawa yang berasal dari agama Hindu India. Proses Islamisasi tidak menghapuskan kesenian ini, melainkan justru memperkayanya, yaitu memberikan warna nilai-nilai Islam di dalamnya.tidak hanya dalam bidang seni, tetapi juga di dalam bidang-bidang lain di dalam masyarakat Jawa. Dengan kata lain kedatangan Islam di nusantara dalam taraf-taraf tertentu memberikan andil yang cukup besar dalam pengembangan budaya local. Pada sisi lain, secara fisik akulturasi budaya yang bersifat material dapat dilihat misalnya: bentuk masjid Agung Banten yang beratap tumpang, berbatu tebal, bertiang saka, dan sebagainya benar-benar menunjukkan ciri-ciri arsitektur local. Sementara esensi Islam terletak pada “ruh” fungsi masjidnya. Demikian juga dua jenis pintu gerbang bentar dan paduraksa sebagai ambang masuk masjid di Keraton Kaibon. Namun sebaliknya, “wajah asing” pun tampak sangat jelas di kompleks Masjid Agung Banten, yakni melalui pendirian bangunan Tiamah dikaitkan dengan arsitektur buronan Portugis,Lucazs Cardeel, dan pendirian menara berbentuk mercu suar dihubungkan dengan nama seorang Cina: Cek-ban Cut. Dalam perkembangan selanjutnya sebagaimana diceritakan dalam Babad Banten, Banten kemudian berkembang menjadi sebuah kota. Kraton Banten sendiri dilengkapi dengan struktur-struktur yang mencirikan prototype kraton yang bercorak Islam di Jawa, sebagaimana di Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta. Ibukota Kerajaan Banten dan Cirebon kemudian berperan sebagai pusat kegiatan perdagangan internasional dengan ciri-ciri metropolitan di mana penduduk kota tidak hanya terdiri dari penduduk setempat, tetapi juga terdapat perkampungan-perkampunan orang-orang asing, antara lain Pakoja, Pecinan, dan kampung untuk orang Eropa seperti Inggris, Perancis dan sebagainya. Dalam bidang kerukunan, Islam di daerah Banten pada masa lalu tetap memberikan perlakuan yang sama terhadap umat beragama lain. Para penguasa muslim di Banten misalnya telah memperlihatkan sikap toleransi yang besar kepada penganut agama lain. Misalnya dengan mengizinkan pendirian vihara dan gereja di sekitar pemukiman Cina dan Eropa. Bahkan adanya resimen non-muslim yang ikut mengawal penguasa Banten. Penghargaan atau perlakuan yang baik tanpa membeda-bedakan latar belakang agama oleh penguasa dan masyarakat Banten terhadap umat beragama lain pada masa itu, juga dapat dilisaksikan di kawasan-kawasan lain di nusantara, terutama dalam aspek perdagangan. Penguasa Islam di berbagai belahan nusantara telah menjalin hubungan dagang dengan bangsa Cina, India dan lain sebagainya sekalipun di antara mereka berbeda keyakinan. Aspek akulturasi budaya local dengan Islam juga dapat dilihat dalam budaya Sunda adalah dalam bidang seni vokal yang disebut seni beluk. Dalam seni beluk sering dibacakan jenis cirita (wawacan) tentang ketauladanan dan sikap keagamaan yang tinggi dari si tokoh. Seringkali wawacan dari seni beluk ini berasal dari unsur budaya local pra-Islam kemudian dipadukan dengan unsur Islam seperti pada wawacan Ugin yang mengisahkan manusia yang memiliki kualitas kepribadian yang tinggi. Seni beluk kini biasa disajikan pada acara-acara selamatan atau tasyakuran, misalnya memperingati kelahiran bayi ke-4- hari (cukuran), upacara selamatan syukuran lainnnya seperti kehamilan ke-7 bulan (nujuh bulan atau tingkeban), khitanan, selesai panen padi dan peringatan hari-hari besar nasional. Akulturasi Islam dengan budaya-budaya local nusantara sebagaimana yang terjadi di Jawa didapati juga di daerah-daearah lain di luar Jawa, seperti Sumatera Barat, Aceh, Makasar, Kalimantan, Sumatera Utara, dan daerah-daerah lainnya. Khusus di daerah Sumatera Utara, proses akulurasi ini antara lain dapat dilihat dalam acara-acara seperti upah-upah, tepung tawar, dan Marpangir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar